Tak seorangpun mengira jika orang yang murah senyum ini merupakan pemikir dan pengatur strategi Brigade Al-Qassam dan mujahidnya di Utara Tepi Barat.
Kehilangan tangan kanan dan kedua betisnya dalam melawan penjajah, dan hanya bisa duduk separuh badan, tak menyurutkan langkahnya untuk berjuang di jalan Allah.
Sang isteri, Ummu Suhaib berkata kepadanya, “Tidak cukupkan dengan apa yang sudah engkau lakukan dalam perjuangan?” dengan tersenyum merindukan kesyahidan, beliau menjawab, “Sungguh Allah telah memuliakanku, Dia mengambil sedikit dan menyisakan yang lebih banyak untukku, Jihad merupakan kewajiban bagiku sampai meraih kesyahidan.” Dan beliau mampu meraihnya.
Pemakmur Masjid
Syekh Nashr lahir pada 1/10/1958 dari keluarga religious, di kawsan Wadi Barqin, salah satu pinggiran barat kota Jenin.
Sejak kecil selalu terikat dengan masjid, shalat berjamaah di sana, sampai-sampai ketika dilarang ke masjid karena masih kecil, beliau menggambar masjid di tembok rumah dan shalat disitu.
Di masa kecilnya beliau hobi permainan kemiliteran, membuan tank dari tanah dan bermain dengan saudara dan saudarinya yang berjumlah 12 orang, termasuk bermain angkat berat meski tergolong masih kecil.
Bersama temannya, Sami Hanif, keduanya bekerjasama dalam ketaatan dan kecintaan pada negeri Palestina.
Di usia 19 tahun mereka berdua mulai melancarkan perjuangan melawan penjajah, tepatnya pada tahun 1977, mereka berdua merencanakan untuk menyerang bis Israel menggunakan bom Molotov di kawasan Barqin.
Usai shalat subuh keduanya melakukan operasi penyerangan sesuai rencana, serangan berhasil meledakan bis Israel, namun rekannya Sami Hanif gugur ditembak tentara Israel setelah serangan tersebut. Nashr membawa jenazah dan menguburkan Hanif khawatir jenazahnya diambil pasukan Israel.
Sekolah Pemikiran
Pasca serangan, Israel berhasil mengendus dan menangkap Nashr dengan tuduhan membentuk sel perlawanan bersenjata melawan Israel. Saat interogasi, beragam penyiksaan dialami Nashr.
Sang isteri menceritakan, bekas siksaan masih terlihat jelas di punggungnya. Kemudian Nashr divonis 10 tahun penjara.
Di penjara, Nashr berkenalan dengan pemikiran pergerakan Ikhwanul Muslimin, kemudian bergabung dan menjadi salah seorang pendiri gerakan Islam di dalam penjara Israel.
Tahun 1987 beliau bebas dari penjara, saat itu usianya 29 tahun, kemudian menikah dan dari pernikahanya dikaruniai 4 orang anak: Suhaib, Ahmad, Jaina dan Muhammad. Tiga orang puteranya sempat melihat sang ayah, namun yang terakhir lahir beberapa hari pasca kesyahidan beliau.
Beliau diamanahi sebagai anggota komite pengelola harta zakat yang membidangi anak-anak yatim dan fakir miskin di Jenin. Beliau dikenal amanah dan menyayangi anak-anak yatim. Memosisikan mereka layaknya sebagai anak sendiri, dan fakir miskin sebagai keluarganya.
Tak berapa lama, beliau kembali ditangkap pasukan Israel, dan dijebloskan kedalam penjara, beragam siksaan kembali menimpa beliau.
Tahun 1992 bersama 450 pimpinan dan kader Hamas serta Jihad Islami beliau dideportasi ke Maraj Zuhur di Libanon Selatan.
Setelah kembali dari Maraj Zuhur, beliau ditangkap dan dijebloskan ke sel penjara Israel selama 98 hari. Kemudian setelahnya ditetapkan sebagai tahanan administrative tanpa dakwaan dan persidangan.
Intifadah Al-Aqsha
Di awal tahun 2000, pasukan Israel mengepung rumah beliau, ratusan tentara terlihat berjaga.
Syekh Nashr pamit kepada isterinya untuk keluar rumah, kemudian terdengar tembakan senjata secara intensif selama beberapa jam.
Selang beberapa jam kemudian, syekh Nashr kembali ke rumah, ternyata pasukan Israel telah merencanakan untuk membunuh beliau, Brigade Al-Qassam berhasil mengungkap keterlibatan aparat keamanan setempat, yang menyiksa salah seorang pemuda al Qassam, dan membuat pengakuan karena siksaan keras, yaitu utusan komandan al Qassam di Nablus, Syahiod Mahmud Madani untuk mengambil kendaraan dari rumah syekh Nashr Jarrar.
Di subuh hari Senin 19/2/2000, pasukan Israel membuat jebakan untuk membunuh Mahmud Madani, usai keluar dari shalat dhuhur, komandan Mahmud Madani diberondong tembakan yang menewaskannya akibat luka sangat kritis, dan terungkap identitas komandan al Qassam Nashr Jarrar dari pengakuan utusan tersebut.
Setelah identitas beliau terungkap ke public, dan Israel terus mengincarnya, beliau melatih para pemuda dari beragam faksi Palestina untuk merakit bom dan menggunakannya.
Tiga bulan diburu pasukan Israel, di salah satu operasi serangan di kota Jenin, syekh Nasr berupaya berupaya meledakan bom di tempat yang tak jauh dari konsentrasi pasukan Israel, namun bom tak meledak, lalu beliau mendekat untuk memperbaikinya, dan takdir Allah berlaku, bom meledak, beliau terpental puluhan meter di antara pepohonan zaitun, saat itu para pejuang mengira beliau telah gugur syahid, dan mulai mencari keberadaan beliau.
Syekh Jamal Abul Haija, salah seorang pimpinan Hamas di Tepi Barat menceritakan, “Aku tak akan pernah melupakan hari itu, saat syekh Nasr kehilangan kedua kaki dan tangan kanannya di persimpangan jalan, aku dan Ibrahim Jabar, mendapati beliau terpental di bawah pohon dalam kondisi yang sangat sulit untuk dilihat, sampai syekh Ibrahim berteriak, syeikh Abu Suhaib gugur, namun syekh Abu Suhaib menjawab, “Tenang”. Hampir-hampir tak keluar sepatah katapun dari mulutnya. Saat semua melihatnya, beliau langsung dibawa ke rumah sakit, dan dengan kepercayaan penuh kepada Allah, beliau sibuk berdzikir dan bersabar yang tak bisa digambarkan. Beliau sangat mencintai jihad dan perlawanan, dan selalu siaga membawa pistol untuk menghadapi musuh.”
Sang isteri mengisahkan bahwa syekh Nashr mengatakan kala itu, “Saya meyakini saat itu hampir datang kesyahidan, dan saya sangat bergembira sekali, maka saya banyak beristighfar dan berdoa kepada Allah, serta doa agar yang ditinggalkan bersabar setelah kesyahidanku.”
Rindu Kesyahidan
Syekh Nashr terbaring di rumah sakit selama 6 bulan dengan dijaga pejuang perlawanan, khawatir ada upaya penangkapan maupun pembunuhan oleh pihak Israel, dan terjadi upaya pembunuhan terhadap beliau, yang berhasil diungkap al Qassam, dan kemudian beliau dipindahkan ke tempat yang lebih aman.
Pengganti Ayyash
Syekh Nasr seperti disebut oleh rekan-rekannya merupakan otak perlawanan Palestina dan brigade Al-Qassam, Israel menyebutnya sebagai pengganti Ir. Yahya Ayyash, mujahid al Qassam, dan komandan Mahmud Abu Hunud.
Dalam pertempuran kamp Jenin, April 2002, para pejuang membawa beliau ke tempat strategis untuk memberikan arahan dalam pertempuran, dan menjadi arsitek pembuatan bom, sebelum kemudian pesawat tempur Israel menggempur tempat tersebut, saat itu terlihat keajaiban dari Allah yang menyelamatkannya dari kematian, atap rumah tak jatuh menimpanya langsung, tetapi jatuh secara miring ke sampingnya, saat orang-orang mencarinya sehari kemudian, mereka mendapati beliau dalam kondisi pingsan, dan terlihat kepalanya, sementara bagian bawah tubuhnya dan sebelah tangan kirinya terputus.
Syekh Nashr selamat dalam pertempuran jamp Jenin, para pejuang Al-Qassam memindahkannya ke tempat lain di kota Thubas, untuk melanjutkan jihad dan latihan.
Pertemuan Terakhir
Sang isteri menggambarkan pertemuan terakhirnya dengan Nashr, “Dua hari sebelum beliau meninggal, sekelompok pejuang datang untuk membawa kami ke tempat aman, saya melihat di dalam mobil syekh Nasr tersenyum, datang untuk berpamitan kepada kami, pertemuan tersebut sangat indah dan tak bisa digambarkan.
Dua hari setelah berpamitan dengan keluarga, tercium aroma surge, dan saat kesyahidan yang dirindukan Nashr mulai terlihat. Pada hari Rabu (14/8/2002) pasukan Israel dalam jumlah besar mengepung rumah tempat Nasr berlindung bersama rekan-rekan mujahid Al-Qassam, menggunakan tank tempur, perundingan tak berlangsung alot, pihak mujahid bertekad melindungi Nashr, namun dengan jiwa kepemimpinannya, dan kerinduannya meraih kesyahidan, Nashr berupaya menutupi dan melindungi kepergian para mujahid dari tempat tersebut. Para mujahid berupaya membujuknya untuk pergi, namun beliau menolak dan meminta mereka untuk menempatkannya di dekat pintu rumah dengan menggenggam senjatanya, dan beliau menolak seruan untuk menyerah dari tentara Israel yang menggunakan Nidhal Abu Muhsin (18) sebagai tameng hidup untuk menangkap Nashr dalam kondisi hidup, sebelum kemudian mereka membunuh Nidhal dengan menembaknya secara keji.
Syekh Nashr mulai mengecoh musuh dengan melontarkan tembakan untuk melindungi rekan-rekannya para mujahid, dan mengelabui tentara Israel yang meyakini para pejuang di dalam rumah memutuskan untuk melawan, saat itu mereka melontarkan tembakan roket kea rah rumah, sedangkan para mujahid yang menemani syekh Nasr pergi dengan selamat, demikianlah sang komandan melindungi rekan-rekannya di arena syahid yang jarang terjadi dalam sejarah.
Dalam kondisi ini, pasukan Israel menggunakan pesawat tempur untuk menyerang rumah, dan selang beberapa menit, pesawat menggempur dan menghancurkan sebagian besar rumah, sebelum kemudian menggusurnya dengan bulldozer, dan ruh syekh Nashr Jarrar terbang menuju Allah sebagai syahid, di antara reruntuhan, dan kepalanya terpisah dari jasadnya yang suci.
Di kota Jenin, segera setelah kabar kesyahidannya terdengar, ribuan warga Palestina keluar bertakziah dan mengantar jenazah sang pemimpin, mengulang kisah Ja’far bin Abu Thalib, sang panglima yang tak membiarkan bendera terjatuh sampai meraih kesyahidan.
Nashr Meraih Kemenangan
Nashr meraih kemenangan, pasukan Israel merobohkan rumah tempatnya meraih kesyahidan dengan kepala terpisah dari jasadnya yang tertimpa reruntuhan, sementara tangannya masih memegang senjata, seakan siap menembak sekiranya anggota tubuhnya tak terpencar di antara puing reruntuhan. (qm/infopalestina.com)