Oleh Qamar Taha.
Selama dua tahun terakhir, saya mengenal puluhan perempuan luar biasa dari Jalur Gaza; wirausahawan, kreatif, perempuan sosial yang berhasil membangun karier mengesankan terlepas dari banyaknya kesulitan dan hambatan kehidupan yang mereka alami dari pengepungan Israel.
Mariam Abu-Ata, sang ahli arsitektur. Setelah bertahun-tahun gagal mendapatkan pekerjaan, dia sempat mempertimbangkan untuk pindah ke negara lain. Namun pada akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di Gaza dan aktif berkiprah di komunitasnya. Sekarang Maryam mengelola proyek dan pengembangan di Aisha Association for Women and Child Protection. Hanan Khashan, lulusan ilmu komputer. Bekerja selama dua tahun di bidangnya sebelum mengikuti mimpinya dan beralih ke pemasaran digital. Dia mengembangkan sebuah proyek yang bertujuan untuk mempromosikan kiprah wanita di bidang tersebut, dan berencana memperluas bisnisnya ke negara-negara Arab lainnya. Fathieh Timraz adalah seorang seniman. Ketika pasangannya meninggal tiga tahun lalu, meninggalkannya dengan dua anak kecil, dia memulai bisnis menjual barang-barang yang dia ukir dari kayu.
Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, pada tahun 2018, 29,4 persen perempuan di Gaza berpartisipasi dalam angkatan kerja, sementara tingkat pengangguran di kalangan perempuan mencapai 74,6 persen. Untuk perempuan berusia antara 15 hingga 29 tahun, tingkat pengangguran bahkan lebih tinggi, yaitu 88,1 persen. Meskipun ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja sebagai buruh selama setahun terakhir, masih banyak bidang yang lebih mengutamakan laki-laki. Dalam kedokteran misalnya, ada 13,3 persen perempuan, sementara itu sekitar 59,2 persen dan 47,8 persen bekerja di bidang farmasi dan keperawatan. Persentase perempuan yang bekerja di bidang hukum adalah 23,4 persen. Di bidang pertanian, jumlahnya 6,5 persen. Sekitar dua pertiga perempuan bekerja di sektor swasta, dan tingkat kemiskinan di kalangan perempuan mencapai 53,8 persen.
Berikut adalah beberapa faktor yang menjelaskan kemunculan angka-angka ini: kondisi sosial, kehancuran ekonomi, kurangnya stabilitas di Perbatasan Rafah dengan Mesir, perpecahan politik internal dalam politik Palestina, namun sebagian besar penyebabnya adalah blokade Israel. Faktor-faktor ini memiliki efek langsung dan signifikan pada kehidupan perempuan, serta akses mereka ke angkatan kerja. Karena kekurangan pekerjaan, banyak perempuan dipaksa untuk bekerja di luar bidang spesialisasi mereka, dan pekerjaan di luar Jalur Gaza sangat jarang dibutuhkan.
Ada peningkatan persentase perempuan yang menjadi kepala rumah tangga di Gaza. Di tahun 2007 presentase mencapai 7% sedangkan saat ini meningkat menjadi 9,4%. Kenaikan ini juga dapat dikaitkan dengan perang dan serangan lanjutan di Gaza, yang mengakibatkan banyak suami-suami yang berstatus kepala rumah tangga yang gugur. Sehingga mengakibatkan tingginya presentase perempuan janda di Gaza yakni mencapai 4,5%.
Berdasarkan data dari Komite Urusan Sipil Palestina, pada tahun 2018, persentase perempuan yang menerima izin keluar dari Israel mencapai 30 persen – kurang dari sepertiga izin resmi. Perempuan hanya memegang 3 persen dari izin wirausaha, yang memberikan akses pintu keluar dan masuk ke pembisnis yang menjual barang ke dan dari Gaza. Sebagian besar bisnis milik wanita adalah bisnis kecil-kecilan, yang mana penjualan mereka tidak memenuhi kriteria Israel. Beginilah cara mereka membuat perempuan menderita, dari membatasi perjalanan, hingga blokade secara langsung yang memengaruhi peluang kerja dan mata pencaharian mereka.
Sejak tahun 2000, Israel melarang siswa-siswa dari Gaza berkuliah di universitas-universitas yang terletak di Tepi Barat. Seandainya mereka bisa belajar di sana, yang berjarak hanya beberapa jam dari rumah mereka, warga Gaza akan memiliki kesempatan yang jauh lebih terdidik dan profesional. Kebijakan Israel ini, bertujuan untuk memutus hubungan warga Palestina yang tinggal di wilayah yang terpisah secara fisik, memisahkan suami dari istrinya, orang tua dari anak-anaknya, dan mengganggu kehidupan keluarga. Pindah dari Jalur Gaza ke Tepi Barat bisa dikatakan merupakan hal yang mustahil.
Blokade Israel juga memiliki dampak kesehatan pada wanita. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 2018, 11.759 izin diajukan untuk pasien wanita yang mencari perawatan medis yang tidak tersedia di Gaza. Dari jumlah tersebut, 7.651 izin disahkan, 740 ditolak, dan 3.368 diabaikan. Mengenai pendamping pasien yang sebagian besar adalah perempuan, 19.396 izin telah diajukan, yang mana 10.546 diberikan, 1.724 ditolak, 7.126 dibiarkan tidak tertangani pada waktunya untuk mendapatkan perawatan yang efektif. Kegagalan respon ini merupakan bentuk ketidakhormatan pada kehidupan pasien, yang membutuhkan perawatan segera. Penderitaan semakin bertambah ketika mempertimbangkan kondisi kehidupan yang serba sulit di Gaza, termasuk infrastruktur yang bobrok, kekurangan listrik, dan sistem sanitasi dan kesehatan yang buruk.
Sumber: http://afropalforum.com/Afropalnew/2019/03/08/being-a-woman-in-gaza/