Keluarga para tawanan Palestina diliputi kecemasan setelah Knesset Israel menyetujui pembacaan awal RUU hukuman mati bagi tawanan Palestina dan individu yang dituduh sebagai “teroris”. Langkah ini dikecam berbagai organisasi HAM internasional sebagai bentuk pembunuhan di luar proses hukum.
RUU tersebut diajukan oleh Limor Son-Har-Milah dari partai ekstrem kanan Otzma Yehudit, dan tengah menunggu tiga tahap pembacaan sebelum disahkan.
Salah satu yang paling cemas adalah Ikhlas al-Sayed, istri dari Abbas al-Sayed, tawanan asal Tulkarm yang telah dipenjara sejak 2002 dan dijatuhi 35 hukuman seumur hidup plus 100 tahun. Ia disiksa, diisolasi, dan dilarang dikunjungi keluarga maupun pengacara.
Ikhlas menyebut bahwa pengecualian Abbas dari kesepakatan pertukaran tawanan sudah seperti vonis mati. Ia menegaskan, kondisi tawanan Palestina sangat memprihatinkan. Mereka kekurangan makanan, tidak memiliki akses untuk perawatan medis, bahkan sulit mendapatkan pena dan kertas.
Ia menilai pernyataan menteri sayap kanan Israel Itamar Ben-Gvir—yang pernah mengatakan “orang-orang ini harus mati”—menunjukkan niat nyata Israel untuk membunuh tawanan Palestina. “Jika mereka bisa menghapus hak dasar tawanan, tentu mereka bisa dengan mudah meloloskan undang-undang untuk mengeksekusi mereka,” ujarnya.
Ikhlas juga menyesalkan minimnya perhatian media internasional terhadap ribuan tawanan Palestina, sementara isu tahanan Israel selalu diangkat. Ia mengaku keluarganya kerap mengalami pembatasan dan ancaman dari otoritas Israel saat mencoba menyuarakan hak-hak tawanan.
Penolakan dari Publik Palestina
Survei Palestinian Centre for Public Opinion (PCPO) menunjukkan mayoritas rakyat Palestina menolak RUU ini:
- 74,4% menilai RUU ini akan menghapus prospek perdamaian,
- 42,2% melihatnya sebagai bentuk diskriminasi rasial,
- 46,4% meyakini akan memperdalam kebencian.
Motif Politik di Balik RUU
Menurut Mohammed al-Taj, Ketua Komite Pendiri Shams Foundation for Human Rights, RUU ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap Konvensi Jenewa dan memiliki motif politik:
- Meraih dukungan sayap kanan ekstrem demi menjaga koalisi pemerintahan Netanyahu.
- Menakut-nakuti rakyat Palestina agar tidak berupaya menawan tentara Israel untuk pertukaran.
- Melemahkan dukungan terhadap perlawanan Palestina.
Namun, ia menilai efeknya justru berlawanan, “Jika disahkan, kelompok perlawanan akan semakin berupaya menyelamatkan tawanan mereka lewat pertukaran sebelum eksekusi dilakukan.”
Pemerintah Netanyahu akhirnya menarik sementara RUU ini karena gagal memperoleh mayoritas suara akibat konflik internal koalisi. Namun, RUU tersebut dapat diajukan kembali kapan saja, terutama jika pemilu dini diadakan.
Hal ini tetap menjadi ancaman nyata bagi lebih dari 9.250 tawanan Palestina, termasuk 49 perempuan dan 350 anak-anak, yang kini hidup dalam kondisi penjara yang penuh pelanggaran HAM.
Sumber:
The New Arab


![Ratib Mahmoud Abu Kulayk, bocah berusia 9 tahun, yang melarikan diri dari desanya di Gaza utara bersama keluarganya ke Deir al Balah, kehilangan ibunya dalam serangan udara Israel saat mengunjungi kerabatnya di Khan Yunis. Ia masih hidup dalam kondisi yang sulit di Deir al Balah, Gaza, pada 14 September 2025. [Hassan Jedi – Anadolu Agency]](https://adararelief.com/wp-content/uploads/2025/11/AA-20250916-39125443-39125442-9YEAROLD_RATIB_IN_GAZA_AWAITS_PROSTHETIC_AFTER_LOSING_LEG_IN_ISRAELI_ATTACK-120x86.webp)

![Truk-truk pengangkut makanan dan bahan bakar melewati Perlintasan Perbatasan Kissufim dan menuju Gaza berdasarkan perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas, dan tiba di Jalur Gaza di Deir al-Balah, Gaza pada 6 November 2025. [Mohammed Nassar – Anadolu Agency]](https://adararelief.com/wp-content/uploads/2025/11/AA-20251106-39635734-39635729-TRUCKS_LOADED_WITH_HUMANITARIAN_AID_CONTINUE_TO_ENTER_GAZA-120x86.webp)

