7amleh – Pusat Arab untuk Kemajuan Media Sosial telah merilis makalah baru berjudul “Perang Tanpa Peluru: Bagaimana Disinformasi Membentuk Kembali Realitas Pemuda Palestina yang Terpapar Genosida?” Makalah ini mengkaji bagaimana disinformasi telah menjadi salah satu alat utama genosida Israel di Gaza—tidak hanya untuk membenarkan genosida tetapi juga untuk merekayasa ulang kesadaran kolektif warga Palestina dan masyarakat global, khususnya di kalangan pemuda.
Makalah ini menyoroti bahwa informasi telah menjadi medan perang paralel bagi operasi militer. Israel telah menggunakan berbagai perangkat digital—termasuk kecerdasan buatan, propaganda berbayar, serangan siber, akun palsu, manipulasi algoritmik, dan sensor pers—untuk menciptakan realitas terdistorsi yang membentuk kembali kebenaran dan melegitimasi agresi. Disinformasi, menurut makalah ini, bukan lagi gejala bias media, melainkan strategi yang disengaja untuk mendominasi kesadaran dan mengendalikan narasi yang melayani kepentingan politik dan militer Israel.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel secara sistematis telah menggunakan disinformasi untuk mencapai beberapa tujuan: merendahkan derajat kemanusiaan warga Palestina dengan menggambarkan mereka sebagai ancaman terus-menerus untuk membenarkan kekerasan; menciptakan pembenaran “moral” palsu yang membingkai serangannya sebagai “perang yang adil dan perlu”; menggalang dukungan internal Israel; dan menangkis kritik publik terhadap kepemimpinan politik dan militer. Disinformasi juga telah dijadikan senjata untuk memperdalam perpecahan di dalam masyarakat Palestina dan Arab, mengendalikan narasi media internasional, dan memoles citra global Israel melalui konten rekayasa dan buatan AI yang menampilkannya sebagai “aktor kemanusiaan” sambil menyembunyikan kejahatan perang.
Makalah ini menyoroti dampak buruk disinformasi terhadap pemuda Palestina—kelompok yang paling terpapar konten digital selama perang. Informasi palsu tentang “zona aman” dan “koridor kemanusiaan” menyebabkan keputusan yang mengancam jiwa dan membahayakan warga sipil. Informasi yang dimanipulasi juga menyesatkan para pembuat kebijakan internasional, mendorong kebijakan yang bias dan merugikan.
Lebih lanjut, studi ini mengungkapkan bahwa disinformasi telah merusak kesejahteraan psikologis dan kognitif pemuda Palestina, memperparah ketakutan dan kebingungan, mengikis kepercayaan terhadap media, lembaga, dan perusahaan teknologi, serta membatasi kemampuan mereka untuk mengakses informasi yang akurat dan membuat keputusan yang tepat.
Makalah ini menekankan bahwa disinformasi telah merusak keadilan epistemik bagi warga Palestina dengan merampas kredibilitas suara mereka di ruang media global sekaligus memperkuat narasi Israel di forum internasional. Makalah ini menyimpulkan bahwa genosida di Gaza telah menjadi perang ganda—satu di lapangan dan satu lagi terhadap kebenaran dan kesadaran—ketika gambar dan algoritma dijadikan senjata untuk melemahkan warga Palestina dan mendominasi kisah mereka.
Nadim Nashif, Direktur Jenderal 7amleh, menyatakan: “Perang melawan kebenaran bukanlah efek samping dari perang di lapangan—melainkan syarat untuk keberlanjutannya. Ketika algoritma mengendalikan apa yang kita lihat dan dengar, disinformasi menjadi senjata yang menyerang kesadaran sebelum menyerang tubuh. Melindungi pemuda Palestina saat ini berarti melindungi hak mereka atas pengetahuan dan kemampuan mereka untuk menyampaikan realitas mereka sendiri tanpa bias atau represi digital.”
Makalah ini menyerukan pendekatan komprehensif untuk melawan disinformasi, dimulai dengan meningkatkan literasi media dan pendidikan digital kritis di kalangan pemuda Palestina, serta mereformasi kerangka hukum internasional dan lokal untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang memproduksi atau menyebarkan informasi palsu selama konflik.
Makalah ini juga mendesak tekanan kepada perusahaan teknologi untuk mengatasi bias algoritmik dan melindungi hak-hak digital Palestina, mengembangkan perangkat untuk memantau kampanye disinformasi terkoordinasi, memastikan transparansi mekanisme verifikasi dan peninjauan konten, serta memperkuat kerja sama antara perusahaan, organisasi hak asasi manusia, dan jaringan pemeriksa fakta—sambil melindungi pengguna Palestina dari penghapusan akun yang sewenang-wenang.
Dalam konteks media, makalah ini mendesak jurnalis dan lembaga berita untuk mematuhi verifikasi dan akurasi, melakukan pelatihan berkelanjutan untuk mendeteksi disinformasi selama konflik, memprioritaskan verifikasi klaim terkait militer, dan memastikan sumber Palestina menjadi rujukan utama liputan.
7amleh menyimpulkan bahwa genosida di Gaza telah mengungkap disinformasi sebagai salah satu instrumen paling berbahaya untuk mengendalikan persepsi dan menulis ulang kebenaran. Oleh karena itu, melindungi warga Palestina saat ini berarti melindungi suara, narasi, dan hak mereka atas pengetahuan—karena siapa pun yang mengendalikan informasi, akan mengendalikan kesadaran; dan siapa pun yang mendistorsi narasi akan membuka jalan untuk membenarkan kejahatan perang.
Sumber: Wafa





![Diperkirakan 70.000 ton bahan peledak telah dijatuhkan di Gaza sejak dimulainya perang [Getty/foto arsip]](https://adararelief.com/wp-content/uploads/2025/10/2210885197-75x75.jpeg)
