Setelah perjalanan akademis yang panjang, Sally Azar dari Palestina telah mewujudkan impian seumur hidupnya untuk menjadi perempuan pendeta pertama di Palestina, lapor Kantor Berita Anadolu. Sekarang, dia mengejar impian lain untuk menjadi perempuan uskup pertama di Wilayah Palestina. “Saya perempuan pendeta pertama di Palestina,” kata Azar, 26, kepada Anadolu dalam sebuah wawancara di Gereja Lutheran Injili di Kota Tua Al-Quds (Yerusalem) Timur.
Azar dibesarkan di Gereja Lutheran Injili, yang sangat dekat dengan Gereja Makam Suci, dan belajar di Sekolah Schmidt yang terletak di dekat tembok Kota Tua Al-Quds. Dia adalah putri dari Uskup Agung Sani Ibrahim Azar dari Gereja Lutheran Injili di Yordania dan Tanah Suci, yang sejak kecil membuatnya terkesan dengan peran religiusnya.
“Saya dibesarkan di gereja dan saya biasa melihat ayah saya sebagai seorang pendeta. Saya selalu berpikir itu indah. Saya suka menjadi seperti dia. Saya suka teologi dan saya ingin menjadi seorang pendeta,” kata Azar. “Ketika saya belajar teologi, saya tidak yakin apakah saya akan menjadi seorang pendeta atau tidak, tetapi kemudian misi saya menjadi jelas dan nyata selama studi saya.”
Azar adalah salah satu dari tiga putri dalam keluarga tersebut, dan masing-masing dari mereka memilih bidang studi yang berbeda. “Ayah saya tidak ikut campur dalam pilihan kami. Kami adalah tiga putri di rumah, masing-masing mempelajari bidang yang berbeda. Yang satu ingin menjadi dokter dan yang lain mencari pekerjaan sosial, sementara saya belajar teologi.”
Azar menghabiskan tujuh tahun terakhir mempelajari teologi di luar Palestina sebelum kembali ke kampung halamannya untuk resmi menjadi seorang pendeta. “Saya belajar empat tahun di Lebanon, sebelum menyelesaikan studi pascasarjana saya di Jerman dan berlatih di sana,” ujarnya. “Belajar teologi itu sulit,” kata Azar. “Saya mulai belajar ketika saya berusia 18 tahun. Kami mempelajari semua konsep yang diikuti oleh gereja kami dan gereja lain, dan dengan demikian kami mempelajari segalanya.”
Azar ingat bahwa dewan gereja memutuskan untuk menahbiskan perempuan pendeta sepuluh tahun lalu. “Ada enam kandidat sebelum saya yang mulai belajar, tetapi tidak berhasil,” katanya. “Saya dikirim untuk belajar teologi dan jelas bahwa saya akan kembali ke negara itu dan menjadi seorang pendeta. Saya senang, tetapi saya tidak berharap menjadi yang pertama. Perasaan itu tidak dapat dipercaya,” kata Azar.
Azar ditahbiskan sebagai pendeta pada akhir Januari 2023 di Gereja Lutheran Injili di Al-Quds. “Ketika saya kembali ke Al-Quds pada Januari, saya mendapat sambutan luar biasa. Saya mendapat dorongan dan dukungan besar dari gereja,” kata Azar. “Konsep menahbiskan pendeta perempuan tidak dapat diterima 10 tahun lalu dan, untuk alasan ini, kami bertemu dengan para perempuan dan berbicara tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Keputusan tersebut sangat penting hingga kami mencapai titik ini,” katanya.
Sebagai bagian dari kewajibannya sebagai pendeta, Azar memimpin doa di Gereja Lutheran. “Tugas saya sebagai pendeta sama seperti rekan-rekan saya. Pendeta adalah hamba Tuhan, oleh karena itu, kami berdoa pada hari Minggu, membaptis, berdoa, dan berkhotbah kepada anggota gereja,” katanya. “Saya memimpin doa untuk semua orang, termasuk lelaki dan perempuan, di Gereja Lutheran di Al-Quds dan di Gereja Beit Sahour (selatan Tepi Barat).”
Sumber:
https://www.middleeastmonitor.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini