Malam kala itu terasa amat mencekam. Sultan al-Salih Ayyub, penguasa Mesir sekaligus Pemimpin terakhir Dinasti Ayyubiyah sakit keras, sementara Pasukan Salib, yang dipimpin oleh Raja Perancis Louis IX, sedang berlayar ke Mesir, dengan tujuan untuk mendaratkan 1.800 kapal yang ditumpangi 15.000 prajurit di Kota Damietta yang berada di Delta Nil.
Serangan terhadap Mesir diusulkan karena berbagai alasan. Pertama, Delta Nil adalah provinsi terkaya bagi umat Islam. Kedua, menguasai Mesir dianggap juga menguasai rute pengepungan yang mudah ke kota-kota Palestina. Dengan demikian, tanah suci Al-Quds (Yerusalem) akan menjadi fokus pergerakan dari arah Akka dan Suez. Ketiga, penaklukan Mesir akan menjamin kendali angkatan laut di Mediterania Timur. Pada Perang Salib ketujuh, fokus penyerangan pertama adalah benteng Kota Damietta karena kota tersebut memiliki akses yang mudah dari pelabuhan Al-Quds.
Ketika itu, tentara Mesir berada di bawah kekuasaan Ayyubiyah, dinasti Mesir yang awalnya didirikan oleh Shalahuddin al-Ayyubi dan pamannya. Kekuatan militer di bawah kendali Ayyubiyah merupakan yang terbesar di dunia Muslim, dengan sebagian besar dari mereka merupakan kader elit resimen kavaleri dan infanteri yang sangat terlatih. Kekuatan militer tersebut merupakan rekrutan dari berbagai negara dan bersatu di bawah kendali langsung sultan Mesir dan disebut sebagai “Mamluk”.
Sebelum menyerang Mesir, Louis IX telah mengirimkan deklarasi perang kepada Sultan Ayyubiyah: “Aku sudah memperingatkanmu berkali-kali, tetapi kau tidak mengindahkannya. Sejak saat itu keputusan telah diambil: Aku akan menyerang wilayahmu, dan meskipun engkau kemudian bersumpah setia kepada salib, pikiranku tidak akan berubah. Pasukan yang setia terhadapku meliputi pegunungan dan dataran, jumlahnya bagaikan kerikil di bumi, dan mereka berbaris menuju tempatmu sambil menggenggam pedang takdir.”
Pada musim semi tahun 1249 M, sebanyak 1.800 kapal besar dan kecil berangkat ke pantai Mesir dengan membawa sekitar 15 ribu orang, termasuk lebih dari 2500 Ksatria Templar dan 5000 pemanah. Dalam perjalanan, badai menghamburkan kapal-kapal skuadron Pasukan Salib, sehingga hanya sekitar dua pertiga kapal yang berhasil mencapai Damietta.
Kavaleri Muslim yang bertemu dengan Pasukan Salib di pantai pada 5 Juni 1249, tidak dapat menghentikan mereka, sementara surat pasukan Muslim yang dikirimkan kepada sultan belum membuahkan balasan. Pemimpin pasukan Muslim, Fakhr al-Din Yusuf bin Syekh al-Syuyukh, yang diterpa kebimbangan karena khawatir sultan telah meninggal, memutuskan untuk bergerak dari Damietta menuju Manshurah, tempat Sultan al-Salih Ayyub dirawat. Pasukan Louis IX dengan mudah berjalan dari pantai menuju Kota Damietta pada 6 Juni, dan mengibarkan benderanya di atas menara tinggi. Pengepungan Damietta oleh Pasukan Salib berlangsung selama setengah tahun hingga datangnya pasukan bantuan pada Oktober. Setelah itu, mereka memutuskan untuk melanjutkan invasi ke Kairo.
Mangkatnya Sultan dan Kecerdikan Seorang Istri

Pada November 1249, angin musim gugur yang menjatuhkan pucuk-pucuk daun yang mengering di Mesir, turut membawa kabar buruk: Sultan al-Salih Ayyub yang sekarat itu telah mangkat. Jika kabar ini sampai di telinga masyarakat Mesir yang kecewa dengan jatuhnya Damietta ke tangan Pasukan Salib, tentu akan menyebabkan kemerosotan kepercayaan diri yang lebih jauh, sementara jika mangkatnya sultan didengar oleh Pasukan Salib, mereka akan lebih mati-matian merebut Mesir sebagai jalan untuk merebut Al-Quds (Yerusalem). Namun, sebelum kemangkatannya, meski dalam keadaan kritis, Sultan al-Salih Ayyub terlebih dahulu membentuk pasukan komando di wilayah Manshurah untuk menghalau Pasukan Salib.
Shajarat al-Dur, istri Sultan al-Salih Ayyub, mengambil alih situasi dengan memanggil emir istana, Jamal al-Din, dan Fakhr al-Din, Perwira Mamluk. Mereka bersepakat untuk merahasiakan kematian sultan dengan terus menjalankan pemerintahan seperti biasa dan tetap melanjutkan pertempuran di Manshurah untuk menghadang Pasukan Salib yang hendak merebut Kairo.
Kesepakatan untuk menyembunyikan wafatnya sultan memerlukan taktik yang rumit. Semua perintah sultan ditandatangani oleh Jamal al-Din yang memalsukan tanda tangan sultan, tetapi ada pula sejarawan yang mengatakan bahwa Shajarat al-Durr menyuruh Sultan al-Salih untuk menandatangani sejumlah dokumen kosong sebelum dia meninggal. Seorang tabib juga diberitahu tentang kemangkatan sultan, dan diminta bersandiwara dengan mengunjungi kamar sultan setiap hari. Makanan dibawa ke pintu dan dicicipi sebagaimana biasa, sementara penyanyi dan musisi tampil di luar ruangan untuk memberi hiburan bagi sultan.
Dalam situasi genting yang dibuat normal tersebut, Shajarat al-Dur mengatur perahu dan menyamar dengan jubah hitam. Pada malam hari ia keluar menemani jenazah suaminya menyusuri Sungai Nil menuju Pulau Rawda di selatan Kairo, tempat pasukan Mamluk ditempatkan. Di sana, dia menyembunyikan jenazah suaminya dan mengeluarkan perintah sultan—yang juga dipalsukan—agar pembangunan makam Sultan al-Salih Ayyub dimulai.
Pasukan Salib: dari Damietta menuju Kairo, terhadang di Manshurah

Kenaikan permukaan air Sungai Nil mengganggu Pasukan Salib yang tengah melakukan perjalanan dari Damietta menuju Kairo melalui Delta Nil. Perjalanan pun berlangsung lambat. Selama satu bulan tentara salib terpaksa membendung kanal-kanal untuk memudahkan pergerakan, hingga akhirnya pada 20 November Pasukan Salib tiba di tepi Sungai Nil yang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Ashmun al-Rumman, sementara di seberangnya berdiri benteng Kota Manshurah.
Dari Ashmun, pasukan Louis IX itu mulai membangun jembatan untuk menyeberang menuju Manshurah, tetapi lontaran api Yunani dari pasukan Muslim terus membakar rangka jembatan. Mengenai hal ini, seorang sejarawan Barat abad pertengahan, Jean de Joinville, sebagaimana dikutip oleh Warfare History, menuliskan gambaran yang menakutkan mengenai serangan-serangan tersebut: “Ketika melesat, api Yunani ini tampak sebesar gentong penyimpanan anggur, sementara ekor apinya sepanjang batang tombak yang besar. Suara yang dihasilkan bagaikan sambaran petir yang jatuh dari langit; terlihat seperti seekor naga terbang di udara. Cahaya yang dipancarkannya menyala begitu terang sehingga engkau dapat melihat ke seluruh perkemahan dengan jelas seolah-olah saat itu siang hari. Tiga kali pada malam itu musuh melontarkan api Yunani ke arah kami dari alat pelontar batu (petraries), dan tiga kali mereka menembakkan dari busur putar mereka.”
Pada saat yang sama, Pasukan Muslim merusak tepi sungai, sehingga menambah lebar sungai. “Demikianlah terjadi bahwa dalam satu hari mereka menghancurkan semua pekerjaan yang telah kami lakukan selama tiga minggu,” tulis Joinville.
Kehancuran tersebut membuat Pasukan Salib nyaris putus asa, hingga kemudian seorang pembelot memberi tahu mereka tentang titik dangkal di sungai yang bisa diseberangi. Pasukan Salib melihatnya sebagai peluang untuk mengepung benteng dan menghancurkan pasukan Mesir, kemudian membuka jalan bagi Pasukan Salib untuk bergerak ke Kairo.

Pada 7 Februari 1250 M, pecahlah Pertempuran al-Manshurah antara Pasukan Salib yang dipimpin oleh Raja Perancis Louis IX dan Pasukan Ayyubiyah pimpinan Emir Fakhr-ad-Din Yusuf, Faris ad-Din Aktai, dan Baibars al-Bunduqdari. Pertempuran berlangsung selama hampir tiga bulan. Selama itu pula Shajarat al-Dur diam-diam memimpin kesultanan. Ia juga memberikan lampu hijau kepada Baibars untuk menjalankan rencananya.
Baibars memberi perintah untuk membuka gerbang kota, membiarkan Pasukan Salib memasuki Kota Manshurah untuk kemudian menjebak mereka dari dalam. Pasukan Salib yang terkepung dari berbagai sisi menderita kerugian besar, termasuk kematian sebagian besar Ksatria Templar. Pasukan Salib pun mundur ke Damietta pada 5 April 1250, sementara Raja Prancis Louis IX yang memimpin Perang Salib ketujuh itu ditangkap sehari setelahnya, pada 6 April.
Shajarat al-Dur, perempuan penguasa Mesir
Setelah ancaman Pasukan Salib mereda dan berita kematian raja mulai menyebar, Shajarat al-Dur dan penasihat Mamluknya mengundang Turan Shah, anak Sultan al-Salih Ayyub dari istri pertamanya, untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai Sultan Ayyubiyah. Turan Shah kemudian melakukan perjalanan dari Diyarbakir (di Turki) menuju Mesir. Bersama istrinya, mereka mengambil kendali kesultanan.
Namun, Turan Shah terlalu tergesa-gesa membuat keputusan hingga akhirnya membawa malapetaka. Ia menjauhkan kekuasaan Ayyubiyah dari Shajarat al-Dur dan Mamluk, yang pada akhirnya justru menyebabkan kejatuhan Turan Shah. Langkah terakhir yang mencelakakannya adalah ketika Turan mengancam Shajarat al-Dur dan mencoba merebut propertinya. Shajarat pun meminta bantuan pasukan Mamluk, yang telah menyaksikan kemampuannya sebagai penguasa. Turan Shah ditumbangkan pada awal Mei 1250, sementara Shajarat al-Dur naik menjadi sultanah.
Shajarat al-Dur segera menyusun langkahnya sebagai seorang sultanah, perempuan pemimpin yang kini benar-benar memegang kendali atas kekuasaan di Mesir, tidak lagi di bawah bayangan kematian suaminya. Salah satu tindakan pertama Shajarat al-Dur sebagai sultanah adalah membuat perjanjian dengan Pasukan Salib, yakni mengembalikan Kota Damietta dan menebus Raja Louis IX.
Persyaratan ini ia negosiasikan dengan mitranya, Ratu Margaret dari Provence, Prancis. Dengan demikian, Perang Salib Ketujuh berakhir dengan diplomasi dua ratu—satu Muslim dan satu Kristen. Shajarat al-Dur menerima kembali Kota Damietta dan uang tebusan untuk membebaskan Raja Louis IX sebesar 400.000 livres tournois (sekitar 80 juta dolar), jumlah yang setara dengan 30% pendapatan tahunan Prancis kala itu. Uang tersebut digunakan Shajarat al-Dur untuk memenuhi kas kerajaan yang dipimpinnya.

