Israel tengah menyiapkan “perang propaganda” menjelang diperbolehkannya jurnalis asing masuk ke Jalur Gaza untuk pertama kalinya sejak Oktober 2023. Persiapan ini dilakukan di tengah tekanan hukum dari komunitas pers internasional dan meningkatnya kritik atas upaya Israel menutupi bukti genosida serta kejahatan perang.
Situs berita Israel Ynet mengungkap bahwa pemerintah Israel sedang menyiapkan strategi komunikasi besar-besaran untuk mengarahkan narasi ketika media internasional mulai meliput Gaza. Rencana itu mencakup tur berpemandu oleh Militer Israel (IOF), penyediaan bukti visual yang menuduh Hamas menjadikan wilayah sipil sebagai infrastruktur militer, serta upaya mengantisipasi laporan-laporan kemanusiaan yang memperlihatkan penderitaan warga Gaza.
Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Israel menyebut tantangan ini “sangat besar” mengingat skala kehancuran yang luar biasa di Gaza. “Kami mempersiapkan materi visual yang menunjukkan bagaimana Hamas mengubah Gaza menjadi wilayah teror,” katanya. Pejabat lain menambahkan bahwa liputan kemanusiaan dari media asing bisa “memicu protes global” dan memperkuat bukti kejahatan perang.
Dalam sidang Mahkamah Agung Israel pada 23 Oktober, pemerintah diberi waktu tambahan 30 hari untuk menanggapi petisi Asosiasi Pers Asing (FPA) yang menuntut akses independen bagi jurnalis ke Gaza. Jaksa Agung mengakui bahwa “situasi telah berubah” dan mengonfirmasi bahwa Israel berencana membuka kembali Gaza melalui tur media yang dikawal militer hingga batas yang disebut “garis kuning” yaitu wilayah yang ditinggalkan pasukan Israel usai gencatan senjata dua pekan lalu.
Selama dua tahun terakhir, Israel menutup total akses jurnalis asing ke Gaza, hanya mengizinkan kunjungan singkat dan terkontrol di bawah pengawasan militer. Ketua FPA, Tania Kraemer, menyebut sidang ini sebagai “momen yang telah lama dinantikan” dan menegaskan bahwa pembukaan akses sangat penting untuk memungkinkan jurnalis asing bekerja sama dengan rekan-rekan mereka di Palestina.
Namun, lembaga seperti Reporters Without Borders (RSF) dan Euro-Med Human Rights Monitor menilai bahwa upaya Israel itu bertujuan untuk menyembunyikan bukti kejahatan perang dan melakukan pemusnahan sistematis terhadap jurnalisme di Gaza. RSF melaporkan bahwa lebih dari 210 jurnalis Palestina telah dibunuh sejak 2023, sementara data Pemerintah Gaza menunjukkan 254 jurnalis gugur akibat serangan Israel.
Euro-Med Monitor juga menyatakan bahwa Israel menjalankan strategi sistematis untuk menghapus bukti fisik genosida, termasuk melalui penghancuran kota, kamp pengungsi, dan lingkungan permukiman, serta pemindahan puing ke lokasi tak diketahui. Organisasi itu memperingatkan bahwa setiap penundaan akses jurnalis akan memberi Israel waktu lebih banyak untuk menghancurkan bukti dan menulis ulang narasi kehancuran Gaza.
FPA menegaskan bahwa tidak ada alasan apa pun yang dapat membenarkan pelarangan media internasional. “Ini adalah pelanggaran berat terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan liputan independen dan pluralistik,” kata Antoine Bernard, direktur advokasi RSF.
Sumber: Qudsnen





![Pemandangan dari Sheikh Ridwan di Kota Gaza, Gaza, menunjukkan kerusakan parah yang ditinggalkan setelah tentara Israel mundur menyusul perjanjian gencatan senjata, pada 25 Oktober 2025. [Mahmoud Abu Hamda – Anadolu Agency]](https://adararelief.com/wp-content/uploads/2025/10/AA-20251026-39523597-39523583-DAILY_LIFE_IN_GAZAS_SHEIKH_RIDWAN_NEIGHBORHOOD_AFTER_CEASEFIRE-1-1-120x86.webp)


