Adara Relief – Jakarta. Sejak pertengahan abad ke-19, upaya untuk membeli hak atas tembok Buraq dan daerah terdekatnya dilakukan oleh berbagai orang Yahudi terhadap Dinasti Turki Utsmani (Ottoman), tetapi tidak ada yang berhasil.
Namun, orang-orang Yahudi secara terbuka terus berdatangan ke sana. Mereka kemudian mengambil alih tempat tersebut tanpa hak. Demikian menurut Adel Hassan Ghoneim dalam bukunya “Tembok Buraq, Bukan Tembok Ratapan.”
Pada Januari 1914, penulis Yahudi David Yaleen membuat inisiatif lain untuk membeli tembok buraq. Dalam sebuah surat kepada Duta Besar AS di Istanbul, ia mengatakan, “Kami harap Anda akan melakukan segalanya dengan kekuatan Anda untuk membebaskan tempat-tempat paling suci dari semua tempat suci di kota yang pernah menjadi kota paling indah.” Namun inisiatif ini lagi-lagi gagal.
Ketika Mandat Inggris menguasai Palestina, yang diratifikasi oleh Liga Bangsa-Bangsa pada 24 Juli 1922, orang-orang Yahudi lebih berani lagi untuk mengunjungi tembok Buraq. Dan mengklaimnya sebagai tembok ratapan.
Sepanjang tahun 1922 hingga 1928, mereka mencoba menggunakan lemari, lampu, tikar dan tirai untuk memisahkan pria dan wanita. Mereka pun membawa kursi ke pelataran depan tembok.
Pada tahun 1928, Pemerintah Inggris mengeluarkan Buku Putih nomor 3229, berisi dukungan dikukuhkannya situasi saat itu (status quo). Inggris menyerukan kepada orang Yahudi dan Muslim untuk mengadakan perjanjian di antara mereka guna menentukan hak dan kewajiban mereka di tempat-tempat suci.
Namun, perjanjian itu tidak pernah terjadi. Pemerintah Inggris meminta kedua belah pihak untuk mempresentasikan dokumen mereka, agar dapat membahas masalah ini. Dewan Islam mempresentasikan dokumennya, tetapi otoritas Yahudi tidak memberikan dokumen apa pun.
Menyadari gelagat penguasaan ilegal Yahudi atas tembok Buraq ini, Mufti Palestina mengirim surat kepada Gubernur Yerusalem, agar mencegah orang-orang Yahudi membawa kursi atau tirai ke kawasan tembok tersebut.
Hal ini membuat Umat Islam tidak tinggal diam. Muncul gerakan massa.
Yahudi memberikan perlawanan dengan menggunakan bantuan tentara Inggris. Mereka menangkap 3 orang aktivis yaitu Fuad Hassan Hijazi, Mohamed Khalil Jamjoom dan Atta Ahmad al-Zeer dan memvonis mereka dengan hukuman mati. Seluruh negara-negara Arab meminta agar vonis tersebut dibatalkan. Namun permohonan tidak diindahkan. Gelombang perlawanan semakin membesar yang kemudian dikenal dengan Revolusi Buraq peristiwa ini meletus sejak 15 Agustus tahun 1929.
Aksi revolusi ini menyebar ke berbagai penjuru wilayah Palestina, hingga 133 Yahudi tewas dan 369 lainnya terluka. Lagi-lagi Inggris melindungi orang-orang Yahudi dan membunuh 116 syuhada Arab dan melukai 232 orang lainnya. Inggris kembali menguasai kendali segala persoalan Palestina.
Sosok pejuang yang paling berpengaruh di balik revolusi Buroq adalah Syeikh Haji Amin Husaini (mufti Palestina) yang para pengikutnya mendapat hukuman keras di seluruh wilayah tanah suci.
Sumber :
minanews.net dan buku Ensiklopedi Palestina Bergambar