Hari Kesehatan Sedunia diperingati pada 7 April setiap tahunnya. Tahun ini, Dewan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Ekonomi Kesehatan untuk Semua menyatakan bahwa setidaknya 140 negara telah mengakui kesehatan sebagai hak asasi manusia dalam konstitusi mereka. Akan tetapi, masih banyak negara yang belum mengesahkan dan menerapkan undang-undang yang menjamin penduduknya mendapatkan layanan kesehatan. Faktanya, data WHO tahun 2021 menunjukkan bahwa sekurangnya 4,5 miliar orang, atau lebih dari separuh populasi dunia, belum terhubung dengan pelayanan kesehatan dasar.
Dalam usaha mengatasi tantangan-tantangan dalam dunia kesehatan, WHO mengumumkan bahwa tema Hari Kesehatan Sedunia tahun ini adalah ‘My Health, My Right’ atau ‘Kesehatanku adalah Hakku’. Tema tahun ini dipilih untuk memperjuangkan hak setiap orang di seluruh dunia agar memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang layak, pendidikan dan informasi yang berkualitas, air minum dan udara yang bersih, lingkungan rumah dan pekerjaan yang baik, serta kebebasan dari diskriminasi.
Ada ironi di balik tema tahun ini yang sangat visioner, karena Hari Kesehatan Sedunia tahun ini disambut dengan kabar duka dari Gaza, Palestina; kondisi kesehatan rakyat Gaza sangat jauh dari jargon PBB.
Di Jalur Gaza, agresi yang telah berlangsung selama lebih dari 6 bulan, menyebabkan puluhan ribu penduduk kehilangan nyawa, sedangkan yang lainnya dipaksa bertahan di tengah luka. Fasilitas dan tenaga kesehatan pun tidak luput dari sasaran. Sejumlah rumah sakit kehabisan bahan bakar dan aliran listrik hingga tidak dapat bertahan, ambulans diledakkan ketika dalam perjalanan, satu demi satu nyawa pahlawan kesehatan berguguran. Di Gaza, nyaris tak ada obat-obatan maupun makanan, sebab truk bantuan selalu dihadang di perbatasan.
Di Gaza, Palestina, sungguh sudah tidak ada lagi tempat yang aman, bahkan fasilitas kesehatan yang seharusnya bebas serangan meski pada masa perang, nyatanya tak luput dari pembantaian. Maka, demi menuntut Israel yang tak henti-hentinya menargetkan fasilitas kesehatan di Gaza, mari kita ubah sedikit tema Hari Kesehatan Sedunia hari ini : ‘Palestinian Health, Palestinian Right’.
Al-Shifa, Rumah Sakit Terbesar yang Menjelma menjadi Kuburan Terluas

Adakah yang pada masa kecilnya memiliki ketakutan terhadap rumah sakit? Mungkin pada umumnya ini adalah hal yang wajar, sebab biasanya anak-anak memiliki ketakutan karena khawatir akan disuntik, diberi obat pahit, atau diinfus dan dirawat inap berhari-hari. Namun di Gaza, situasinya berbeda. Ketakutan yang dirasakan penduduknya terhadap rumah sakit amat sangat tidak wajar. Bagaimana tidak, rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk mereka memulihkan diri, ternyata menjadi target utama serangan pasukan Israel.
Baru-baru ini, pasukan Israel menarik diri dari Kompleks Medis Al-Shifa di Gaza pada tanggal 1 April 2024 setelah dua pekan mengepung dan menyerang fasilitas kesehatan terbesar di Palestina tersebut. Ketika pasukan Israel mundur dari kompleks medis Al-Shifa, sebagian besar bangunan telah berubah menjadi puing-puing, tidak bisa lagi digunakan sama sekali. Rumah sakit yang dibanggakan sebagai fasilitas kesehatan terbesar di Gaza tersebut telah berubah menjadi kuburan terluas di Gaza.
Berbicara mengenai pembantaian yang mereka lakukan terhadap RS Al-Shifa, tentara Israel (IOF) mengatakan pasukannya telah “melakukan aktivitas operasional yang tepat” di sana, dengan menangkap sekitar 500 orang dan “membasmi ratusan teroris”. IOF mengatakan operasi tersebut didasarkan pada “intelijen yang tepat” dan bahwa pasukannya telah “menemukan sejumlah besar senjata, dokumen intelijen di seluruh rumah sakit, menghadapi teroris dalam pertempuran jarak dekat dan terlibat dalam pertempuran sambil menghindari serangan terhadap staf medis dan pasien” .
Akan tetapi, pernyataan dari badan kesehatan PBB justru mengatakan hal yang sebaliknya. Mereka melaporkan bahwa banyak pasien rumah sakit telah meninggal akibat pengepungan Israel selama dua minggu tanpa makanan, air, dan obat-obatan, sedangkan sisanya harus bertahan dalam kondisi berisiko tinggi. “Banyak jenazah, beberapa di antaranya sudah membusuk, telah ditemukan di dalam dan sekitar Al-Shifa,” kata Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, seraya menambahkan bahwa rumah sakit tersebut “benar-benar tidak dapat digunakan lagi”.
Raed al-Nims, juru bicara Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS), mengatakan kepada Al Jazeera, “Situasinya mengerikan. Banyak di antara staf medis yang dibunuh, Sementara lainnya disiksa, ditahan, dan dikepung selama dua pekan tanpa pasokan medis atau bahkan makanan dan air.” Nims kemudian menambahkan, “Menurut keterangan saksi mata dan laporan resmi, banyak warga sipil yang dieksekusi, termasuk staf medis, dokter dan perawat; mereka dieksekusi dengan sengaja oleh tentara Israel.”
Penduduk Palestina yang bertahan dari pembantaian tersebut juga banyak yang memberikan kesaksian bahwa mereka menyaksikan sendiri kengerian pembantaian dan penangkapan massal yang dilakukan oleh pasukan Israel. Ratusan orang yang kembali ke Rumah Sakit al-Shifa dan sekitarnya melaporkan bahwa mereka menemukan jenazah berserakan di dalam dan di luar fasilitas kesehatan tersebut. Mohammed Mahdi, salah satu di antara penduduk Palestina yang kembali, menggambarkan pemandangan di Al-Shifa sebagai “kehancuran total”. Dia mengatakan beberapa bangunan telah terbakar dan dia menghitung ada enam jenazah di daerah tersebut, termasuk dua di halaman rumah sakit yang ia temukan.
Warga Palestina lainnya, Yahia Abu Auf, mengatakan buldoser tentara menggilas kuburan darurat di dalam kompleks rumah sakit, dalam kondisi masih ada pasien, pekerja medis, dan pengungsi yang sedang berlindung di area tersebut. Beberapa pasien yang ditemukan masih bertahan telah dibawa ke Rumah Sakit Ahli yang terdekat. “Situasinya tidak dapat digambarkan,” kata Mahdi. “Israel menghancurkan seluruh kehidupan yang ada di sini.”
Agresi Gaza dan Kondisi Kesehatan yang Memprihatinkan

Agresi Israel di Jalur Gaza yang telah berlangsung selama lebih dari 180 hari telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap kondisi kesehatan di Jalur Gaza. Sebelum agresi, kondisi kesehatan di Gaza sudah cukup lemah akibat blokade yang berlangsung selama lebih dari 16 tahun. Agresi yang tidak kunjung berhenti sejak 7 Oktober hanya semakin memperburuk situasi kesehatan di Gaza. Akan tetapi, meskipun harus bertahan di tengah keterbatasan, tenaga medis dan penduduk Palestina tidak memiliki pilihan selain berusaha bertahan di tengah keterbatasan fasilitas pelayanan kesehatan.
Sejak 7 Oktober 2023 hingga 5 April 2024, Al Jazeera melaporkan bahwa Israel telah membunuh 33.091 orang di Gaza, termasuk lebih dari 13.000 anak-anak, 8.400 perempuan, dan telah melukai lebih dari 75.750 penduduk sipil. Jumlah ini kemungkinan akan terus diperbaharui, mengingat masih ada lebih dari 8.000 orang dinyatakan hilang yang diasumsikan terkubur di bawah reruntuhan dan belum bisa dievakuasi.

Menurut data terbaru dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan pemerintah Palestina per tanggal 28 Maret 2024, serangan Israel telah merusak lebih dari separuh rumah penduduk yang ada di Gaza atau sebanyak 360.000 unit tempat tinggal, 267 tempat ibadah dan 396 fasilitas pendidikan. Serangan Israel juga mengakibatkan hanya 10 dari 35 rumah sakit yang masih berfungsi, itu pun hanya berfungsi sebagian dan membuat 83% sumur air tanah tidak bisa beroperasi.
Jumlah tersebut tidak main-main. Dengan lebih dari 75.000 penduduk terluka dan membutuhkan perawatan intensif, keberadaaan 10 rumah sakit yang masih berfungsi sebagian adalah jumlah yang sangat sedikit, belum lagi ditambah fakta bahwa kebanyakan rumah sakit telah kehabisan bahan bakar, obat-obatan. dan tenaga medis. Analisis ketahanan pangan dari Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) juga menunjukkan bahwa 100% penduduk Gaza berada dalam risiko kelaparan, sehingga semakin memperburuk kondisi kesehatan penduduk Gaza yang sudah memprihatinkan. Gaza telah menjelma sebagai tempat paling mematikan di dunia.

“Fasilitas kesehatan ini tidak dibangun untuk korban dalam jumlah besar. Faktanya, tidak ada rumah sakit di dunia yang dibangun untuk menangani korban massal yang parah dan tidak ada yang mampu menanggungnya,” kata penasihat kesehatan darurat senior Komisi Penyelamatan Internasional (IRC), Dr. Seema Jilani, yang ditugaskan di Rumah Sakit Al Aqsa di Gaza tengah sebagai anggota tim medis darurat IRC. Ia menambahkan bahwa Rumah Sakit Al Aqsa telah kekurangan staf sehingga terpaksa menutup bangsal bersalinnya. Akibatnya, para perempuan hamil terpaksa dirujuk ke Rumah Sakit Al Awda, yang letaknya lebih jauh, sehingga menimbulkan risiko perjalanan tambahan.
Berpindah dari satu fasilitas kesehatan ke fasilitas kesehatan lain pun tidak menjamin apa-apa. IRC melaporkan bahwa sejak 7 Oktober 2023 hingga Maret 2024, Israel tercatat telah melakukan lebih dari 600 insiden kekerasan atau menghambat akses terhadap pelayanan kesehatan. Jumlah ini juga termasuk insiden ketika pasukan Israel menyerang ambulans di Rumah Sakit Al-Aqsa pada bulan Januari 2024, yang membunuh empat relawan kesehatan. IRC juga menambahkan bahwa Israel telah membunuh 160 relawan di Jalur Gaza, melanggar hukum humaniter internasional yang seharusnya melindungi mereka.

IRC lebih lanjut menekankan bahwa anak-anak dan perempuan adalah golongan yang kesehatannya paling rentan di tengah agresi Gaza, mengingat 70% dari korban agresi merupakan anak-anak dan perempuan. Agresi genosida ini sangat memengaruhi kehidupan mereka; membuat mereka kehilangan tempat tinggal, kehilangan anggota keluarga, bahkan IRC melaporkan bahwa tidak kurang dari 1.000 anak di Gaza telah kehilangan salah satu atau kedua kaki mereka dan seringkali terpaksa menjalani amputasi tanpa anestesi karena obat-obatan tidak diizinkan memasuki Gaza.
Di tengah kondisi yang mengerikan tersebut, petugas medis seringkali menemukan anak-anak dibawa ke fasilitas medis dalam kondisi terluka, ketakutan, dan sendirian karena terpisah dari keluarga mereka. Banyaknya kasus anak-anak seperti ini membuat terciptanya akronim baru yaitu WCNSF yang merupakan singkatan dari Wounded Child No Surviving Family atau anak yang terluka tanpa anggota keluarga yang selamat.
Selain itu, bagi penduduk Palestina yang selamat dari penyerangan Israel, kesehatan tetap menjadi sebuah kemewahan yang sangat mahal harganya. Bagaimana tidak, ketika 95 persen penduduk Gaza dilaporkan tidak memiliki akses terhadap air bersih karena sistem sanitasi telah dihancurkan oleh serangan udara Israel, kinerja fasilitas kesehatan pun tidak bisa maksimal untuk melayani kesehatan mereka. Krisis air bersih ini sangat krusial, karena telah menjadi penyebab utama mewabahnya penyakit menular, terutama yang ditularkan melalui air seperti kolera, tifus, serta diare kronis yang sangat membahayakan.
Jangan pula lupakan bahwa kesehatan bukan hanya perkara fisik, melainkan juga mental. Data survei psikologis yang dilakukan oleh PCBS pada tahun 2022 lalu menunjukkan bahwa lebih dari separuh individu berusia 18 tahun ke atas di Jalur Gaza menderita depresi. Di Gaza, persentasenya mencapai 71 persen, lebih banyak dibandingkan wilayah Palestina lainnya. Data tersebut belum diperbaharui. Agresi yang masih belum berakhir ini kemungkinan besar akan menambah angka depresi di Jalur Gaza, terutama jika survei melibatkan penduduk Gaza secara keseluruhan.
Don’t Forget: Palestinian Health, Palestinian Right

Kesehatan seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap individu di seluruh dunia tanpa terkecuali, terlepas dari ras, etnis, suku, budaya, agama, maupun usia. Akan tetapi, di Palestina, terkhusus di Jalur Gaza yang hingga saat ini menjadi target agresi genosida Israel, kesehatan adalah hal yang sangat mahal harganya. Di Gaza, tidak ada jaminan pelayanan kesehatan akan membuat penduduknya semakin sehat. Sebaliknya, justru banyak yang meregang nyawa di fasilitas kesehatan, sebab rumah sakit tidak luput dari pengeboman dan pembantaian.
Pada Hari Kesehatan Sedunia ini, ingatlah bahwa penduduk Palestina masih belum mendapatkan hak-hak mereka bahkan sekadar untuk mendapatkan layanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang layak dan aman. Di Palestina, rumah sakit bukan menjadi tempat yang berisi harapan akan kesembuhan, melainkan menjadi gedung horor tempat jerit tangis saling bersahutan dan jasad-jasad korban ditumpukkan. Di Palestina, yang mereka butuhkan bukan lagi sekadar bantuan atau kata-kata diplomasi, melainkan tindakan nyata untuk mengakhiri genosida dan melakukan pembangunan kembali yang berkelanjutan.
Pada Hari Kesehatan Sedunia 2024, jangan pernah sekalipun melupakan bahwa penduduk Palestina juga berhak atas kesehatan dan kehidupan.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://www.who.int/campaigns/world-health-day/2024
https://www.who.int/emergencies/situations/conflict-in-Israel-and-oPt
https://sdgresources.relx.com/events/world-health-day-2024-0
https://www.unrwa.org/activity/health-gaza-strip
https://pcbs.gov.ps/post.aspx?lang=en&ItemID=4487
https://www.rescue.org/article/collapse-gazas-health-system
https://reliefweb.int/report/world/world-health-day-health-workers-are-under-attack-worldwide
https://www.aljazeera.com/gallery/2024/4/1/the-destruction-of-gazas-al-shifa-hospital
https://www.aljazeera.com/opinions/2024/3/1/the-war-on-gaza-is-a-health-justice-issue-too
https://www.aljazeera.com/news/longform/2023/10/9/israel-hamas-war-in-maps-and-charts-live-tracker
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini