Hari Pengungsi Sedunia yang diperingati setiap tanggal 20 Juni merupakan hari internasional yang ditetapkan oleh PBB untuk menghormati pengungsi yang tersebar di seluruh dunia. Hari Pengungsi Sedunia diperingati setiap tahunnya untuk mengingatkan kepada dunia akan hak, kebutuhan, dan impian dari orang-orang yang terpaksa melarikan diri dari tempat tinggal mereka akibat konflik atau penganiayaan. Hari Pengungsi Sedunia juga menjadi momentum untuk membangun empati dan pemahaman atas penderitaan para pengungsi dan mengakui ketahanan mereka dalam membangun kembali kehidupan.
Tahun ini, Hari Pengungsi Sedunia mengangkat tema “Solidaritas dengan Pengungsi”. Badan Pengungsi PBB (UNHCR) menyebutkan bahwa solidaritas yang dimaksud berarti menghormati pengungsi tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan. Solidaritas berarti mendengarkan kisah para pengungsi dan menyediakan ruang untuk suara mereka. Solidaritas berarti membela hak para pengungsi untuk mencari keselamatan dan menemukan solusi untuk penderitaan mereka, mengakhiri konflik sehingga mereka dapat kembali ke rumah dengan aman. Yang terpenting, solidaritas berarti mengatakan, dengan jelas dan berani, bahwa pengungsi tidak sendirian dan bahwa kita tidak akan berpaling dari mereka.
Tahun ini, perhatian dunia tertuju kepada para pengungsi di Jalur Gaza, yang hidupnya menderita akibat genosida yang telah berlangsung selama dua tahun dan belum menunjukkan tanda-tanda gencatan senjata hingga saat ini. Terkurung di penjara terbesar di dunia, mereka tak memiliki pilihan selain bertahan hidup di tenda pengungsian yang tidak layak huni, terlalu padat, dan tidak memiliki persediaan kebutuhan hidup seperti air bersih, makanan, selain ketersediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang tidak memadai.
Pada Hari Pengungsi Sedunia tahun ini, solidaritas kepada para pengungsi Gaza tidak dapat disamakan dengan tahun-tahun sebelumnya, sebab hari ini mereka sangat membutuhkan tindakan dan solusi nyata dari seluruh dunia untuk menyelamatkan hidup mereka. Semakin dunia lambat dan lalai mengambil tindakan tegas, semakin banyak nyawa pengungsi Palestina yang melayang akibat pembantaian, krisis kelaparan, serangan di pusat distribusi bantuan, juga wabah penyakit yang menyebar luas di pengungsian.
Pengungsian: Trauma yang Menghantui Seluruh Generasi di Gaza

“Apa itu pengungsi?”
Pertanyaan itu terus menggema di kepala Ruwaida Amer, seorang perempuan jurnalis Palestina yang dilahirkan di Kamp Pengungsi Khan Younis di Gaza. Sejak kanak-kanak, dokumen-dokumen yang menunjukkan identitasnya telah menyatakan bahwa ia adalah seorang “pengungsi”. Begitu pula ketika bertemu orang-orang, pertanyaan kedua yang mereka lontarkan setelah menanyakan namanya adalah “Apakah kamu seorang pengungsi atau warga negara?”
Ruwaida adalah keturunan dari pengungsi Palestina yang terusir dari desa mereka pada peristiwa Nakba tahun 1948. Kakek dan neneknya berasal dari Beit Daras, sebuah desa yang dulunya terletak di utara Jalur Gaza, tetapi kini telah dimusnahkan. Kakeknya baru berusia 15 tahun ketika Nakba terjadi, saat tentara Zionis memerintahkan semua orang di desa untuk mengungsi ke Gaza. Perjalanan membawanya ke Khan Younis karena tidak ada tempat lain untuk pergi, dan di sanalah ia mendirikan tenda sebelum UNRWA memberikan rumah untuk ditempati.
Ketika mengingat cerita kakeknya yang mengatakan bahwa saat itu mereka melarikan diri di bawah ancaman bom, tembakan, dan pesawat tempur Israel, Ruwaida merasa bahwa kisah itu sangat dekat dengannya di tengah genosida yang saat ini berlangsung di Gaza. Ketika kakeknya bercerita bahwa mereka dulu harus berjuang untuk mencari tepung, makanan, dan air untuk menghidupi anak-anak mereka, Ruwaida pun saat ini mengalami hal yang serupa ketika pusat distribusi bantuan menjadi “rumah jagal” yang lebih banyak menimbulkan korban jiwa dibandingkan membantu mereka.
