Jumat 27 Oktober 2023 Adara Relief Internasional bersama dengan Lembaga Dakwah Fakultas Hukum UI, Serambi FHUI mengadakan Diskusi Publik dengan judul “Agresi Gaza 2023: Kondisi Terkini dan Akar ‘Konflik’ Palestina-Israel”. Acara dibuka dengan sambutan dari ketua Serambi UI Rahmadhani Nur Widianto. Dalam pembukaan tersebut ia mengatakan bahwa diadakannya diskusi publik ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terkait dengan kondisi Gaza ketika agresi yang terjadi sejak tiga 7 Oktober lalu. Kemudian, sambutan selanjutnya disampaikan oleh Direktur Fundraising Adara Relief yang mengapresiasi keterlibatan keluarga besar UI yang senantiasa menjadi corong perdamaian di Indonesia. Dalam sambutannya ia mengatakan bahwa ke depannya mahasiswa-mahasiswi inilah yang akan menjadi pemimpin Indonesia. Ia berharap semoga amanah yang dibebankan pada mahasiswa bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Mahasiswa UI juga diharapkan

Memasuki sesi pemaparan yang dipandu oleh moderator Djarot Dimas S.H., M.H, Syeikh Fayiz Al Ghoul menceritakan bagaimana masa kecilnya dihabiskan dalam penjara terbesar yang diciptakan oleh Zionis di kota Gaza. Seringkali ia dihantui oleh suara-suara bom Israel ketika ia sedang menempuh pendidikan Qur’annya.
Al-Qur’an menjadi pola didik utama yang diberikan oleh orang tuanya sehingga Syeikh Fayiz berhasil mengkhatamkan hafalan Al-Qurannya hanya dalam durasi dua bulan ketika peralihan dari tingkat SMP ke SMA. Ia juga pernah memenangkan kompetisi hafiz Al-Quran kedua se-Gaza.
Dalam urusan Palestina ia menekankan bahwa selain isu kemanusiaan, bagi umat Islam Palestina adalah kiblat dan akidah yang harus dijaga. Beliau berpesan untuk selalu menjaga masjid Al-Aqsa karena masjid tersebut merupakan salah satu dari tiga masjid yang dimuliakan dalam Islam.

Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Ketua Departemen Riset Adara, Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.IP., Ia menyampaikan kondisi Palestina dan hipokrisi dunia akan agresi yang terjadi di Gaza. Dijelaskan pula tentang bagaimana hingga saat ini Israel dan pendukungnya kerap melakukan kejahatan perang terhadap warga Palestina, mulai dari pembunuhan terhadap jurnalis, shadow banning di media sosial akan fakta-fakta kejahatan yang telah mereka lakukan, serta penyebaran berita hoaks yang kerap diakukan. Ia juga menekankan kata ‘konflik’ disini lebih tepat dikatakan sebagai penjajahan karena Israel telah memulai penjajahannya sejak 75 tahun yang lalu. Ia memungkasi paparannya dengan mengatakan, “Jika sekarang kita hanya diam melihat kejahatan yang Israel lakukan, maka diam itulah yang akan membunuh saudara kita yang berada di Palestina”.

Pemaparan materi berlanjut pada pembicara ketiga yaitu Hasanah Ubaidilah, LC., M.A., terkait dengan Kondisi Tawanan Anak dan Perempuan di Palestina. Ibu Hasanah mengawali diskusi dengan menyampaikan persamaan antara Indonesia dan Palestina yang berjuang melawan penjajahan. Ia memaparkan bahwa bangsa Indonesia yang sudah merdeka, pernah didatangi kembali oleh penjajah pada 10 November 1945. Ketika itu, masyarakat Indonesia mati-matian memperjuangkan tanah airnya, melawan Belanda yang dibonceng oleh sekutu.
Kemudian, dalam Perjanjian Linggarjati yang dalam kesepakatannya hanya mengakui sebagian wilayah Indonesia dan diberlakukannya garis demarkasi, Indonesia tidak berhenti berjuang untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia secara utuh hingga pada akhirnya terjadilah Agresi Militer Belanda I yang menimbulkan banyak korban di pihak Indonesia. Inilah yang sebenarnya sedang dilakukan oleh bangsa Palestina, yaitu mempertahankan kedaulatannya.
Memasuki materi terkait dengan tawanan perempuan dan anak Palestina, Pihak Israel selalu mempermasalahkan 230 orang Israel yang ditawan di Gaza. Padahal sesungguhnya Israel justru menahan lebih banyak warga Palestina, yaitu sekitar 6.667 orang. Jumlah mereka yang ditahan terus bertambah karena setiap hari di Tepi Barat, tentara Zionis Israel terus menangkap warga yang tidak bersalah. Dari jumlah tersebut, 1.264 di antaranya merupakan tawanan administratif, yaitu orang-orang yang ditangkap tanpa alasan yang jelas.

Narasumber keempat, Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., M.Ag., Ph.D menyampaikan perihal ‘Konflik’ Palestina-Israel dalam Kacamata Hukum Humaniter. Ia menekankan bahwa pemberitaan di media pada hari ini tidak seimbang antara pemberitaan dari sisi Palestina dengan Israel, terkhusus di negara-negara Barat. Begitupun di Indonesia, banyak yang masih terjebak dengan narasi bahwa agresi yang dilakukan Israel merupakan tanggapan atas terorisme.
Padahal yang terjadi sebetulnya adalah penjajahan, bahkan dapat dikatakan bahwa Israel-lah yang melakukan tindakan terorisme terhadap rakyat Palestina. Karena sebenarnya, terorisme tidak hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok non-negara, melainkan juga oleh negara itu sendiri. Contohnya adalah rezim di Myanmar yang melakukan kekerasan terhadap Rohingya dan Israel yang saat ini melakukan kekerasan terhadap warga Gaza. Terdapat berbagai deskripsi terorisme, dan ia menekankan bahwa Israel memenuhi definisi terorisme tersebut.
Dosen Hukum Fakultas Hukum UI itu melanjutkan pemaparannya dengan mengatakan bahwa tantangan dalam agresi saat ini ialah bagaimana cara mengusahakan agar dukungan kemanusiaan sampai ke Palestina, apalagi sebentar lagi akan memasuki musim dingin. Ia juga menambahkan, agar kita turut menyebarkan informasi yang jelas dalam melawan berita palsu (hoaks) serta melaksanakan gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions). Boikot ini dapat memberikan sanksi yang sah dan normal dalam advokasi internasional. Selain diplomasi internasional, diplomasi melalui berbagai organisasi non-pemerintah dari berbagai negara, termasuk rakyat biasa, juga dapat berperan penting dalam situasi ini. Diplomasi yang dilakukan oleh mahasiswa pun dapat mendukung perjuangan bangsa Palestina. Salah satu cara mendukungnya adalah dengan membeli produk-produk dari Palestina, serta menciptakan konten-konten di media sosial yang mendukung tujuan perdamaian.

Materi terakhir disampaikan oleh Bapak Abdul Kadir Jailani, S.H., LL.M terkait dengan peran Pemerintah serta Masyarakat dalam Mendukung Kemerdekaan Palestina. Setelah mengucapkan bela sungkawa kepada masyarakat Palestina yang langsung ditujukan kepada Syeikh Fayiz, beliau menyampaikan bahwa Indonesia tidak pernah diam dalam menanggapi kekerasan yang terjadi di Palestina. Apalagi melihat tingkat kekerasan yang sedang berlangsung sekarang, sikap Indonesia tentu jelas berada di sisi kemanusiaan. Hal ini bukan semata-mata berdasarkan bahwa mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Namun, Ia menekankan bahwa isu ini adalah masalah kemanusiaan. Keadaan ini merupakan bencana kemanusiaan yang secara moral tidak bisa diterima.
Ia menyampaikan pula bahwa Indonesia bersama dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) telah mengadakan pertemuan luar biasa untuk menghentikan eskalasi kekerasan dan fokus pada upaya pemulihan kemanusiaan. Serangan ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan.
Saat ini, pemerintah Indonesia tengah berkoordinasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menggerakkan komunitas internasional guna memastikan bantuan kemanusiaan yang diperlukan. Menteri Luar Negeri Indonesia dengan tegas menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk menghentikan konflik ini. Beliau menekankan bahwa inilah saatnya untuk mengesampingkan politik dan memusatkan perhatian pada aspek kemanusiaan.
Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika di Kemenlu itu dengan tegas menegaskan bahwa Indonesia tidak akan pernah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. “Indonesia sejauh ini telah mempertahankan konsistensinya. Kami tidak dapat melakukan normalisasi hubungan dengan Israel selama kolonisasi di Palestina belum dihentikan.” Indonesia juga aktif dalam upaya mendorong proses perdamaian yang bertujuan dalam mencapai solusi berupa “two-state solution.” Bagi Indonesia, tercapainya solusi dua negara tersebut adalah sesuai dengan standar internasional, yaitu dengan menghormati hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri, termasuk pengakuan perbatasan sesuai dengan garis batas tahun 1967. “Saya tahu ini (two-state solution) kontroversial untuk beberapa pihak, tapi this is the fact of life yang harus diterima”, tukasnya.
Ia melanjutkan bahwa penting juga untuk menjamin keamanan Palestina apabila negara Palestina dapat diwujudkan, termasuk menghormati hak untuk kembali ke tanahnya (rights of return), dan mengakui Al-Quds (Yerusalem) sebagai ibu kota Palestina. Sekali lagi dalam penutup materinya ia mewakili pemerintah Indonesia menekankan kembali komitmen pemerintah indonesia dalam mendukung perjuangan palestina. Mengutip perkataan Soekarno bahwa selama Palestina belum mencapai kemerdekaannya, Indonesia akan terus menolak penjajahan Israel.








