Tak dapat rasanya kita bayangkan, bagaimana rasanya tidak dapat menikmati matahari pagi karena adanya tembok raksasa yang menjulang tinggi. Tak dapat rasanya kita bayangkan, bagaimana rasanya harus meminta izin untuk tinggal di tanah air sendiri. Demikianlah yang dialami oleh bangsa Palestina yang tengah dijajah Yahudi.
Kita memang pernah terjajah selama 350 tahun lalu oleh Belanda. Pedih dan beratnya siksaan memang tak pernah kita rasakan. Namun bekas-bekas luka itu masih ada dan menoreh dalam, hingga menyisakan sebuah tekad : penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan. Sebagaimana tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar republik Indonesia.
Demikian pula yang tengah terjadi di Palestina. Negara yang telah dijajah 50 tahun lamanya. Manusia-manusia di dalamnya diperlakukan tidak semestinya. Mereka harus membayar pajak dengan nilai tak terkira, atas tanah yang dimiliki nenek moyangnya berabad lamanya, kepada penjajah yang baru kemarin sore mengklaim berhak atasnya.
Kepada Al Quds kita berkaca, bagaimana tembok-tembok beton Yahudi membatasi ruang gerak dan hidup mereka. Rumah terpisah dari halamannya. Matahari pagi tak mampu dinikmati. Karib kerabat saling terpisah. Jarak yang dekat menjadi jauh, karena beton-beton penghalang terpasang hingga 200 kilo panjangnya.
Kepada Al Quds kita berkaca, tentang kejamnya Yahudi durjana. Sumber-sumber air bersih mereka rampas. Beraneka ragam pajak yang mencekik dikenakan kepada warga. Tak hanya pajak atas tanah dan bangunan, teapi bahkan atas barang-barang penyokong kehidupan.
Kepada Yahudi harusnya kita tertawa, bagaimana bisa mereka datang baru kemarin sore lalu mengaku-aku Palestina sebagai tanah yang dijanjikan. Kemana mereka ketika Allah memerintahkan mereka untuk berjuang bersama nabi Musa (cari ayat dan suratnya).
Kepada Yahudi harusnya kita tertawa. Dikatakannya ada 120 ribu rumah tak berizin berdiri di tanah Al Quds. Padahal mereka telah hidup di sana jauh berpuluh-puluh hingga beratus-ratus tahun sebelum yahudi menista Palestina.
Namun bagaimana kita bisa berdiam saja atas duka mereka. Berdiam atas lapisan-lapisan tembok dan pos-pos penjagaan yang didirikan Yahudi untuk membatasi warga memasuki masjid tercinta : Al Aqsa yang mulia.
Berdiam atas yahudisasi Al Quds dan Al Aqsa. Berdiam atas hancurnya ratusan rumah warga Palestina tiap tahunnya. Berdiam atas aneksasi lahan-lahan sah milik warga Palestina.
Pantaskah kita berdiam atas kondisi Palestina. Sesungguhnya perih dan luka bekas penjajahan masih tetap terasa meski 72 tahun kita telah merdeka. Lantas bagaimana dengan Palestina yang hingga kini masih merana?
Masihkah kita terdiam, sementara setiap senin anak cucu kita berucap dengan semangat “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Tentunya kita tidak dapat berpangku tangan. Atau terdiam. Atau membisu. Sebab Palestina adalah kita. Maka hadirkanlah cinta untuknya. Juga perjuangan untuk membebaskannya.
Fitriyah Nur Fadhilah (Media Adara)