Nakba yang terjadi pada tahun 1948 telah menimbulkan gelombang pengungsian besar-besaran, demikian halnya dengan yang terjadi di Gaza saat ini. Sejak genosida dimulai, hidup pengungsi Gaza hanya berputar dari satu pengungsian ke pengungsian lainnya di tengah ancaman serangan tentara Israel. Dalam tiga pekan pertama genosida, setidaknya satu dari setiap tiga orang di Gaza atau sekitar 670 orang telah melarikan diri dan mencari perlindungan di 220 tempat penampungan di seluruh Gaza. Kemudian dalam satu bulan genosida, diperkirakan 800.000 hingga satu juta orang yang setara dengan 30%-40% populasi telah mengungsi ke selatan Jalur Gaza dengan berjalan kaki sambil mengangkat bendera putih atau kartu identitas agar dapat masuk ke “zona aman”.
Pada bulan kedua genosida, militer Israel membombardir Khan Younis, membuat orang-orang kembali harus mengungsi. Kemudian pada Februari 2024, serangan Israel yang meluas terpaksa membuat para pengungsi tinggal berjejalan di Rafah. Dengan luas hanya 64 kilometer persegi, Kamp Rafah dipaksa untuk menampung tiga perempat penduduk Gaza atau sekitar 1,4 juta orang saat itu, sedangkan sebelum genosida terjadi Rafah hanya dihuni oleh 280.000 orang.
Ketika Rafah menjadi sasaran serangan Israel pada bulan ketujuh genosida, tentara Israel mengeluarkan perintah evakuasi bagi pengungsi yang tinggal di Rafah agar segera berpindah ke Al-Mawasi. Para pengungsi berbondong-bondong berjalan ke Al-Mawasi, “zona kemanusiaan” di daerah pesisir yang hanya memiliki luas 14 x 1 kilometer. Karena tiadak ada pilihan lain, para pengungsi kembali tinggal berdesakan tanpa layanan dasar yang memadai di Al-Mawasi. Setelah itu, hidup pengungsi Palestina masih terus berada di bawah ancaman penyerangan hingga gencatan senjata disepakati pada Januari hingga pertengahan Maret 2025.
Sejak Israel mengkhianati dan mengakhiri kesepakatan gencatan senjata pada 18 Maret 2025, laporan UNRWA menyatakan bahwa militer Israel telah mengeluarkan 39 perintah pemindahan paksa terhadap para pengungsi di Gaza. Sejak gencatan senjata berakhir, badan PBB tersebut melaporkan bahwa sebanyak 665.000 orang telah dipaksa mengungsi untuk kesekian kalinya oleh Israel, termasuk lebih dari 227.000 orang yang dipaksa mengungsi dalam periode 15 Mei hingga 11 Juni 2025.
Amer mengatakan bahwa mungkin pada tahun 1948, media belum secanggih seperti saat ini. Akan tetapi sekarang, dunia telah menyaksikan apa yang terjadi di Gaza dalam segala bentuk: tulisan, foto, suara, bahkan video. Hal tersebut menimbulkan keresahan di hatinya ketika menyadari bahwa kondisi pengungsi Palestina, terkhusus di Gaza, sama sekali belum berubah sejak Nakba hingga sekarang, bahkan menjadi lebih buruk. Ia menekankan bahwa pengusiran paksa dan pengungsian telah menjadi luka dan trauma bagi setiap pengungsi, namun di atas seluruh penderitaan itu, tekad untuk kembali dan hak untuk pulang juga merupakan nilai dan harapan yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Definisi Pengungsi: Tidak Memiliki Apapun untuk Bertahan Hidup

Hassan, seorang ayah dari empat orang anak yang berlindung bersama keluarganya di pusat penampungan yang menampung 20.000 orang di Gaza memberikan pendapatnya tentang definisi “pengungsi”. Hassan menjelaskan bahwa “Pengungsi berarti tidak ada makanan yang dimasak, tidak ada roti, tidak ada makanan sama sekali, kecuali beberapa kotak keju yang berbau. Anda pergi ke toko roti agar bisa mendapatkan roti untuk keluarga Anda. Anda mengantre selama tujuh jam–kadang-kadang roti habis sebelum giliran Anda datang. Bahkan jika giliran Anda tiba, Anda hanya diberi satu bundel, tidak cukup untuk satu kali makan – jika Anda tidak terkena serangan udara saat menunggu. Pengungsi berarti roti dibagi antara dua, atau mungkin empat; berapa pun itu, tidak akan pernah cukup.”
“Pengungsi berarti tidak ada air bersih untuk diminum. Anda mungkin harus minum air yang terkontaminasi, penuh dengan penyakit. Anda bahkan mungkin mati kehausan atau dari minum air yang tercemar. Ketika Anda ingin pergi ke kamar mandi, Anda harus mengantre di belakang 600 orang sampai giliran Anda tiba. Ketika giliran Anda akhirnya tiba, akan ada 500 orang mengetuk pintu agar Anda selesai dengan cepat, dan tentu saja, tidak ada air di kamar mandi. Pengungsi berarti tidak ada air sama sekali.”
“Pengungsi berarti tidak ada listrik kecuali secara kebetulan, tidak ada baterai ponsel, tidak ada panggilan atau pesan, tidak ada internet, tidak ada komunikasi dengan dunia. Anda mungkin meninggal dan tidak ada seorang pun di keluarga Anda yang tahu bahwa Anda meninggal. Pengungsi berarti Anda melihat ke langit 30 kali setiap menit, membayangkan bahwa pembantaian baru akan menimpa Anda, dan berita duka terbaru adalah tentang Anda dan keluarga.”
Di Gaza, terdapat 8 kamp pengungsian yang tersebar di 5 kegubernuran: Kamp Jabalia di distrik Gaza utara; Kamp Shati di Kota Gaza; Kamp Nuseirat, Al-Bureij, Al-Maghazi, dan Deir el-Balah di distrik Deir el-Balah; Kamp Khan Younis di distrik Khan Younis dan Kamp Rafah di distrik Rafah. Dari 8 kamp pengungsian tersebut, Kamp Jabalia merupakan kamp pengungsi terbesar di Gaza dengan luas 1.4 kilometer persegi dan merupakan salah satu kamp pengungsian terpadat yang menampung sekitar 119.540 pengungsi. Dari keseluruhan kamp pengungsian yang ada di Gaza, nyaris seluruhnya sudah tidak layak huni karena telah berkali-kali diserang oleh Israel meskipun diklaim sebagai “zona aman”.
Menurut data PBB, setidaknya 1,9 juta orang dari 2,1 juta penduduk, atau 90 persen dari keseluruhan populasi Gaza telah mengungsi sejak genosida dimulai pada 7 Oktober 2023. Banyak orang telah mengungsi berulang kali, bahkan mencapai 10 kali atau lebih. Tanpa bisa keluar dari Jalur Gaza yang terkepung, para pengungsi hanya bisa berlari dari satu pengungsian ke pengungsian lainnya, yang belum tentu lebih aman dari tempat mereka melarikan diri. Di pengungsian, mereka juga harus berjuang lebih keras untuk bertahan hidup di tengah krisis pangan dan air bersih.
Dalam tiga bulan terakhir, PBB melaporkan bahwa 680.000 warga Gaza kembali diperintahkan untuk mengungsi karena serangan Israel yang semakin meluas. Pengungsian massal berlanjut pada tingkat yang mengkhawatirkan, dengan hampir 250.000 orang terpaksa melarikan diri dalam 30 hari terakhir. Juru Bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan, “Otoritas Israel telah mengeluarkan perintah pemindahan lain di Khan Younis dan Deir el-Balah. Ini telah memengaruhi ratusan keluarga yang tinggal di lima lingkungan. Lima pusat perawatan kesehatan primer dan tiga titik medis terletak dalam jarak 1.000 meter (3,281 kaki) dari area pengungsian,” ia mengatakan.
Jalur Gaza yang memiliki luas wilayah 365 kilometer persegi kini sekitar 82 persennya telah menjadi zona militer Israel. Dari luas wilayah Gaza tersebut, UNRWA melaporkan bahwa 277,6 kilometer persegi saat ini tengah berada dalam zona pemindahan aktif oleh Israel. Sebanyak 182 instalasi UNRWA, atau setengah dari keseluruhan instalasi UNRWA di Jalur Gaza saat ini terletak di dalam zona militer Israel atau berada di bawah perintah pemindahan, membuat layanan terputus dari pengungsi yang sangat membutuhkan.
UNRWA mengatakan bahwa bahkan sebelum genosida terjadi, situasi di Gaza sudah sangat sulit dengan 81,5% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Sebanyak 95% populasi kesulitan mengakses air bersih dan 63% orang tidak aman pangan dan sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan. Saat ini, kelaparan telah menyambangi 2,1 juta penduduk Gaza, bahkan tak sedikit yang kehilangan nyawa akibat kekurangan gizi.
Kementerian Urusan Perempuan (MoWA), dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia 2025, menambahkan laporan khusus mengenai perempuan pengungsi. Mereka menyatakan bahwa saat ini ada lebih dari 700.000 perempuan pengungsi Palestina yang berada di Jalur Gaza yang dilanda genosida. Mereka tersebar di delapan kamp pengungsi di tengah-tengah runtuhnya infrastruktur akibat genosida Israel.
