“Perang akan berakhir. Para pemimpin akan berjabat tangan. Perempuan tua itu akan terus menunggu putranya yang syahid. Perempuan itu akan menunggu suami tercintanya. Dan anak-anak itu akan menunggu ayah mereka yang heroik. Saya tidak tahu siapa yang menjual tanah air kami. Tapi saya melihat siapa yang membayar harganya.”
– Mahmoud Darwish, penyair Palestina
Pada 10 Oktober 2025 pukul 12.00 waktu setempat (09.00 GMT), tahap pertama gencatan senjata secara resmi mulai berlaku di Jalur Gaza setelah kelompok perlawanan Palestina dan Israel menyetujui perjanjian yang ditengahi oleh Amerika Serikat. Meski pengumuman ini menjadi kabar yang melegakan bagi banyak pihak, namun faktanya, keputusan ini sudah sangat terlambat untuk menjadi kenyataan.
Pada tahap pertama gencatan senjata ini, kelompok perlawanan Palestina membebaskan 20 tahanan Israel dan Israel membebaskan sekitar 2.000 tawanan Palestina beserta ratusan jenazah. Tawanan Palestina yang dibebaskan dalam kondisi hidup disambut dengan sukacita oleh keluarga mereka, namun banyak di antara mereka menderita akibat penyiksaan, trauma, dan penyakit kulit menular. Di sisi lain, banyak keluarga hanya bisa menerima jasad kaku orang-orang yang mereka cintai, sedang banyak keluarga lainnya masih menerka-nerka nasib anggota keluarga mereka yang masih belum diketahui.
Gencatan senjata baru hadir setelah sekitar 68.000 penduduk Gaza kehilangan nyawa, termasuk 20.000 anak-anak, angka kelaparan dan malnutrisi melonjak tinggi, dan seluruh wilayah Gaza telah berubah menjadi puing-puing. Kini, di tengah semua kehancuran tersebut, gencatan senjata seolah ingin menjadi air dingin yang menyejukkan, padahal kenyataannya ia adalah api di bawah panci yang akan membuat air kembali bergejolak meski secara perlahan. Berkaca pada gencatan senjata yang terjadi sebelumnya, ini bukanlah waktunya untuk bernapas lega, sebab faktanya gencatan senjata tidak pernah menjadi solusi akhir dari genosida.
Gencatan Senjata: Janji Perdamaian Atau Proyek Baru Penjajahan?

Selama dua tahun genosida berlangsung di Jalur Gaza, kelompok perlawanan Palestina dan Israel sudah pernah menyepakati gencatan senjata sebanyak tiga kali. Gencatan senjata pertama disepakati pada November 2023, dimulai pada 24 November 2023 dan diperbarui dua kali sebelum berakhir pada 1 Desember 2023. Gencatan senjata kedua disepakati pada 15 Januari 2024, namun tidak berlangsung lama dan genosida kembali berlanjut. Kemudian gencatan senjata ketiga disepakati pada 18 Januari 2025, namun Israel masih tetap menyerang penduduk sipil Gaza sehingga kesepakatan berakhir pada 18 Maret 2025. Melihat riwayat gencatan senjata yang pernah terjadi di Gaza, Israel dapat mengakhiri perjanjian kapan saja, dan penduduk Gaza serta dunia harus mempersiapkan diri terhadap hal tersebut.
Gencatan senjata yang terjadi saat ini bukanlah kesepakatan yang diambil secara tiba-tiba, melainkan terwujud setelah melalui proses yang panjang. Ini bermula dari munculnya gelombang dukungan untuk Palestina, yang ditandai dengan 81 persen masyarakat internasional mengakui negara Palestina. Sebanyak 157 dari 193 negara anggota PBB juga secara resmi telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat selama sidang ke-80 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) di New York, Prancis, Luksemburg, Malta, Monako, Andorra, dan Belgia yang berlangsung pada 22–23 September 2025. Gelombang dukungan yang menguat untuk Palestina telah menciptakan tekanan bagi Israel dan sekutu-sekutunya, meski tidak secara instan membuat Israel menghentikan serangan dan membuka perbatasan Gaza.
Beberapa hari setelahnya, pada 29 September 2025, Trump mengungkap usulan 20 poinnya untuk Gaza selama konferensi pers Gedung Putih setelah pertemuannya dengan Netanyahu. Rencana tersebut disambut baik oleh Otoritas Palestina, dan para menteri luar negeri dari beberapa negara seperti Mesir, Indonesia, Yordania, Pakistan, Qatar, Arab Saudi, Turki, dan Uni Emirat Arab. Usulan tersebut kemudian diterima oleh kelompok perlawanan Palestina pada 3 Oktober 2025, berlanjut dengan proses negosiasi di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada 6–7 Oktober 2023, hingga gencatan senjata secara resmi berlaku pada 10 Oktober 2025.
Setelah gencatan senjata disepakati, Presiden AS Donald Trump mengunggah pernyataan bahwa ia “sangat bangga” atas penandatanganan tahap pertama “rencana perdamaian”-nya. Presiden Prancis Emmanuel Macron juga memuji dan mengapresiasi inisiatif Trump, sementara pemimpin Israel Yair Lapid mendesak Komite Nobel untuk menganugerahkan hadiah perdamaian kepada Trump. Beberapa pemimpin dunia itu telah berlomba-lomba mengklaim penghargaan atas keberhasilan mereka mengakhiri genosida yang telah mereka biayai, persenjatai, dan dukung selama dua tahun, dan 77 tahun sebelumnya.
Beberapa hari setelah membanggakan gencatan senjata, Presiden AS bahkan menyatakan secara terang-terangan penolakannya untuk mengakui kemerdekaan Palestina. Donald Trump, pada Senin (13/10), menolak untuk mendukung solusi dua negara, dan mengatakan fokusnya saat ini adalah membangun kembali Jalur Gaza. “Saya berbicara tentang sesuatu yang sangat berbeda. Kita berbicara tentang membangun kembali Gaza,” ujar Trump kepada wartawan di pesawat Air Force One dalam penerbangan kembali dari Mesir. “Saya tidak berbicara tentang negara tunggal, negara ganda, atau dua negara. Kita berbicara tentang membangun kembali Gaza,” kata Trump. Pertanyaannya, Gaza seperti apa yang akan Trump bangun kembali tersebut?
Selama dua tahun genosida, pengeboman brutal telah mengakibatkan kehancuran total di Gaza, semua orang di Gaza hanya berfokus pada satu hal: bertahan hidup. Bagi penduduk Gaza, setiap detik adalah upaya untuk tidak hancur, kelaparan, atau terbunuh. Hidup menjadi lingkaran teror yang tak berujung dan kekhawatiran akan serangan berikutnya. Pagi dimulai dengan kejutan suara ledakan bom, kemudian berlanjut dengan ancaman serangan di lokasi distribusi bantuan GHF, lalu di penghujung hari mereka akan menutup mata dengan telinga yang masih waspada untuk mengungsi kapan saja. Tak seorang pun punya kemewahan untuk bermimpi tentang hari esok, yang belum tentu masih ada untuk mereka. Jika ada tempat berlindung, tujuannya hanyalah untuk berpindah dari satu pusat pengungsian yang hancur ke tempat lain yang tidak lebih baik. Kesadaran terus-menerus bahwa kematian bisa datang kapan saja mengubah setiap hari menjadi perjuangan untuk terus bertahan hidup.
Tidak ada yang lebih menggambarkan “perdamaian” dalam versi para penjajah dan sekutunya selain dua tahun kelaparan, pengeboman, dan kuburan massal. “Perdamaian” macam apa yang mereka perjuangkan ketika sekolah dan rumah sakit telah berubah menjadi puing-puing, menyisakan penduduk Gaza yang hanya bisa memilih antara mendirikan tenda di atas puing-puing rumah mereka atau tinggal berdesakan di pusat-pusat pengungsian. Hal tersebut membuka mata dunia bahwa Gaza tidak butuh lukanya diperban oleh orang yang menusukkan pisau kepada mereka.
Pusat distribusi bantuan GHF yang dikontrol oleh Israel dan AS lebih banyak menghabisi nyawa penduduk sipil dibanding meredakan kelaparan mereka. Para penjajah seolah berbaik hati mengirimkan bantuan, meski sudah menjadi rahasia umum bahwa AS merupakan penyuplai senjata untuk Israel. Gaza butuh kebebasan abadi, bukan jebakan kematian yang dibungkus kedok bantuan kemanusiaan.
Satu-satunya masa depan yang adil bagi Gaza adalah kebebasan penuh — satu negara demokratis dengan hak yang sama bagi semua, dimulai dengan hak Gaza untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa pengepungan, tanpa pendudukan, dan tanpa kendali asing yang berkedok penjaga perdamaian. Namun, pertama-tama, rakyat Gaza harus mendapatkan hak mereka untuk diberikan waktu berduka, menemukan dan menghitung korban yang meninggal atau terbunuh dan menguburkan mereka dengan layak. Selain itu, yang terpenting adalah untuk merasakan momen kecil kebahagiaan karena berhentinya serangan. Dalam penderitaan yang seperti tak pernah berakhir, penduduk Gaza tidak pernah mendapatkan hak-hak mereka, bahkan hak minimum sebagai seorang manusia: hak untuk hidup dengan rasa aman. Dengan demikian, gencatan senjata bukanlah tindakan pahlawan dari orang-orang yang tangannya berlumuran darah, melainkan bagian dari proyek penjajahan yang akan datang pada hari-hari berikutnya.
Ledakan Bom Hanya Berhenti Sejenak, Luka Gaza Menetap Selamanya

Sejak tahap pertama gencatan senjata resmi berlaku pada 10 Oktober 2025, Israel memang telah membebaskan ribuan tawanan Palestina dan menarik mundur pasukannya dari beberapa wilayah Gaza. Akan tetapi, Israel masih mempertahankan kendali atas lebih dari separuh wilayah kantong tersebut. Israel juga menjanjikan izin masuk terhadap lebih dari 600 truk setiap hari dan mengizinkan warga Palestina yang mengungsi untuk kembali melalui perbatasan Rafah. Namun kenyataannya, pada 14 Oktober 2025, Israel mengurangi jumlah truk bantuan yang masuk menjadi 300 dan menutup perbatasan Rafah, menunjukkan rapuhnya janji yang dibuat oleh Israel dan kendali mereka atas Jalur Gaza.
Pengumuman gencatan senjata telah membuat lebih dari 332.000 penduduk Gaza mengungsi ke wilayah lain di Jalur Gaza. Banyak di antara mereka yang kembali ke rumah hanya untuk mendapati rumah mereka telah menjadi puing-puing, beberapa mendirikan tenda di tempat dulu rumah mereka berdiri, namun banyak juga yang memilih untuk kembali tinggal di pusat pengungsian karena tak memiliki tujuan lagi.
Meski penduduk Gaza sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan dengan segera, Israel memberlakukan pembatasan jenis barang yang dapat masuk ke Gaza. Misalnya, ribuan barang penting dilarang masuk ke Gaza karena Israel menganggapnya memiliki “fungsi ganda”, yang berarti dapat digunakan untuk keperluan sipil dan militer. Barang-barang seperti bahan bakar, filter air, pompa tenaga surya, dan gunting bedah telah ditolak masuk dengan alasan ini, membuat upaya pemulihan di Jalur Gaza semakin sulit tercapai.
Keluarga-keluarga dengan putus asa menggali reruntuhan untuk mencari jejak kehidupan lama mereka, mencari orang-orang tercinta yang masih terperangkap di bawah reruntuhan. Di tengah situasi katastrofe ini, timbul pertanyaan: dari mana kita harus membangun Gaza kembali? Apa yang terjadi menunjukkan bahwa strategi Israel sangat jelas, dan hasilnya tak terbantahkan. Ini bukan kekacauan; melainkan upaya yang disengaja untuk mengubah Gaza menjadi gurun pasir. Dengan menyerang rumah sakit, sekolah, dan sistem air – fondasi kelangsungan hidup – tujuannya adalah untuk menghancurkan segala sistem yang memungkinkan kehidupan bisa dapat berjalan.
