Sabra adalah sebuah nama pemukiman miskin yang ditempati oleh oleh Lebanon. Letaknya berada di pinggiran selatan ibu kota Beirut. Pemukiman ini bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA di Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama bertahun-tahun, penduduk dari kedua wilayah menjadi semakin bercampur sehingga istilah “kamp Sabra dan Shatila” semakin akrab di telinga masyarakat.
Shatila sendiri merupakan nama dari sang pemilik tanah yang menyumbangkan tanahnya untuk para pengungsi Palestina, korban tragedi Nakba pada 1948. Pemilik tanah itu bernama Sa’dudin Basha Shatila, salah seorang warga di Lebanon. Sejak saat itu, kamp pengungsian Palestina di lokasi tersebut dikenal dengan nama Shatila.
Latar Belakang Peristiwa Sabra Shatila
Sejak 1975, kondisi Lebanon tidak kondusif. Beberapa kali terjadi kerusuhan dan pembunuhan yang menyebabkan meletusnya perang saudara. Kondisi ini berlangsung hingga 1982 yang puncaknya adalah terbunuhnya presiden Lebanon, Bashir Gemayel yang juga pimpinan tertinggi kelompok Phalange, milisi bersenjata Kristen Maronit.
Peristiwa ini menyulut kemarahan kubu Phalange ynag kemudian dimanfaatkan oleh Israel untuk mengkambinghitamkan PLO (Pejuang Palestina) sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap tewasnya Gemayel. Setelah Israel berhasil memprovokasi kelompok Phalange, akhirnya mereka berencana untuk melakukan aksi balas dendam dengan cara menangkap dan membunuh anggota PLO. Sebelumnya, Israel memberitahu bahwa anggota PLO bersembunyi di kamp pengungsian Sabra Shatila.
Pembalasan akhirnya dilakukan dengan membantai warga Palestina yang mendiami kamp Sabra Shatila. Pembantaian ini terjadi pada 16 September 1982 yang dilancarkan oleh milisi Phalange dengan bantuan tentara Israel. Mereka yang bertanggung jawab dalam aksi ini adalah Menteri Perang Israel, Ariel Sharon dan Panglima Israel, Rafael Eitan dibantu oleh kelompok Kristen Phalange di bawah komando Elie Hobeika.
Pembantaian dimulai sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Sekitar 600 milisi Phalange memasuki kamp Shatila. Orang-orang bersenjata itu mulai memasuki rumah-rumah para penduduk, kemudian memberondong penghuninya secara membabi buta. Terdengarlah rentetan suara tembakan di setiap sudut kamp, raungan, jeritan serta tangisan dari para korban.
Para pelaku bengis itu pun tak segan memukulkan kampak ke arah para orang tua, wanita dan anak-anak, sementara sisanya mereka tembaki tanpa pandang bulu. Mereka merobek perut wanita hamil dan mengambil janinnya untuk kemudian mereka habisi nyawanya. Mereka juga memburu anak-anak laki dan memperkosa massal para gadis sebelum kemudian mereka bunuh.
Luka Korban Hingga Saat Ini
Masih banyak kisah menyayat hati lainnya dari tragedi berdarah di Sabra Shatila. Namun, yang tak kalah menyedihkan adalah sikap dari dunia internasional, yang hanya mampu mengecam tanpa memiliki kemampuan untuk menyeret Ariel Sharon selaku otak pembantian tersebut ke Mahkamah Kriminal Internasional. Pada 2001, Ariel Sharon justru diangkat menjadi Perdana Menteri Israel. Tentu ini ibarat pelecehan terhadap hukum, seakan ia ingin mengatakan dirinya kebal terhadap hukum, terutama dari tuduhan sebagai dalang pembantaian di kamp Sabra Shatila.
Hingga saat ini, para korban peristiwa Sabra Shatila masih menuntut keadilan. Keadaan mereka di kamp pengungsian pun semakin hari semakin memburuk karena kebijakan pemerintah Lebanon yang kerap mengucilkan keberadaan para pengungsi Palestina di sana. UNRWA selaku organisasi PBB yang menangani permasalahan pengungsi Palestina, terus mengalami difisit keuangannya, sehingga menghambat program-program yang selama ini telah berjalan. Tentu buruknya kondisi para pengungsi itu menjadi tugas kita bersama. Mulai dari mengembalikan kehidupan mereka dengan layak dan merdeka, hingga saatnya nanti kembali ke tanah air yang selama ini mereka rindukan.
Sumber : KNRP
Cari tahu info terbaru mengenai Palestina dengan klik disini.
Ikuti akun Instagram resmi @adararelief untuk info seputar Palestina lainnya.