Hani Mahmoud dari Al Jazeera, melaporkan dari Kota Gaza di utara, mengatakan bahwa orang-orang terlantar berusaha mencari tempat apa pun yang dapat memberikan keamanan, meski hanya sedikit . “Mereka pindah ke lokasi tenda-tenda, daerah yang penuh sesak, mereka bergerak ke pusat-pusat evakuasi yang hampir runtuh dan hancur. Mereka tidak memiliki kebutuhan dasar untuk bertahan hidup dalam kondisi sulit, akibat dari perpindahan, kelaparan, haus dan trauma. Namun, lebih dari itu, mereka harus terus berhadapan dengan rasa takut dan khawatir akan serangan Israel ke tenda mereka,” terang Mahmoud.
Sampai Kapan Warga Palestina Jadi Pengungsi di Tanah Airnya?

Amjad, seorang staf Save the Children dan ayah dari tiga orang anak yang melakukan perjalanan ke luar Gaza beberapa pekan sebelum genosida menceritakan bahwa saat genosida pecah, putrinya memeluk bantal, menciumnya, sambil mengatakan “Kenapa Ayah meninggalkanku di sini?” Amjad mengatakan bahwa putranya juga bertanya “Ayah mengatakan akan berangkat hari Kamis lalu pulang seminggu setelahnya, tapi kenapa Ayah tidak pulang? Jika perbatasan dibuka dan genosida belum berakhir, akankah Ayah kembali?”
Bertahun-tahun orang-orang Palestina di Gaza hidup dengan status pengungsi yang melekat pada identitas mereka. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain, meninggalkan segala yang mereka miliki: rumah, harta benda, bahkan dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga dan kerabat dekat. Banyak orang yang bahkan harus berpindah berkali-kali sepanjang hidupnya, hanya untuk mencari rasa aman yang seharusnya menjadi hak paling dasar yang didapatkan oleh seluruh manusia di dunia.
Saat ini, Hari Pengungsi Sedunia telah mengingatkan kita bahwa para pengungsi di Gaza masih hidup di bawah kesulitan yang semakin lama semakin mengancam kehidupan mereka. Sama sekali tidak ada tempat yang aman di Gaza, sekalipun itu pusat penampungan dengan lambang PBB, rumah sakit, sekolah, bahkan tempat ibadah pun tak luput dari pengeboman. Saat ini para pengungsi Gaza membutuhkan lebih dari solidaritas, mereka membutuhkan tindakan nyata untuk menghentikan genosida dan penjajahan di tanah air mereka, hingga status “pengungsi” di kartu identitas mereka dihapuskan, sebab sesungguhnya merekalah penghuni asli dari setiap tanah Palestina yang mereka jejaki.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.
Sumber:
https://news.un.org/en/story/2025/04/1162531
https://www.unhcr.org/events/world-refugee-day-2025
https://www.who.int/news-room/events/detail/2025/06/20/default-calendar/world-refugee-day-2025
https://reliefweb.int/report/occupied-palestinian-territory/gaza-population-movement-monitoring-15-17-may-2025-ad-hoc-report
https://www.ochaopt.org/content/humanitarian-situation-update-296-gaza-strip
https://www.unrwa.org/where-we-work/gaza-strip
https://www.unrwa.org/resources/reports/unrwa-situation-report-175-situation-gaza-strip-and-west-bank-including-east-jerusalem
https://english.wafa.ps/Pages/Details/158537
https://www.savethechildren.net/blog/stories-gaza-what-it-means-be-displaced
https://www.savethechildren.org.uk/news/media-centre/press-releases/2025/powerful-photos-young-palestinian-refugees-gaza-tell-stories
https://www.#/20250619-more-than-680000-palestinians-forced-to-flee-again-in-gaza-un/
https://www.middleeasteye.net/news/israel-palestine-war-brief-history-refugee-camps-gaza
https://www.aljazeera.com/news/2025/3/26/over-140000-displaced-in-a-week-in-gaza-amid-renewed-israeli-attacks-un
https://www.aljazeera.com/news/2021/5/21/mapping-gaza-hospitals-schools-refugee-camps-palestine
https://www.aljazeera.com/amp/features/2025/5/15/gaza-nakba-relived-2025
https://www.aljazeera.com/features/2023/12/2/my-life-before-the-war-imtithals-story
https://www.reuters.com/graphics/ISRAEL-PALESTINIANS/GAZA-JABALIA/byprrdygjpe/








