Baru-baru ini masyarakat Indonesia dikejutkan dengan isu normalisasi antara Indonesia dengan Israel. The Jerusalem Post, salah satu kanal berita Israel, melaporkan bahwa Indonesia sedang berupaya untuk menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai bagian dari usahanya untuk menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Organisasi tersebut merupakan sebuah badan internasional yang terdiri dari 38 negara anggota, dengan tujuan utama untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi global yang kuat, bersih, dan adil.
Untuk menjadi negara anggota OECD terdapat serangkaian syarat, salah satunya ialah mendapat persetujuan seluruh negara anggota OECD. Israel yang merupakan salah satu negara anggota tersebut merasa keberatan jika Indonesia ingin bergabung namun belum punya hubungan diplomasi dengan Israel. Oleh sebab itu Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, menolak Indonesia bergabung dengan OECD, kecuali jika Indonesia menormalisasi hubungan dengan Israel.
Lalu Muhammad Iqbal, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, menegaskan bahwa sampai saat ini tidak ada rencana untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, terutama mengingat masih adanya genosida yang dilakukan Israel di Gaza.
“Posisi Indonesia tidak berubah dan tetap kokoh mendukung kemerdekaan Palestina dalam kerangka two-state solution. Indonesia akan selalu konsisten, berada di garis terdepan membela hak-hak bangsa Palestina,” kata Iqbal dalam keterangannya.
KAA dan Dukungan untuk Palestina
Sejarah dukungan Indonesia terhadap Palestina sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak permulaan Indonesia merdeka. Konferensi Asia Afrika (KAA), yang diperingati setiap tanggal 18 – 24 April, ikut menjadi saksi atas dukungan Indonesia terhadap Palestina. Konferensi tersebut merupakan sidang internasional pertama negara-negara Asia-Afrika, yang bertujuan untuk mempromosikan perdamaian dunia dan kerjasama, serta kebebasan dari kolonialisme dan imperialisme.
Konferensi yang dihadiri oleh 29 negara Asia dan Afrika itu berlangsung di Bandung, Indonesia dan dipelopori oleh 5 negara, yaitu Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, India, dan Pakistan. KAA didahului oleh pertemuan di Kolombo pada 1954. Ketika itu perwakilan negara-negara Asia-Afrika mengusulkan ide untuk menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia dan Pakistan juga mengangkat isu Palestina karena masalah ini terkait dengan kolonialisme yang pada saat itu menjadi perhatian negara-negara Asia-Afrika yang hadir di Kolombo. Kedua negara tersebut mengecam agresi yang dilakukan oleh Israel di wilayah Palestina dengan sikap yang tegas.
Dalam pidato pembukaan KAA, Presiden Soekarno mengajak para delegasi untuk bersama-sama membangun Asia dan Afrika yang baru dengan kebebasan, perdamaian, kemerdekaan, dan tanpa keterikatan pada blok tertentu. Presiden Soekarno juga menekankan nilai-nilai yang menjadi dasar persatuan negara Asia-Afrika. Beliau mengingatkan bahwa Asia-Afrika bersatu dalam menentang kolonialisme, rasisme, serta memiliki tekad untuk mempromosikan perdamaian dunia.
Dengan penuh semangat dan berapi-api, Soekarno membuka pidatonya dalam gaya khasnya. Dia menyatakan kebanggaan atas penyelenggaraan peristiwa bersejarah itu. Dia juga menekankan bahwa lahirnya KAA adalah hasil dari penderitaan rakyat di Asia dan Afrika. Dengan judul “Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru”, Bung Karno membahas tiga isu utama dalam konferensi tersebut, yaitu kolonialisme, perdamaian dunia, dan solidaritas antara Asia dan Afrika.
Soekarno menyatakan bahwa konferensi tersebut terjadi karena krisis dunia selama Perang Dingin, yang menjadikan dunia terpecah belah dengan jurang-jurang yang semakin dalam di antara bangsa-bangsa, sementara perdamaian dunia terancam. Keadaan tersebut tidak bisa dibiarkan, sehingga diperlukan perubahan melalui partisipasi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
Soekarno juga menyoroti masalah kolonialisme yang masih menghantui dunia. Banyak negara di Asia dan Afrika masih terjebak dalam penderitaan kolonialisme tersebut, bahkan beberapa negara telah berubah dari bentuk kolonialisme tradisional ke bentuk yang lebih modern. Meskipun demikian, menurutnya, kolonialisme juga menjadi alasan utama bagi mereka untuk berkumpul di Bandung dan mengadakan konferensi besar.
Di akhir pidatonya, Soekarno mengajak negara-negara peserta KAA untuk bersatu membentuk front antikolonialisme, dengan membangun dan memperkuat solidaritas Asia-Afrika. Dia mendorong mayoritas penduduk dunia untuk mengambil langkah-langkah positif dalam memengaruhi arah politik internasional. Soekarno juga berharap KAA tidak hanya membawa perdamaian di Asia dan Afrika, tetapi juga di seluruh dunia.
Setelah menyelesaikan sidang komisi selama satu minggu, Sidang Umum KAA terakhir diadakan pada 24 April 1955. Sidang ini ditutup dengan pembacaan rumusan pernyataan dari tiap komite oleh Roeslan Abdulgani, yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Konferensi Asia Afrika. Rumusan tersebut kemudian dirangkum dalam sebuah komunike akhir yang membahas cara-cara untuk meningkatkan kerja sama antara negara-negara Asia Afrika di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Hasil paling monumental dari Konferensi Asia Afrika adalah Declaration on the Promotion of World Peace and Cooperation, yang dikenal juga sebagai Dasasila Bandung.
Dalam Dasasila Bandung, terdapat dukungan terhadap isu Palestina. Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa penjajahan Israel terhadap Palestina merupakan salah satu ancaman terhadap perdamaian dunia. Israel yang menganut paham zionisme yang pada dasarnya memiliki keinginan untuk merebut tanah air bangsa lain yaitu dengan menggunakan cara-cara teror dan kejam.
Akibatnya, zionisme dianggap sebagai bentuk kolonialisme paling jahat pada era modern. Hal ini diperparah oleh rasisme yang diterapkan dalam zionisme dan dukungan dari kekuatan internasional yang bersifat reaksioner, baik di kalangan Yahudi di Eropa Barat maupun Amerika.
Oleh karena itu, dalam KAA, zionisme dikritik oleh banyak delegasi sebagai “babak terakhir dari kolonialisme lama” dan “salah satu babak paling kelam dalam sejarah manusia saat ini.” Pada tahun 1948, Israel tidak hanya merebut tanah air rakyat Palestina, tetapi juga mengusir penduduk asli dengan kekerasan dan teror.
KAA mendesak agar para pengungsi Arab segera dikembalikan ke tanah mereka di Palestina. Konferensi Asia Afrika menyatakan dukungannya terhadap hak bangsa-bangsa Arab di Palestina dan menyerukan penerapan semua resolusi PBB terkait Palestina serta pencapaian penyelesaian damai untuk masalah Palestina.
Dukungan untuk Palestina dari Masa ke Masa
Dukungan Indonesia untuk Palestina juga terus digelorakan bangsa Indonesia dari masa ke masa. Pada zaman Presiden Soeharto, Kementerian Luar Negeri Indonesia mencatat kunjungan Yasser Arafat, Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), ke Istana Merdeka pada Juli 1984. Presiden Soeharto langsung menerima kunjungan tersebut. Menurut situs resmi Kemlu, Presiden RI menegaskan dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina.
Pada pemberitaan Antara tanggal 13 Oktober 1988, Soeharto mengutuk upaya Israel untuk menindas perlawanan sah rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel yang dianggap tidak sah. Soeharto juga mendorong Dewan Keamanan PBB untuk menggelar konferensi perdamaian internasional tentang Timur Tengah.