Gencatan senjata yang terjadi nyatanya tidak benar-benar menghentikan serangan Israel, tetapi sekadar mengurangi penyerangan. Dalam situasi serba terbatas ini penduduk Palestina berhadapan dengan pertempuran lainnya, yakni upaya untuk memulihkan listrik dan air, membuka kembali sekolah, membangun kembali layanan kesehatan, dan mencoba mengembalikan kehormatan dan kemanusiaan di Gaza. Genosida telah menggores luka yang sangat dalam di Gaza, dan menyembuhkannya membutuhkan lebih dari sekadar omong kosong dan janji perdamaian yang serapuh kaca. Gencatan senjata bukanlah obat bagi luka Gaza, tetapi hanya bertindak sebagai jeda bagi penduduk Gaza untuk melihat seberapa besar luka yang kini mereka tanggung.
Tak Hanya Gencatan Senjata, Palestina Juga Menanti Kemerdekaan

Presiden AS, Donald Trump, pada Selasa (14/10) telah mengumumkan dimulainya “tahap kedua” perjanjian gencatan senjata Gaza. Pernyataan ini dikeluarkan menyusul pembebasan 20 tahanan Israel di bawah tahap pertama kesepakatan yang ditengahi oleh Turki, AS, Qatar, dan Mesir. Akan tetapi, di sisi lain, Dalam penentangan terbuka terhadap perjanjian gencatan senjata yang baru disepakati, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa tentara Israel akan melanjutkan serangan militernya di Gaza setelah sandera yang tersisa dikembalikan. Katz mengatakan bahwa setelah fase pertama kesepakatan berakhir dengan pembebasan seluruh sandera, Israel akan melanjutkan operasinya untuk menghancurkan kelompok perlawanan Palestina.
Gencatan senjata mungkin memang membuat ledakan bom dan penembakan beruntun selama genosida mereda. Namun, pernyataan dari Katz telah menjadi tanda bahwa dunia tidak boleh tenang sementara Israel sedang menyusun rencana penyerangan berikutnya. Bertahun-tahun pembantaian tanpa henti telah membangun ketakutan dan kesedihan yang tak dapat dihapuskan, meninggalkan trauma dan kehilangan mendalam yang selamanya akan dibawa oleh setiap individu di Gaza. Gencatan senjata tidak pernah membangun kepercayaan, melainkan ketakutan bahwa serangan akan kembali datang tanpa pemberitahuan.
Dunia belum bisa bergerak normal di tengah gencatan senjata ini. Kita tidak boleh terbuai oleh jeda serangan udara sementara faktanya, penjajahan masih terus berlanjut. Puluhan ribu warga Palestina yang gugur harus dimakamkan secara layak, para korban terluka membutuhkan perawatan mendesak, dan anak-anak yang menderita malnutrisi harus pulih kembali. Saat ini, kurang dari 300 truk bantuan yang dapat memasuki Gaza dari 600 yang dijanjikan setiap harinya. Perbatasan Rafah juga masih ditutup, sedang bantuan kemanusiaan yang memasuki Gaza hanya menjadi setetes air di lautan kebutuhan. Gaza masih menderita, sehingga kita juga belum boleh beristirahat.
Kita tidak bisa beristirahat selama penyerangan dan penangkapan masih terus berlangsung di Tepi Barat dan penodaan Masjid Al-Aqsa masih dilakukan di Al-Quds. Gencatan senjata memang memberikan jeda yang belum diketahui sampai kapan, namun bukan berarti kita bisa bersantai dan bernapas lega. Sampai seluruh sistem apartheid Israel dibongkar dan digantikan dengan pembebasan resmi Palestina, perjuangan kita masih jauh dari kata selesai. Ini baru permulaan, dan perjuangan sesungguhnya akan kembali kita mulai, demi Palestina yang terbebas dari penjajahan, dari sungai hingga lautnya.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.
Sumber:
Al Jazeera
Anadolu Agency
Islamic Relief
Middle East Eye
Middle East Monitor
Quds News Network