Beberapa bulan yang lalu, penyair Palestina Mosab Abu Toha mengenang sahabatnya dengan penuh kasih sayang dan kesedihan, Profesor Refaat Al Areer, yang dibunuh bersama keluarganya di Gaza pada 7 Desember 2023. “Refaat mencintai kehidupan. Ia juga sangat menyukai puisi dan stroberi,” kenang Mosab.
Kala itu, ketika pasukan Israel semakin dekat dan Prof. Refaat merasa semakin terancam dan tidak berdaya, dia memutuskan mengirim pesan kepada Mosab. Ia seakan memberikan wasiat, “Tidak akan ada stroberi tahun ini di Gaza. Tolong Mosab, kalau aku mati, letakkan stroberi di kuburanku…”
Emas Merah Gaza yang Dicuri

Bagi petani stroberi di Gaza, musim panen merupakan suatu kebanggaan. Setiap tahunnya, musim panen stroberi dimulai pada November dan berlangsung selama beberapa bulan hingga akhir Maret. Banyak penduduk yang mengandalkannya sebagai penghasilan. Permulaan musim stroberi merupakan saat yang sangat membahagiakan bagi para petani karena setelah menanam benih pada bulan September, mereka harus dengan sabar menunggu berbulan-bulan hingga stroberi tumbuh secara maksimal. Saat musim panen, para petani kembali ke kebun-kebun tanaman mereka yang telah menghasilkan buah stroberi yang berair dan segar. Oleh karena itu, di Gaza, banyak orang menyebut stroberi sebagai ‘emas merah’.
Bertani di Jalur Gaza yang diblokade dari darat, laut, dan udara tidaklah mudah karena para pekerja harus menghadapi banyak hambatan dan tantangan yang diberlakukan oleh Israel. Gaza, yang telah berada di bawah blokade Israel selama lebih dari 17 tahun, hingga saat ini terus menghadapi berbagai pembatasan yang berdampak pada kehidupan sehari-hari penduduknya. Salah satu pembatasan utama yang diberlakukan oleh Israel adalah pembatasan beberapa jenis pupuk yang digunakan petani, karena pupuk tersebut dianggap sebagai “barang dengan penggunaan ganda”.
Untuk menjadikannya tanaman yang bernilai tinggi, perawatan stroberi membutuhkan banyak sumber daya dan tenaga,. Secara khusus, stroberi membutuhkan air dalam jumlah besar, yang menjadi tantangan tersendiri mengingat pembatasan Israel terhadap air bersih. Akibat pembatasan tersebut, Gaza telah menghadapi krisis polusi air selama beberapa tahun, yang menjadi lebih buruk karena banyaknya lahan pertanian yang dekat dengan air laut ikut terkontaminasi.
Menurut Euro-Med Human Rights Monitor yang berbasis di Jenewa, 97 persen air di Gaza telah terkontaminasi. Banyak petani terpaksa mengeluarkan sejumlah besar uang untuk irigasi, sehingga membuat proses pertanian menjadi lebih mahal. Akibatnya, beberapa petani kini menanam tanaman yang tidak membutuhkan banyak air, seperti paprika hijau. Memetik stroberi di Gaza menyediakan pekerjaan paruh waktu bagi ratusan orang, namun hal ini merupakan pekerjaan berat, dengan jam kerja yang panjang dan upah yang rendah.
Meskipun terkendala oleh kondisi ekonomi yang sulit, banyak petani stroberi di Gaza yang bangga atas prestasi dan kemampuan mereka dalam menanam dan menjual produk stroberi berkualitas tinggi. Pada tahun-tahun ketika panen bagus dan stroberi melimpah, orang-orang akan membeli peti besar dan menggunakannya untuk membuat selai atau jus. Petani di Gaza juga akan merayakan awal musim panen, karena ini merupakan peluang baru untuk mendapatkan penghasilan dan tanda bahwa kerja keras mereka membuahkan hasil.
Stroberi dan Agresi

Dalam beberapa tahun terakhir, akibat perubahan iklim, puncak pemetikan stroberi terjadi pada Januari, padahal biasanya Desember adalah bulan tersibuk. Salah satu daerah paling subur untuk pertanian stroberi adalah Beit Lahia yang terletak di utara Gaza. Akan tetapi, seperti kata Prof. Refaat, tahun ini tidak ada stroberi di Gaza. Sejak Oktober hingga saat ini, Gaza telah dibombardir selama lebih dari 140 hari, atau hampir lima bulan. Dengan kata lain, agresi Israel telah menggagalkan panen stroberi.
Selama agresi, Militer Israel mengatakan pihaknya melakukan operasi militer di kawasan Beit Hanoun, termasuk di kawasan pertanian yang dirahasiakan untuk membersihkan terowongan dan sasaran militer lainnya. Ladang dan kebun di utara Beit Hanoun, misalnya, pertama kali dirusak ketika Israel memulai operasi darat pada akhir Oktober. Buldoser menghancurkan segalanya demi membuka jalan bagi kendaraan militer Israel.
Sejak pertengahan November, setelah pasukan Israel mengambil alih wilayah yang sama di timur laut Gaza, citra satelit menunjukkan bahwa kebun buah-buahan, ladang, dan rumah kaca telah dihancurkan secara sistematis, mengubahnya menjadi pasir dan tanah. Para petani di daerah tersebut menanam berbagai tanaman selain stroberi seperti jeruk, kentang, tomat, kubis, buah naga, dan sabar (buah kaktus), yang berkontribusi terhadap penghidupan warga Palestina di Gaza. Beberapa kebun dihancurkan hanya dalam sehari. Padahal, pohon yang menghasilkan jeruk dan buah naga, memerlukan perawatan bertahun-tahun sebelum dapat menghasilkan buah.
Citra satelit resolusi tinggi juga menunjukkan bahwa buldoser digunakan untuk menghancurkan ladang dan kebun. Terlihat jejak-jejak roda, juga gundukan-gundukan tanah di bagian pinggir; entah karena lahan tersebut sengaja dirusak, entah terkena serangan. Yang pasti, lahan pertanian di Gaza utara telah berkurang drastis sejak dimulainya serangan darat Israel.
Tidak di utara, tidak di selatan, seluruh lahan pertanian di Gaza telah terdampak oleh agresi. Action Against Hunger melaporkan bahwa dari 113 petani di bagian selatan Gaza yang disurvei antara tanggal 19 dan 31 Oktober 2023, 60 persen melaporkan bahwa aset dan/atau tanaman mereka rusak, 42 persen melaporkan bahwa mereka tidak memiliki akses terhadap air untuk mengairi pertanian mereka, 43 persen melaporkan bahwa mereka tidak memiliki akses terhadap air untuk mengairi pertanian mereka, dan 43 persen melaporkan bahwa mereka tidak dapat memanen hasil panen mereka.
Kantor media pemerintah Gaza melaporkan pada tanggal 4 Januari bahwa “tentara Israel telah menjatuhkan 65.000 ton bahan peledak di Jalur Gaza sejak tanggal 7 Oktober, dengan tujuan untuk membuat daerah kantong tersebut tidak dapat dihuni”. Sebagai perbandingan, bom nuklir Little Boy yang dijatuhkan Amerika Serikat di kota Hiroshima, Jepang, selama Perang Dunia II menghasilkan 15.000 ton bahan peledak berkekuatan tinggi dan menghancurkan segala sesuatu dalam radius satu mil (1,6 km). Luas wilayah Gaza yang merupakan salah satu wilayah terpadat di dunia tidak melebihi 360 kilometer persegi, sedangkan wilayah Hiroshima 900 kilometer persegi.
Dalam agresi-agresi sebelumnya, Israel juga menghancurkan ratusan rumah kaca dan berhektar-hektar lahan pertanian, sehingga melemahkan aktivitas pertanian dan kapasitas petani dalam merespons kebutuhan nutrisi warga Gaza. Selama serangan di Gaza pada tahun 2014, Israel menjatuhkan 21.000 ton bahan peledak, yang menyebabkan tanah di Gaza rusak parah. Menurut laporan dari Kelompok Arab untuk Perlindungan Alam (APN), agresi tahun 2021 mengakibatkan kehancuran 13.800.000 meter persegi (lebih dari 25%) lahan yang ditanami sayuran, 2.725.000 meter persegi (lebih dari 17%) lahan yang ditanami tanaman ladang, dan 730.000 meter persegi lahan yang ditanami pohon buah. Agresi tersebut juga menghancurkan 165 sumur pertanian, 1.433.000 meter jaringan irigasi, dan 2.090 (lebih dari 17%) rumah kaca.
Kerusakan lahan pertanian Gaza semakin terlihat nyata dalam agresi terbaru. Pada Oktober lalu, Human Rights Watch dan Amnesty International menuding Israel menembaki warga sipil di Gaza dengan fosfor putih, yang tidak hanya membahayakan manusia tetapi juga membahayakan seluruh lingkungan. Penggunaan fosfor putih di sekitar lingkungan warga sipil dilarang berdasarkan Protokol III Konvensi PBB tentang Senjata Konvensional Tertentu. Selain itu, menurut Agency for Toxic Substances and Disease Registry di Amerika Serikat, zat ini dapat mencemari tanah, perairan, dan bahkan hewan, termasuk ikan, sehingga menimbulkan ancaman jangka panjang bagi manusia, terutama dalam hal kesehatan dan mata pencaharian.
Selain kerusakan pada lahan dan tanah yang disebabkan oleh bahan peledak dan amunisi, Israel mengakui bahwa mereka melakukan sekitar 30 operasi penyemprotan herbisida pembunuh tanaman dari udara antara tahun 2014 dan 2018, menghancurkan seluruh lahan subur. Dengan menyebarkan produk-produk berbahaya ini dan mencegah warga Palestina menggunakan 20% lahan subur di Gaza yang berada di dekat pagar militer Israel, tujuannya adalah untuk mengembangkan “zona penyangga” antara Israel dan Jalur Gaza. Pada tahun 2021, serangan udara Israel mengebom empat gudang besar yang berisi hampir 300 ton insektisida dan sekitar 2.000 ton pupuk pertanian, menyebabkan limbah yang korosif dan terkontaminasi racun.
Tidak Ada Stroberi di Gaza Tahun Ini

Tidak akan ada stroberi di makam Refaat Al Areer tahun ini, untuk memenuhi permintaan beliau. Bahkan jika ada, buah-buahan tersebut kemungkinan besar tidak dapat dimakan akibat paparan bahan kimia selama agresi. Bukan mustahil jika bertahun-tahun kemudian, Gaza dan kebun stroberinya hanya bisa dilihat di buku-buku sejarah. Jika tidak ditangani secara efektif, bencana ekologis yang terjadi di Gaza dapat semakin meluas. Tindakan cepat dan efektif harus diambil untuk mengatasi bencana ekologis ini.
Kesehatan dan kesejahteraan generasi masa depan warga Palestina di Gaza tengah dipertaruhkan. Agresi tidak hanya merenggut nyawa manusia, namun juga membunuh sumber daya Gaza hingga ke akar-akarnya. Akan tetapi, layaknya Gaza yang selalu bertahan menghadapi agresi bertubi-tubi, semoga segala yang pernah tumbuh di bumi Gaza kelak akan kembali dengan lebih indah. Sebab seperti orang tua dan kakek-neneknya, generasi-generasi Gaza di masa depan harus menikmati rasa segarnya semangka, stroberi, dan madu di jari mereka. Dan semoga pada tahun-tahun mendatang, seperti anak-anak lainnya, anak-anak Gaza bisa lebih akrab dengan suara kicauan burung, bukan ledakan bom atau desingan peluru.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Referensi:
https://www.reuters.com/world/middle-east/brief-history-gazas-75-years-woe-2023-10-10/
https://www.reuters.com/world/middle-east/brief-history-gazas-centuries-war-2023-10-13/
https://www.newarab.com/analysis/how-israels-war-erasing-gazas-history-and-culture
https://www.britannica.com/place/Gaza-Strip/Blockade
https://www.middleeasteye.net/discover/pictures-gazas-farmers-gather-strawberry-harvesting-season
https://www.anera.org/stories/akram-strawberries-tourist-gaza/
https://www.palestinechronicle.com/gazas-strawberry-farmers-hope-for-a-better-season-photos/
https://www.aljazeera.com/podcasts/2022/12/26/returning-to-gazas-berries-under-blockade
https://mondoweiss.net/2021/12/photo-essay-strawberry-season-in-the-gaza-strip/
https://www.aljazeera.com/news/2021/3/14/a-guide-to-the-gaza-strip
https://electronicintifada.net/content/gaza-farmers-struggle-livelihoods-and-healthy-soil/34756
https://www.fruitnet.com/eurofruit/gaza-farmer-shows-resolve/257621.article
https://www.hrw.org/news/2023/12/18/israel-starvation-used-weapon-war-gaza https://ardd-jo.org/blogs/there-wont-be-strawberries-this-year-the-environmental-impact-of-israels-assault-on-gaza/
https://twitter.com/muhammadshehad2/status/1726002249145434351
https://www.#/20240104-israel-dropped-65000-tonnes-of-bombs-on-gaza-in-89-days/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini








