Ketika pengadilan militer Zionis memvonis Syatila Abu Iyadah, wanita muda berusia 24 tahun asal Kafer Qasim, dengan hukuman penjara 16 tahun, sebagian pihak menasehatinya agar kasusnya ini dibawa ke pengadilan sipil agar mendapatkan keringanan hukuman, namun dia menolak. Kepada jaksa dan orang yang menasihatinya, Syatila mengatakan, “Kalian yang menyebabkan kami dalam bencana, kami keluar di jalan Allah untuk membela diri kami melawan kedzaliman penjajah.”
Peta perlawanan Palestina tersebat di seluruh negeri, mencakup semua elemen rakyat, dalam rangka melawan penjajah dan membalas aksi kejahatannya. Mereka terus melakukan perlawanan sampai pembebasan tanah Palestina. Jalan inilah yang ditempuh Syatila Abu Iyadah, seorang wanita muda bebas dan merdeka.
Syatila lahir di tengah-tengah keluarga badui yang tinggal di desa Kafer Qasim. Dia tumbuh dan berkembang di rumah yang konservatif. Sejak kecil dia sudah hidup dengan perjuangan, kreatif dan ambisius. Bekerja, belajar dan berjuang dengan sungguh-sungguh.
Pada 3 April 2016, Syatila berangkat ke kawasan industri di Ras Ain di daerah Matsulats, di dalam wilayah Palestina terjajah sejak tahuan 1948. Dia membawa pisau di tengah keramaian penduduk dan menikam seorang pemukim Yahudi. Puluhan pemukim Yahudi marah dan mereka berusaha menabraknya beberapa kali. Namun dia terus mengejar mereka hingga akhirnya mereka melarikan diri. Tidak lama setelah itu, pasukan polisi Zionis dan penjaga perbatasan dalam jumlah besar menyerangnya sampai akhirnya mereka berhasil menangkapnya.
Ibunya, Ummu Musa, mengatakan bahwa dia bangga dengan putrinya tersebut. Karena dia tahu betul bahwa akal, pemikiran dan wawasan Syatila sangat tinggi. Dia sudah berjuang sejak kecil. Betul-betul mendiri dalam hal pendidikan meskipun dia adalah anak gadis yang manja. Dia adalah kafilah terakhir dan sangat dihormati di antara keluarganya.
Sebelum melakukan aksinya, tidak ada satupun dari anggota keluarganya yang mengetahui bahwa Syatila adalah satu-satunya yang berharap gugur mati syahid dan merencanakan untuk itu.
Syatila menghidangkan thyme atau timi rebus untuk saudara laki-lakinya dan mengeuarkan kantong daging dari kulkas, kemudian meletakkannya di atas meja daput untuk menyiapkan makan siang. Dia minta izin saudaranya lima menit lagi untuk kembali untuk menyiapkan makan siang.
Syatila tidak kembali ke rumah, namun berada di sel interogasi. Dia menjalani interogasi selama 30 hari terus-menerus, sementara keluarganya tidak tahun apa yang terjadi kecuali setelah tersiar berita aksi penikaman tersebut.
Setelah keluar dari sel interogasi, Syatila dipindahkan ke penjara Hasharon di Tel Aviv. Saat keluarga mengunjunginya, dia menceritakan penderitaan yang dialaminya selama penahanan dan interogasi yang berlangsung terus-menerus.
Ummu Musa mengatakan, Syatila melakukan aksinya ini setelah mengetahui bahwa penjajah Zionis menyiksa orang-orang Palestina dan melecehkan kehormatannya. Kepada serdadu Zionis yang memeriksanya Syatila mengatakan bahwa dia melakukan aksi ini sebagai balasan untuk keluarga Dawabisah dan Abu Khidhir, juga untuk saudaranya, Musa, yang mengalami serangan dari sekelompok pemukim Yahudi, di lokasi yang sama. Aksi penyerangan ini terekam oleh kamera.
Peristiwa itu terjadi satu setengah tahun sebelum penangkapan Syatila, namun pihak penjajah Zionis tidak melakukan penyelidikan dan tidak peduli dengan apa yang terjadi, meski saudaranya mengalami luka sejumlah tikaman di paha yang hampir membuatnya kehilangan nyawa.
Di pengadilan, di kota Elad, Syatila divonis penjara 16 tahun dan denda 100 ribu shekel. Dia didakwa sejumlah tuduhan. Di antaranya membuat bom, berusaha memasang bom di daerah dan pertokoan Zionis, dituduh melakukan upaya pembunuhan 8 kali.
Syatila adalah satu-satunya tawanan Palestina di penjara Zionis yang berasal dari keluarga badui di wilayah Palestina terjajah tahun 1948. Keluarganya berharap dia bisa bebas dalam pertukaran tawanan yang memasukkan nama-nama para tawanan asal wilayah Palestina terjajah sejak tahun 1948, berbeda dengan pertukaran sebelumnya, di mana penjajah Zionis mengecualikan tawanan asal wilayah Palestina 1948.
Di antara sikap kepahlawanan yang dikenal dari Syatila adalah penolakannya masuk ke ruang interogasi dan pengadilan tanpa hijab, setelah hijabnya dirobek-robek oleh serdadu Zionis. Bahkan dia menutupi tubuh dan kepalanya dengan kertas dan kain yang tersisa dari pakaiannya. Dia masuk persidangan dengan mengangkat jari telunjuknya.
Dia juga menolak membawa kasusnya dari pengadilan militer ke pengadilan sipil untuk mendapatkan hukuman ringan sesuai dengan UU Zionis. Dia mengatakan bahwa dia melakukan itu dengan keyakinan bahwa orang-orang Palestina adalah bangsa yang terdzalimi, teraniaya dan tertindas.
Saat in Syatila menjalani tahun kedua hukumannya di penjara Hasharon. Selain dirnya, di penjara Hasharon ada tawanan wanita lain asal wilayah Palestina terjajah sejak tahun 1948, yaitu Shabirin Zubaidat. Ibu dari dua bocah yang dihukum 4 tahun pejara dan sudah dijalani dua tahun. (was/pip)
Baca lebih lanjut di
https://melayu.palinfo.com/5927
@Copyright Pusat Informasi Palestina,All right reserved