Kamu tahu, kota itu sudah tak sama lagi. Namun, kamu tetap saja memutuskan pulang. Bagimu, kali ini tak ada jalan lain, setelah semua yang terjadi.
Sepertinya tak mungkin bagimu untuk terus bertahan di negeri yang bukan milikmu.
Dua puluh tahun yang lalu, kamu meninggalkan kotamu. Pergi ke negeri yang dulu sangat diharapkan menjadi tumpuan masa depanmu. Tempat menggantungkan cita-cita untuk hidup mapan.
Yah..hidup mapan! Memang hanya itu yang dipikirkan dirimu. Pendidikan tinggi, penghasilan besar, bisa membuat dirimu berjalan tegak. Seolah melupakan jatidiri dan hakikat hidup yang sesungguhnya.
Tapi sekarang setelah semua orang seolah membencimu, karena peristiwa penuh intrik di bulan September 2001. Lalu hari demi hari, dirimu tidak bisa hidup dalam ketenangan, teror demi teror melanda, ancaman, perlakuan buruk, menjadi penerimaan sehari-hari, karena kamu dianggap ikut bertanggung jawab, karena kamu dianggap bagian yang sama, karena kamu dianggap menyimpan siasat dan murka, karena kamu seorang muslim!
Hatimu mengeras, tekadmu membulat, kesadaranmu tiba, memang tempatmu bukan di sini!
Kamu memutuskan untuk pulang. Walau kamu tahu kota itu sudah tidak sama lagi, tapi kota itu milikmu. Walau mungkin kotamu sudah tinggal puing, karena puluhan bom yang menghantamnya, tapi di sana tetap ada harapan. Walau mungkin keluargamu sudah tidak ada, tapi saudaramu tetap menanti.
Kota dari suatu negeri yang dijanjikan, negeri dari 4 negeri yang diberkahi untuk seluruh alam. Negeri para syuhada. Negeri para tahfidzul qur’an yang dirahmati Allah. Ke sanalah kamu akan pulang. Biarkan sisa waktu menjadi bukti keinsafanmu….
(Sri Rahajeng Wijayarti)