Sejak gencatan senjata mulai berlaku pada awal Oktober, pasukan Israel telah membunuh puluhan warga sipil Palestina, dengan alasan bahwa mereka “mendekati garis kuning” yaitu batas demarkasi gencatan senjata yang ditetapkan oleh Israel.
Namun, warga Gaza mengaku tidak mengetahui secara pasti di mana letak garis tersebut, karena tidak ada tanda batas yang jelas di lapangan. “Kami melihat peta, tetapi tidak ada penanda di tanah. Kami tidak tahu di mana seharusnya garis itu berada,” kata Ahmed Ashour, warga lingkungan Tuffah, Kota Gaza, kepada QNN.
Pada 10 Oktober, Israel menyelesaikan fase pertama penarikan pasukan di bawah kesepakatan gencatan senjata, mundur hingga “garis kuning” yaitu garis demarkasi nonfisik yang memisahkan wilayah yang masih diduduki pasukan Israel dari area lain di Jalur Gaza. Meski begitu, Israel tetap menguasai sekitar 50% wilayah Gaza.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menegaskan bahwa siapa pun yang berada di luar garis tersebut “akan menjadi target tanpa peringatan.”
Menurut peta resmi yang diajukan dalam rencana gencatan senjata yang diturunkan ke dalam 20 poin oleh Presiden AS Donald Trump, garis kuning membentang dari selatan Gaza utara hingga ke pinggiran Rafah di bagian selatan.
Pasukan Israel tetap bertahan di sejumlah wilayah, termasuk Shejaiya, Tuffah, Zeitoun, Beit Hanoun, Beit Lahiya, dan Rafah, serta sepanjang pesisir Gaza. Tentara Israel akan menembak langsung siapa pun yang mendekati garis kuning, bahkan tanpa peringatan terlebih dahulu.
Banyak warga yang mencoba kembali ke rumah mereka yang hancur justru diserang di dekat garis tersebut.
Militer Israel mengklaim tengah memasang blok beton berwarna kuning setinggi 3,5 meter setiap 200 meter untuk menandai batas imajiner itu yaitu garis yang kini secara harfiah menjadi pemisah antara hidup dan mati.
Pada Jumat lalu, pelanggaran paling mematikan terhadap gencatan senjata terjadi ketika sebuah tank Israel menembakkan peluru ke kendaraan sipil yang membawa keluarga Abu Shaaban di lingkungan Zeitoun, Kota Gaza.
Menurut laporan Pertahanan Sipil Gaza, tujuh anak dan tiga perempuan terbunuh saat keluarga itu mencoba pulang untuk memeriksa rumah mereka — tanpa sadar melintasi garis kuning.
“Apa yang terjadi menunjukkan bahwa penjajah masih haus darah dan terus melakukan kejahatan terhadap warga sipil tak bersalah,” kata juru bicara Pertahanan Sipil, Mahmoud Basal.
Sejak gencatan senjata diberlakukan, Israel telah melanggar perjanjian sedikitnya 80 kali, membunuh 97 orang dan melukai 230 lainnya, menurut Kantor Media Pemerintah Gaza.
Pelanggaran itu mencakup penembakan langsung terhadap warga sipil, pengeboman disengaja, dan penangkapan, yang menunjukkan bahwa agresi Israel terus berlanjut meski perang dinyatakan berakhir.
Ashour menambahkan, “Kami hidup dalam ketakutan dan kebingungan. Bahkan rumah kami tidak lagi aman. Satu garis tak terlihat kini memisahkan kehidupan dan kematian.”
Akademisi Universitas Al-Aqsa, Rania A., mengatakan bahwa hidup rakyat Palestina terus diatur oleh garis-garis buatan Israel, bahkan di tanah air mereka sendiri. “Komunitas internasional dan para pemimpin dunia turut melegitimasi keberadaan garis-garis ini, yang sesungguhnya merupakan alat Israel untuk memperluas pendudukan dan melakukan pembersihan etnis sejak 1948,” ujarnya.
Sejak berdirinya, Israel telah menciptakan berbagai “garis batas” yang tidak pernah benar-benar menjadi perbatasan resmi, antara lain:
- Garis Hijau (Green Line): ditetapkan pada 1949 sebagai garis gencatan senjata antara Israel dan sisa wilayah Palestina setelah perang 1948.
- Garis Biru (Blue Line): ditetapkan PBB pada 2000 untuk menegaskan penarikan Israel dari Lebanon selatan, namun bukan batas resmi negara.
Kini, “garis kuning” menjadi simbol baru penjajahan, batas tak kasatmata yang memisahkan antara kemerdekaan yang dijanjikan dan kematian yang nyata.
Sumber: Qudsnen




![Pasukan Israel menembak mati Dr. Mu'ath Abu Rukba, veteran terakhir yang tersisa di Gaza utara [Screengrab/X]](https://adararelief.com/wp-content/uploads/2025/10/muathaburukba-120x86.png)