Kepemimpinan Shajarat al-Dur mengakhiri kekuasaan Dinasti Ayyubiyah di Mesir dan mengawali kekuasaan Dinasti Mamluk. Meskipun demikian, pengangkatannya sebagai seorang penguasa menemui hambatan, terutama karena statusnya sebagai perempuan. Keberatan paling keras datang dari Bagdad, ketika Khalifah al-Musta’shim menyatakan: “Kami telah mendengar bahwa Anda sekarang diperintah oleh seorang perempuan. Jika Anda kehabisan orang di Mesir, beri tahu kami agar kami dapat mengirim Anda seseorang untuk memerintah.” Khawatir akan pengaruh Abbasiyah yang sangat luas, Shajarat al-Dur dan para dewan penasihatnya tahu bahwa mereka perlu menyerah jika ingin bertahan.
Setelah 80 hari berkuasa, Shajarat al-Dur kemudian menyerahkan gelarnya kepada seorang Perwira Mamluk yang tidak terkenal, Izz al-Din Aybek, yang telah menjadi suaminya. Namun, hal itu hanyalah akal-akalan yang menempatkan Aybek sebagai sultan secara tertulis, sementara faktanya Shajarat al-Dur tetaplah pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan; dia menandatangani semua dekrit kerajaan dan mengeluarkan perintah.

Selama tujuh tahun Shajarat al-Dur memerintah dari balik nama Sultan Aybek, hingga akhirnya Shajarat al-Dur meninggal pada 1257 M dan jejaknya abadi di Mesir. Jenazahnya dikebumikan di makam yang dia pesan sendiri dan merupakan salah satu makam paling indah di Kairo. Makam yang terletak di Jalan al-Khalifa itu dihiasi dengan mosaik kaca Bizantium, dan bagian tengahnya adalah “pohon kehidupan”, yang dihiasi dengan mutiara. Makam tersebut seolah mencerminkan nama panggilan yang selama ini disandangnya, Shajarat al-Dur, untaian mutiara, panggilan yang diberikan kepadanya karena kecintaannya terhadap mutiara laut.
Sejarah mencatatnya sebagai penguasa terhormat yang dengan cerdik menegosiasikan akhir Perang Salib Ketujuh dan menjadi perantara transisi dua dinasti besar—akhir Dinasti Ayyubiyah dan awal Dinasti Mamluk. Dia adalah perempuan pertama dan satu-satunya yang duduk di atas tahta Islam Mesir dan memerintah dengan dukungan para bangsawan Mamluk, yang kemudian menjadi salah satu dinasti terkuat di wilayah tersebut. Ia datang sebagai budak, dan dikenang sebagai seorang perempuan penguasa dengan segala kecerdikan dan kelicikannya. (LMS)
Referensi
https://www.aramcoworld.com/Articles/July-2016/Malika-III-Shajarat-al-Durr
https://headstuff.org/culture/history/terrible-people-from-history/shajar-al-durr-queen-egypt/
https://www.worldhistory.org/Shajara_al-Durr/#google_vignette
https://www.middleeasteye.net/discover/arab-world-seven-female-icons
https://egyptianstreets.com/2022/02/18/shajarat-al-durr-egypts-supreme-sultana/
https://historyofislam.com/contents/the-post-mongol-period/shajarat-al-durr-queen-of-egypt/
https://www.encyclopedia.com/history/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/shajarat-al-durr
https://germmagazine.com/badass-ladies-in-history-shajar-al-durr/
https://warfarehistorynetwork.com/article/the-battle-of-al-mansourah-and-the-seventh-crusade-1251-2/
https://historum.com/t/the-seventh-crusade.16958/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini