Setiap dentuman bom menggema hingga ke dalam jiwa anak-anak Gaza. Suara yang awalnya menakutkan bagi mereka, kini menjadi latar belakang suara yang terus hadir dalam kehidupan. Suara ledakan tersebut seumpama detak jam dinding yang terus berbunyi dan tidak pernah berhenti. Anak-anak begitu akrab dengan suara ledakan tersebut, sehingga tidak ada lagi jeritan ketika dentuman itu tertangkap oleh telinga mereka yang mungil. Bahkan, mereka tidak lagi berlari untuk menyelamatkan diri, sebab tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk bersembunyi.
Anak-anak Gaza telah melalui hari-hari mereka dengan kehilangan. Bukan lagi kehilangan harta benda, melainkan kehilangan orang tua, teman, dan kerabat tercinta. Setidaknya 44.500 anak-anak Gaza kehilangan orang tuanya. Mereka menjadi yatim piatu akibat agresi panjang yang mulai terjadi sejak tahun 2023 lalu. Dari angka tersebut, 37.313 di antaranya kehilangan ayah tercinta. Mereka hidup tanpa sosok ayah yang menjadi panutan dan tulang punggung keluarga mereka.
Sahabat Adara, dari 37 ribu anak tersebut, sebanyak 2.032 anak yatim diantaranya merupakan anak asuh Adara. Anak-anak ini telah menjadi bagian dari penerima manfaat kebaikan yang Ayah Bunda berikan melalui Adara sejak tahun 2021 silam. Mereka terus berupaya untuk memahami mengapa agresi ini tidak segera pergi agar mereka dapat bermain sebagaimana anak-anak yang hidup di belahan dunia lain.
Selain merenggut kebahagiaan mereka untuk bermain, agresi menciptakan berbagai bentuk rasa sulit yang harus anak-anak hadapi. Sulit memperoleh makanan, minuman, dan pendidikan yang layak. Mereka terlelap dengan perut yang kelaparan. Tidak sedikit dari mereka harus menahan dan memaksa tenggorokan untuk menerima setiap tegukan air yang telah tercemar.
Siham Alul: Tidur dalam Lapar, Terjaga Karena Dentuman
Siham kini berusia 12 tahun. Dia adalah salah satu dari ribuan anak yatim Adara di Gaza. Dia merasa hidupnya terhimpit oleh dua keadaan yang menyesakkan: hidup di antara penyerangan dan kelaparan. Sejak agresi kembali memburuk di Gaza, dia dan keluarganya telah beberapa kali mengungsi. Rumah mereka tak lagi aman setelah bom menghantam. Kini, Siham tinggal bersama ibunya di rumah kerabat dekatnya di daerah Tel Al Hawa. Mereka tinggal di sebuah rumah yang dihuni oleh banyak orang—tanpa ruang pribadi, tanpa rasa aman, juga tanpa sebuah kepastian tentang hari esok.
“Kapan agresi ini akan berakhir?” Tanya Siham kepada sang ibu. Pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya sebab hari-harinya penuh dengan kehilangan dan kelaparan.
Alhamdulillah, saat ini kabar Siham dalam keadaan baik-baik saja, meski rasa lapar menjalar pelan dan haus yang mencekat. Sebagian besar makanan yang tersedia adalah makanan kaleng yang sudah kadaluarsa. Kebutuhan pokok hampir tidak ada. Air bersih pun sulit didapat. Untuk memperoleh makan dan minum pun mereka harus mengantri berjam-jam lamanya. Bahkan, tidak jarang hasilnya pun nihil.
Siham mengingat malam-malam ketika dia tertidur dalam keadaan lapar, berharap tubuhnya akan lupa rasa perih itu. Ketika sakit, dia tidak bisa menemukan dokter maupun obat—karena rumah sakit penuh oleh korban luka atau bahkan tak lagi berfungsi.
“Terkadang aku sakit, dan aku tidak menemukan obat dan dokter untuk berobat. Sebagian besar rumah sakit tidak berfungsi, ada pun penuh dengan pasien terluka sehingga tidak memiliki kapasitas untuk mengobati penyakit lain.” Ungkap Siham (12).
Oudai Abou Zeyade: Malam yang Penuh Ledakan, Hari Raya yang Sunyi
Selain Siham, Oudai Abou Zeyade juga merasakan bagaimana ketenangan hidup di Gaza begitu terganggu dan terasa sulit akibat agresi yang terus terjadi. Kini dia tinggal di rumah kerabat dekatnya di Khan Younis, daerah Hay Amal. Rumahnya hancur dan rata bersama tanah. Hidupnya menjadi pengungsi, terpaksa harus berpindah berkali-kali dari satu tempat ke tempat lainnya. Di bawah langit Gaza, dia tidak hanya diuji dengan kedinginan, ketakutan, dan kepanasan, tetapi juga dengan malnutrisi akut yang perlahan melemahkan.
Pada tahun ini, Oudai melewati hari raya Idul Adha tanpa riuh ramai takbir, tawa anak-anak, dan pelukan hangat keluarga. Tidak ada berhias-hias, tidak ada pakaian baru, dan juga tidak ada kunjungan, mainan, serta hewan kurban yang bisa mereka nikmati. Hari raya bagi mayoritas anak-anak Gaza sama seperti hari-hari yang lain: berat dan menyedihkan. Suasana malam takbiran tergantikan dengan nuansa malam yang penuh ledakan. Hari raya yang dia temui kali ini kembali sunyi. Agresi bukan hanya merenggut keluarga, tetapi juga merenggut kebahagiaan Oudai sebagai anak yang masih berusia 12 tahun.
“Aku tidak mengharapkan makanan enak atau mainan baru di Hari Raya. Aku hanya berdoa agar agresi ini berakhir, dan ibuku bisa tersenyum lagi seperti dulu.” Ungkap Oudai dengan tatapan penuh rindu dan harap.
Mimpi Itu Tak Usai, Meski Agresi Belum Berakhir
Anak-anak di Gaza mungkin resah dengan agresi yang tidak mereka ketahui kapan ujungnya. Akan tetapi, harapan dan mimpi-mimpi mereka sebagai seorang anak tentu tidak akan berujung. Setiap perjuangan mereka untuk bertahan bukan hanya sebatas melanjutkan hidup, melainkan mewujudkan cita-cita yang terlahir dari reruntuhan dan rasa kehilangan —tentang sekolah yang ingin mereka datangi kembali, profesi yang mereka impikan, dan dunia yang ingin mereka bangun tanpa dentuman, tanpa darah, tanpa air mata. Mimpi-mimpi itu tetap tumbuh, meski di tengah puing dan luka.
Pada pertemuan anak yatim Adara di Gaza pada 10 Juli lalu, sepuluh orang anak yang bisa hadir mengungkapkan bagaimana cara mereka bertahan hidup di tengah keadaan yang memaksa mereka untuk mati. Anak-anak tetap melakukan hobi dan aktivitas kesukaannya di bawah tenda-tenda pengungsian. Hal ini sebagai upaya mereka agar cita-citanya tidak pernah padam, serta sebagai bentuk pelarian mereka dari kekejaman agresi dan blokade yang melanda.

Yaqen Al Ghoul, mengungkapkan bahwa telah dua tahun lamanya dia tidak mencicipi bangku sekolah. Meski demikian, Yaqen tetap mengembangkan potensinya lewat menggambar dan melukis. Di tengah keterbatasan dan ketakutan yang mengintai setiap hari, Yaqen menemukan pelariannya melalui goresan pensil dan warna. Setiap gambar yang ia buat menjadi ruang untuk mengekspresikan rindu pada kedamaian dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Bukan hanya Yaqen, seorang anak yatim Adara di Gaza berusia 11 tahun, Mayar Al Mashry mengungkapkan kegemarannya dalam membaca kisah-kisah yang menginspirasi. Kisah ini menjadi penguat dan motivasi baginya untuk melanjutkan hidup. Selain itu, anak yang hadir dalam acara temu yatim dan orang tua asuh Indonesia ikut menyuarakan kegemaran dan cita-cita mereka.

Seperti halnya Kinan, seorang anak yang sangat menyukai pelajaran matematika ini bercita-cita ingin menjadi seorang arsitek. Cita-cita yang sama juga disebut oleh Ibrahim Hamzah Abul Hasan, yang memiliki keinginan menjadi seorang arsitek agar bisa membangun kembali Gaza dari tengah reruntuhan.
Sahabat Adara, Alhamdulillah saat ini tim Adara di lapangan masih tetap berjuang menjangkau dan menghimpun kabar dari anak-anak yatim di Gaza. Mereka adalah penerima manfaat dari kebaikan Sahabat semua melalui program Dekap Yatim Palestina (DYP). Kabar yang terhimpun merupakan hasil pemantauan langsung tim Adara di Gaza dan juga hasil pertemuan secara daring yang telah dilakukan pada Kamis (10/07) lalu, yang dengan segala keterbatasan tetap berusaha memastikan kondisi dan kebutuhan para yatim dapat terdokumentasikan dengan baik.
Di tengah agresi yang tak kunjung usai, suar dan cerita mereka menjadi pengingat bagi kita bahwa di balik reruntuhan dan kepedihan, masih tumbuh harapan dan semangat hidup yang luar biasa. Meskipun pertanyaan “Kapan agresi berakhir?” terus menggema dari balik tenda-tenda pengungsian, harapan dan cita-cita mereka terus menyala selagi nyawa masih di badan. Doa dan dukungan Sahabat Adara terus menjadi cahaya penguat bagi mereka untuk bertahan, bermimpi, dan hidup.
Terima kasih kepada seluruh Sahabat Adara atas setiap dukungan yang tulus untuk anak-anak yatim di Gaza. Terima kasih telah mendekap hangat mereka melalui doa, meski raga belum pernah bersua. Semoga pahala dan kebaikan senantiasa mengalir untuk Sahabat Adara sekalian. [AM]