“Yaffa akan menjadi kota Yahudi… Mengizinkan orang Arab untuk kembali ke Yaffa bukanlah kebenaran, melainkan kebodohan,” tulis David Ben-Gurion dalam buku hariannya pada Juni 1948. Perdana menteri pertama Israel, yang tiba di Palestina di pelabuhan Yaffa pada tahun 1910, menulis setelah pasukan sayap kanan Irgun menghancurkan Yaffa pada April 1948 dan mengusir hampir 70.000 penduduk Palestina.
Setelah bom berhenti, penjarahan dimulai: Ben-Gurion adalah salah satu pendukung terkuat perampasan properti Palestina. Beberapa bulan kemudian, ribuan buku berbahasa Arab tergeletak di jalanan, “rusak parah selama perang, (terkena paparan) angin, hujan, dan matahari”, terang Adam Raz, sejarawan dan penulis The Looting of Arab Property in the 1948 War. Buku-buku tersebut berasal dari perpustakaan umum dan swasta, koleksi masjid dan gereja, ruang baca klub sosial Yaffa, dan tujuh toko buku modern yang berderet di kawasan perbelanjaan Yaffa.
Toko buku Arab menghilang dari Yaffa selama 55 tahun, sampai Michel Raheb dari Ramla pertama kali memutuskan untuk membukanya pada 2003. Dia memutuskan Yaffa sebagai kota terbaik untuk memulainya. Selanjutnya, Kafe Yafa membuka pintunya pada tahun yang sama. Raheb ingin berbagi kecintaannya pada buku. Bertahun-tahun sebelumnya, pada 1990-an, dia menyumbangkan waktu dan koleksi pribadinya yang terdiri atas ribuan buku berbahasa Arab untuk membuka perpustakaan di Gereja Ramla di kota setempat. Ia menjadikan Kafe Yafa sebagai tempat berkumpulnya komunitas, menawarkan kopi dan masakan Arab kepada tamu Palestina dan Israel yang datang untuk berbelanja, ngemil, mengobrol, dan membaca.
Bagi warga Palestina yang datang dari seluruh penjuru negeri, Kafe Yafa adalah tempat yang penting, karena hanya ada sedikit toko buku berbahasa Arab di mana pun di Israel dan tidak ada di selatan Yaffa. Ketika Kafe Yafa yang penuh obrolan dan sapaan berakhir, staf bersiap untuk kegiatan malam hari, mengubah kafe menjadi pusat budaya, menawarkan kelas bahasa Arab, konser, pemutaran film, dan ceramah. Ceramah malam pada hari kerja baru-baru ini mengangkat persoalan bagaimana menghentikan rencana penghancuran Masafer Yatta oleh tentara Israel di Perbukitan Hebron Selatan. Ketika itu Kafe Yafa penuh sesak dengan tamu yang duduk di lantai, mendengar ulusan dari sekumpulan pengacara dan aktivis.
Mengelola toko buku berbahasa Arab tidaklah menguntungkan, sesuatu yang dirasakan oleh para pemilik toko buku Palestina seperti halnya para pemilik toko buku di seluruh dunia, tetapi mereka memiliki beban tambahan untuk beroperasi di negara yang menantang eksistensi mereka sendiri. Mahmoud Muna, pemilik Toko Buku Pendidikan di Al-Quds (Yerusalem), menjelaskan bahwa bagi banyak orang Palestina yang hidup di bawah pendudukan, “membeli buku berbahasa Arab adalah sebuah kemewahan, bukan kebutuhan”.
Sumber:
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini