Israel telah menghancurkan lebih banyak rumah dan bangunan milik warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki sepanjang tahun ini dibandingkan dengan total penghancuran pada 2024, menurut laporan Norwegian Refugee Council (NRC), Rabu (1/10).
Hingga 30 September 2025, otoritas Israel telah menghancurkan 1.288 bangunan dengan dalih izin mendirikan bangunan, atau hampir lima bangunan setiap hari. Dari jumlah itu, 138 di antaranya merupakan proyek bantuan internasional. Akibatnya, lebih dari 1.400 warga Palestina mengungsi, sementara hampir 38.000 orang terdampak melalui hilangnya lahan pertanian, sistem pengairan, dan mata pencaharian.
Angka tersebut menandai peningkatan 39 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Sepanjang 2024, Israel menghancurkan 1.281 bangunan dengan alasan serupa.
“Israel merampas rumah, air, dan mata pencaharian warga Palestina dalam upaya sistematis untuk mengusir mereka dari tanah mereka demi memberi jalan bagi permukiman. Ini bukan kehancuran yang kebetulan, melainkan taktik perampasan yang disengaja,” kata Angelita Caredda, Direktur Regional NRC untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.
Sistem perencanaan Israel sendiri memang memblokir warga Palestina untuk membangun di Area C, yang mencakup lebih dari 60 persen wilayah Tepi Barat. Sejak Oktober 2023, warga Palestina telah mengajukan 282 permohonan izin bangunan, namun tidak satu pun yang disetujui.
Selain itu, Israel juga melakukan 37 penghancuran yang merupakan hukuman kolektif sepanjang tahun ini, menyamai rekor pada 2023. Penghancuran jenis ini menargetkan rumah keluarga Palestina yang dituduh melakukan serangan terhadap warga Israel, sehingga menghukum seluruh keluarga. Kelompok hak asasi manusia menilai praktik hukuman kolektif ini dilarang dalam hukum internasional.
Di luar angka resmi, operasi militer Israel di Kamp Pengungsi Jenin, Nur Shams, dan Tulkarm juga menimbulkan kerusakan besar. Penilaian PBB mencatat setidaknya 245 bangunan hancur, 157 rusak berat, dan 750 rusak sedang. Hampir 32.000 pengungsi terpaksa meninggalkan rumah mereka, meski angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi.
Lonjakan penghancuran ini terjadi setahun setelah Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan keberadaan Israel di wilayah pendudukan Palestina sebagai tidak sah. Majelis Umum PBB kemudian menguatkan pendapat itu dan memberi Israel waktu 12 bulan untuk menarik diri. Namun, tenggat waktu itu telah berlalu, sementara Israel justru semakin memperketat kontrolnya.
“Alih-alih mengakhiri pendudukan, Israel justru mempercepat agenda aneksasinya,” tambah Caredda. “Lebih dari 150 negara telah mengakui Palestina, namun tanah yang diperlukan negara itu untuk bertahan justru terus menghilang. Pemerintah dunia harus segera bertindak untuk melindungi rakyat Palestina dari perampasan hak yang tiada henti.”
Sumber:
Qudsnen