Soeharto menyatakan bahwa keadaan di Timur Tengah tidak bisa dikembalikan seperti dua dasawarsa sebelumnya. Menurutnya, perkembangan ini telah membentuk bangsa Palestina untuk memasuki tahap baru dalam perjuangan politik mereka di bawah kepemimpinan Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina, yang dianggap sebagai satu-satunya wakil resmi rakyat Palestina.
Pada 15 November 1988, saat Palestina menyatakan kemerdekaannya di Aljazair, Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan tersebut. Sebagai tindak lanjut dari dukungan nyata Indonesia terhadap Palestina, pada 19 Oktober 1989 di Jakarta, “Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik” ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri Palestina Farouq Kaddoumi, yang menandai pembukaan Kedutaan Besar Negara Palestina di Jakarta.
Duta Besar pertama Palestina untuk Indonesia kemudian menyerahkan Surat-surat Kepercayaannya kepada Presiden Soeharto pada 23 April 1990. Pada saat yang sama, Duta Besar RI di Tunis, Tunisia, juga diakreditasikan untuk Negara Palestina, menunjukkan komitmen Indonesia dalam memperkuat hubungan diplomatik dengan Palestina.
Selanjutnya pada masa kepemimpinan Presiden Megawati, beliau meneruskan tradisi dukungan dari presiden-presiden sebelumnya terhadap Palestina. Menurut laporan Tempo tahun 2003, Megawati mengkritik langkah PBB dalam menangani konflik Israel-Palestina.
Menurut Menteri Luar Negeri saat itu, Hassan Wirajuda, Megawati mengajukan pertanyaan kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengenai proses negosiasi antara Palestina dan Israel.
Selama masa pemerintahan Megawati, Menlu Hassan Wirajuda juga dilaporkan melakukan kunjungan ke Palestina bersama dengan menteri dari negara-negara anggota Gerakan Non-Blok. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri pada saat itu, Marty Natalegawa, menggambarkan kunjungan menteri tersebut sebagai bukti nyata dukungan Indonesia yang konkret terhadap Palestina.
Berlanjut pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia menyatakan bahwa Indonesia telah lama mengungkapkan dukungan terhadap Palestina dan mengakui bahwa Indonesia telah secara penuh mendukung kemerdekaan Palestina sejak lama.
Selama pemerintahan SBY, Palestina berhasil mendapatkan status non-member observer state di PBB pada tanggal 29 November 2012. Peran Indonesia sebagai co-sponsor dalam pencapaian status tersebut dianggap memiliki makna simbolis dan strategis bagi Palestina. Pencapaian ini menunjukkan pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan Palestina dan memberikan kesempatan bagi Palestina untuk aktif berpartisipasi dalam berbagai forum PBB, termasuk dalam pemilihan-pemilihan tertentu, seperti yang dijelaskan dalam keterangan resmi dari Kementerian Luar Negeri mengenai status tersebut.
Pada masa pemerintahan Jokowi, salah satu langkah besar dukungan Indonesia kepada Palestina adalah melalui penyelenggaraan Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada bulan April 2015. Dalam acara tersebut, disepakati Declaration on Palestine. Deklarasi tersebut menegaskan dukungan negara-negara Asia dan Afrika terhadap perjuangan bangsa Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya dan upaya menciptakan solusi dua negara.
Peringatan 60 Tahun KAA juga menghasilkan Deklarasi Penguatan Kemitraan Strategis Asia-Afrika yang baru, yang antara lain menegaskan kembali dukungan negara-negara Asia dan Afrika untuk memperkuat bantuan kapasitas kepada Palestina, menurut keterangan resmi Kemlu.
Dalam forum tersebut, Presiden Jokowi juga menegaskan dukungannya terhadap Palestina, menyatakan bahwa negara-negara Asia-Afrika masih memiliki tanggung jawab terhadap Palestina yang belum merdeka hingga saat ini.
“Kita harus terus berjuang bersama mereka. Kita harus mendukung lahirnya sebuah Negara Palestina yang merdeka,” tegas Presiden Jokowi seperti dilansir oleh situs Setkab.
Setiap tanggal 18 April biasanya para pemimpin Indonesia dan perwakilan delegasi negara-negara Asia dan Afrika selalu memperingati KAA dengan melakukan Historical Walk. Dahulu, pada tanggal 18 April 1955 sekitar pukul 08.30 Waktu Indonesia Barat, para delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Priangan secara berkelompok menuju Gedung Merdeka untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika. Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Priangan ini kemudian dikenal dengan nama “Historical Walk” atau “Langkah Bersejarah”.
Semangat Bandung yang dituangkan dalam KAA 1955 dalam menjaga solidaritas perjuangan Palestina juga tetap terjaga hingga kini. Namun, sejak pandemi Covid terjadi, Indonesia baru menjalankan Historical Walk pada tahun 2022 yang saat itu bertepatan dengan Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat Dunia tahun 2022 yang diselenggarakan di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, pada 24–26 Oktober 2022. Sementara pada tahun 2023, Historical walk diganti dengan Festival Asia Afrika yang dilaksanakan pada bulan Juli oleh Pemkot Bandung.
Dukungan Indonesia untuk Palestina di ICJ 2024: Collective Moral Duty
Hingga bulan Februari 2024 kemarin Indonesia juga terus aktif menyuarakan dukungan dan keberpihakkan terhadap Palestina, terlebih lagi di tengah situasi di Gaza yang memanas akibat agresi sejak tanggal 7 Oktober. Agresi yang memasuki hari ke-198 ini telah membunuh korban jiwa lebih dari 34.000 orang.
Untuk itu, pada tanggal 23 Februari 2024, Indonesia telah memberikan suatu pernyataan lisan di hadapan International Court of Justice (ICJ) / Mahkamah Internasional di Den Haag mengenai situasi di Palestina. Pernyataan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada ICJ dalam mengeluarkan pendapat hukum terkait kebijakan dan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, sesuai dengan permintaan Majelis Umum PBB melalui Resolusi No 77/247.
“Oleh karena itu, sudah menjadi collective moral duty bagi Indonesia untuk menyampaikan pandangannya”, tegas Menlu Retno Marsudi.
Sebelum memberikan pernyataan lisan tersebut, Indonesia juga telah mengirimkan pernyataan tertulis pada Juni dan Oktober 2023, sesuai dengan permintaan dari ICJ. Dalam pernyataan lisan dan tertulisnya, Indonesia menyampaikan tiga pokok utama, yaitu (1) mengenai yurisdiksi ICJ terhadap isu tersebut, (2) mengenai substansi kasus tersebut, dan (3) mengenai implikasi hukum dari kasus tersebut.
Yang pertama, fatwa hukum ICJ tidak akan mengganggu proses perdamaian antara Israel dan Palestina yang sedang mengalami kebuntuan. Israel telah menghindari negosiasi dengan berbagai alasan dan menghalangi solusi Dua-Negara sesuai hukum internasional dan resolusi PBB.
Selama Israel tetap menolak mengakhiri tindakan kolonialismenya, proses perdamaian yang adil, jangka panjang, dan komprehensif tidak akan terwujud. Fatwa hukum ICJ, meskipun tidak dimaksudkan untuk menetapkan solusi akhir, dapat memberikan kontribusi positif dengan menguraikan aturan hukum terkait dan membantu mengatasi kebuntuan dalam proses perdamaian. Intinya, Indonesia menyatakan bahwa ICJ berhak untuk memberikan fatwa hukum dan tidak ada alasan yang dapat menghalangi ICJ untuk mengeluarkan pendapat hukum.
Mengenai substansi atau pokok perkara kasus ini, Indonesia menegaskan bahwa rakyat Palestina memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, sesuai dengan hukum internasional yang diakui oleh advisory opinion ICJ tahun 2004 dan resolusi Dewan Keamanan PBB. Indonesia mengikuti pandangan ICJ bahwa pemenuhan hak ini adalah kewajiban global yang harus dihormati oleh semua negara. Terdapat empat substansi pelanggaran kasus Israel di Palestina, yaitu:
Pertama, pendudukan Israel telah menghalangi hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang melanggar larangan agresi dalam hukum internasional. Indonesia menegaskan bahwa tindakan Israel ini melanggar kewajiban internasional yang mendasar. Indonesia menyampaikan argumen terkait kepada ICJ untuk dipertimbangkan.
Kedua, aneksasi ilegal Israel atas wilayah Palestina melanggar hukum internasional. Sebagai pihak yang menduduki, Israel wajib menjadikan pendudukannya bersifat sementara, tetapi sebaliknya, Israel menjadikannya permanen dengan melakukan aneksasi. Resolusi Dewan Keamanan PBB telah menegaskan bahwa perolehan wilayah melalui aneksasi tidak dapat diterima menurut hukum internasional, yang dianggap sebagai prinsip yang mutlak.
Ketiga, pembangunan permukiman ilegal Israel di wilayah Palestina melanggar hukum humaniter internasional. Pembangunan ini dilakukan dengan cara memindahkan penduduk Israel ke wilayah Palestina dan mengusir penduduk Palestina dari tanah mereka, yang merupakan pelanggaran Pasal 49 Konvensi Geneva Keempat 1949.
Keempat, Israel menerapkan politik apartheid yang melanggar hak asasi manusia dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel seharusnya bertindak demi kepentingan terbaik bagi penduduk wilayah yang diduduki, namun tindakan diskriminatif terhadap penduduk Palestina melalui rezim hukum yang berbeda merupakan contoh nyata politik apartheid.
Kemudian, terkait dengan konsekuensi hukum, Indonesia menegaskan bahwa tindakan ilegal Israel memiliki konsekuensi hukum yang harus dihadapi, termasuk pemulihan pengakuan hak-hak dasar bangsa Palestina yang diabaikan oleh Israel. Pendudukan Israel atas Palestina secara keseluruhan dianggap ilegal dan harus segera diakhiri.
Israel harus menghentikan semua tindakan yang melanggar hukum di wilayah Palestina dan segera menarik pasukannya. Negara-negara lain dan PBB diminta untuk mengakui situasi ilegal ini dan memastikan Israel mematuhi kewajiban hukum internasional. Indonesia berharap ICJ dapat memberikan panduan hukum yang komprehensif melalui advisory opinion atas permintaan PBB dan menjadikannya landasan bagi penyelesaian pendudukan ilegal Israel di Palestina.
Normalisasi tampaknya masih jauh dari nilai-nilai dan semangat yang dianut oleh para pendiri bangsa. Seperti kesimpulan yang diambil oleh negara-negara Asia Afrika pada KAA yang menolak kolonialisme, seharusnya kesadaran sejarah dan komitmen untuk menaati konstitusi menjadi bagian dari seluruh generasi penerus bangsa Indonesia. Sebagai bangsa Indonesia, kita memiliki tanggung jawab yang ditanamkan oleh para pendiri negara untuk tetap bersikeras bahwa penjajahan harus dihapuskan. Indonesia berpegang pada nilai-nilai Pancasila yang menekankan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, seperti juga yang telah dilakukan oleh para pemimpin Indonesia terdahulu.
Yunda Kania Alfiani, S.Hum
Penulis merupakan anggota Departemen Research and Development Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Ilmu Sejarah, FIB UI.
Referensi:
Implikasi bagi Indonesia bila Normalisasi Hubungan dengan Israel
Tekad Sukarno di Konferensi Asia-Afrika
Semangat Solidaritas Palestina dalam KAA Bandung 1955
Sikap KAA pada Konflik Israel-Palestina
Press Briefing Menlu RI Den Haag, 23 Februari 2024
Indonesia Kirim Pernyataan Tertulis ke ICJ Soal Kebijakan Pendudukan Israel di Palestina
Kemlu bantah normalisasi hubungan Indonesia dan Israel demi masuk OECD
Indonesia dan Mahkamah Internasional mengenai Palestina
Oral Statement Menlu RI pada Hearing Advisory Opinion Mengenai Palestina ICJ, 23 Februari 2024
Asia Africa Festival Bandung digelar lagi setelah vakum dua tahun
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini