Tidak ada asap tanpa api. Peribahasa ini mungkin tepat menggambarkan situasi yang terjadi antara Palestina dengan Israel saat ini. Pada 7 Oktober 2023 lalu, kelompok pejuang Palestina memulai operasi Al-Aqsa Flood. Operasi tersebut disinyalir merupakan respons atas meningkatnya kekerasan yang dilakukan oleh pasukan dan pemukim kolonial Israel kepada masyarakat Palestina di lingkungan kompleks Masjid Al-Aqsa. Setelah hampir 17 tahun wilayah Gaza diblokade dan 75 tahun Palestina hidup di bawah penjajahan Israel, para pejuang Palestina kemudian mengambil langkah dengan mengirim sebanyak 5000 roket ke “wilayah Israel”. Serangan yang tidak disangka ini dibalas Israel dengan mengerahkan jet tempur untuk menyerang Gaza. Tidak lama setelah serangan jet tersebut, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu menyatakan perang terhadap Palestina dengan melancarkan Operasi Iron Sword (Pedang Besi).
Operasi Iron Sword hanyalah satu dari puluhan serangan yang dilakukan oleh Israel di Jalur Gaza sejak beberapa dekade terakhir. Kekerasan dan serangan dibalik kedok “operasi” ini seakan menggambarkan “Banality of War” atau kebiasaan buruk dalam perang yang kerap dilakukan Israel terhadap penduduk Gaza. Merujuk pada opini Gideon Levy, seorang jurnalis Israel dalam koran Haaretz edisi Februari 2015, ia menyuarakan opininya dalam melihat operasi-operasi yang dilakukan oleh Israel:
“Perang selanjutnya akan pecah pada musim panas. Israel akan memberikan nama yang konyol, dan perang ini akan terjadi di Gaza. Sudah ada rencana untuk mengungsikan komunitas-komunitas di sepanjang perbatasan Jalur Gaza. Israel tahu bahwa perang ini akan pecah, juga tahu alasannya, dan mereka menuju ke sana dengan mata tertutup, seolah-olah ini (operasi) adalah sebuah ritual yang berulang.” Ia menggaris bawahi kebiasaan buruk Israel dalam memulai perang yang selalu terjadi di Gaza.
Sekilas Sejarah Gaza
Gaza merupakan salah satu wilayah yang berada di Palestina. Bagian utara dan timur berbatasan langsung dengan “wilayah Israel”. Sementara di bagian selatan berbatasan langsung dengan Mesir. Gaza merupakan wilayah kecil dengan luas sekitar 365 kilometer persegi, Gaza membentang dari Beit Hanoun di ujung utara hingga Rafah di ujung selatan. Letaknya secara geografis “terpojok”, terletak di tepi Laut Mediterania di sebelah barat.
Seperti yang dilansir dalam situs Historia, sejak Zaman Perunggu (3300–1200 Sebelum Masehi), wilayah Gaza telah menjadi tempat tinggal bagi berbagai bangsa. Nama “Gaza” telah tercatat sejak abad ke-15 SM dalam catatan penguasa Mesir Kuno, Thutmose III. Arti kata “Gaza” sendiri berhubungan dengan kekuatan atau ketangguhan. Gaza, sebagaimana dijelaskan oleh Colin Fluxman dalam audiobook berjudul Ancient Gaza: The History and Legacy of the Crucial Territory during Antiquity, telah mengalami kepemimpinan yang berubah-ubah dari berbagai pihak, termasuk bangsa Filistin, Babilonia, Yunani, Mesir, dan Romawi pada abad ke-6 SM. Kota ini memegang peran penting sebagai sistem pertahanan pesisir yang strategis bagi setiap penguasa dari masa ke masa.
Gaza selalu menjadi wilayah rebutan bagi berbagai kekuatan yang ingin menguasai wilayah di Asia, Afrika, dan Eropa. Sejarahnya mencakup perebutan oleh Romawi, Mongol, Utsmaniyah, dan bahkan Napoleon Bonaparte selama ekspedisinya ke Mesir dan Sinai pada 1798–1801. Meskipun awalnya dikuasai oleh Napoleon, Gaza kembali jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah setelah kekalahan Napoleon.
Pada tahun 1917, Palestina, termasuk Gaza, direbut oleh Inggris dari Usmaniyah. Selama periode antara tahun 1917 hingga 1948, Gaza berada di bawah pemerintahan Mandatory Palestine yang dikendalikan oleh Inggris. Sebelum Inggris hengkang dari Palestina, PBB menerbitkan Resolusi 181 atau yang dikenal sebagai Rencana Pemisahan Palestina (Partition Plan) di tahun 1947.
Resolusi ini mengharuskan Inggris untuk menarik mundur militernya dari Palestina paling lambat pada 1 Agustus 1948. Selain itu, rencana tersebut juga mencakup pendirian negara Arab dan negara Yahudi yang berdaulat, serta satu wilayah otoritas khusus internasional untuk mengawasi Kota Al-Quds (Yerusalem). Namun, sejumlah pemimpin nasionalis Arab Palestina dan Liga Arab menganggap rencana ini tidak adil karena dianggap berkolaborasi dengan organisasi Yahudi internasional.
Rencana pemisahan mencakup wilayah Palestina di Jalur Gaza, yaitu dari Isdud di utara sampai Auja di selatan, sedangkan Tepi Barat meliputi wilayah dari Akka di utara hingga kota perbatasan Beersheba di selatan, dengan Al-Quds (Yerusalem) Timur sebagai ibu kotanya. Sekitar 62 persen dari bekas wilayah Mandatory Palestina menjadi wilayah negara Yahudi atau Israel, termasuk kota Yerusalem yang direncanakan menjadi wilayah otoritas khusus internasional. Pada akhirnya, pembagian wilayah tersebut justru pecah menjadi Perang Enam Hari atau Perang Arab-Israel Ketiga (5–10 Juni 1967). Akibatnya, Israel yang keluar sebagai pemenang mengambil alih hampir seluruh wilayah Gaza dan Tepi Barat.
Meskipun demikian, selama penjajahan Israel, perlawanan di Gaza dan Tepi Barat tidak pernah mereda. Intifada Pertama pada Desember 1987 membawa pada Konferensi Perdamaian Madrid 1991 dan Perjanjian Oslo 1993, serta pendirian Otoritas Nasional Palestina/Palestinian National Authority (PNA) pada 13 September 1993. Meskipun Tentara Pertahanan Israel/Israel Defence Forces (IDF) mundur dari Gaza dan Tepi Barat, bukan berarti penindasan dan tindakan teror oleh IDF terhadap warga Palestina berhenti. Israel terus memperkuat kendali atas Palestina, terutama dengan melancarkan operasi-operasi militer di Jalur Gaza.
Setelah kemenangan Hamas dalam Pemilu Palestina, Israel memblokade pesisir laut Gaza dan mengendalikan pasokan listrik dan air ke Gaza, menjadikannya penjara terbuka terbesar bagi jutaan warga Palestina selama 16 tahun.
Operasi-operasi yang dilakukan oleh Israel sejak tahun 2004 di Gaza
Alih-alih menyebutnya sebagai sebuah perang, Israel akan selalu menyebutnya dengan sebutan “operasi”. Operasi sendiri merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam konteks militer, “operasi” dapat merujuk pada berbagai jenis kegiatan militer atau nonmiliter yang dilakukan oleh suatu organisasi atau negara. Berikut adalah serangkaian operasi yang dilakukan Israel di jalur Gaza menurut catatan Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA).
Operation Rainbow (Operasi Pelangi) pada 2004 yang menargetkan wilayah Rafah di Jalur Gaza dan menyebabkan sekitar 50 warga Palestina terbunuh. Kemudian, masih pada tahun yang sama, Operation Days of Penitence (Operasi Hari Penebusan) dilakukan antara bulan September dan Oktober. Menurut pemerintah Israel operasi tersebut diluncurkan sebagai balasan atas penembakan roket ke Kota Sderot dan permukiman Israel di dalam Jalur Gaza. Operasi ini menargetkan Kota Beit Hanoun, Beit Lahia, dan Kamp Pengungsi Jabaliya, serta mengakibatkan lebih dari 100 warga Palestina dan 5 warga Israel tewas.
Pada saat Disengagement Plan di tahun 2004 hingga November 2006, pasukan bersenjata Israel menembakkan sekitar 15.000 peluru artileri dan melakukan lebih dari 550 serangan udara ke Jalur Gaza. Serangan militer Israel membunuh sekitar 525 orang di Gaza. Selama periode yang sama, setidaknya 1.700 roket dan mortir ditembakkan ke Israel oleh pasukan pejuang Palestina, melukai 41 warga Israel. Agresi ini mencapai puncaknya pada tahun 2006 dengan invasi militer Israel ke Gaza, yang diberi kode nama operasi Summer Rain (Operasi Hujan Musim Panas) dan Autumn Clouds (Awan Musim Semi) yang berfokus di bagian utara Jalur Gaza di sekitar kota Beit Hanoun. Selama operasi pada bulan November tersebut, 19 orang, termasuk 18 anggota keluarga yang sama, terbunuh akibat tembakan artileri Israel dalam satu insiden.
Pada September 2007 Israel menyatakan Gaza sebagai sebuah “Entitas Musuh” dan melakukan blokade yang ketat terhadap pergerakkan individu serta masuknya pasokan gas dan listrik. Pada Desember 2007, Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa blokade pembatasan pasokan bahan bakar dan listrik ke Gaza sesuai dengan hukum Israel. Memasuki awal tahun 2008, tepatnya pada Februari, serangan roket dari Gaza mengenai Ashkelon (Asqalan), kota Palestina yang dijajah, yang menyebabkan pihak Israel mengalami luka ringan.
Pasukan bersenjata Israel kemudian meluncurkan operasi yang diberi kode nama Operation Hot Winter (Operasi Musim Dingin yang Panas). Selama operasi ini Angkatan Udara Israel melancarkan setidaknya 75 serangan udara ke berbagai sasaran di Jalur Gaza selama lima hari. Akibat dari operasi militer ini, lebih dari 100 warga Palestina, termasuk di dalamnya anak-anak dan 2 warga Israel terbunuh di Gaza.
Dalam keadaan diblokade, pada Desember 2008, Israel kembali meluncurkan operasi yang kali ini dinamakan Operation Cast Lead (Operasi Pelempar Timah) terhadap Gaza yang membunuh setidaknya 1383 warga Palestina, termasuk 333 anak-anak dan 114 perempuan, serta melukai lebih dari 5.300 orang. Berlanjut pada 2012, Israel meluncurkan serangan selama delapan hari terhadap Gaza yang dinamakan Operation Pillar of Defence (Operasi Pilar Pertahanan) yang membunuh 162 warga Palestina, melukai 1300 lainnya, dan menghancurkan 200 rumah. Israel kemudian melancarkan serangan terhadap Gaza selama 51 hari pada tahun 2014 yang dinamakan Operation Protective Edge (Operasi Kekuatan Perlindungan).
Tahun berlalu, serangan Israel tidak juga berhenti. Di tengah kengerian pandemi COVID-19, agresi Israel berlanjut pada Mei 2021 yang diberi nama Operation Guardian of Wall (Operasi Tameng Pertahanan). Saat itu pasukan Israel meluncurkan serangan militer selama 11 hari terhadap warga Palestina di Jalur Gaza dengan menggunakan senjata yang diproduksi di Amerika Serikat yang mengakibatkan setidaknya 256 warga Palestina syahid, termasuk 67 anak-anak. Selain itu, lebih dari 91.000 warga Palestina terusir dari tempat tinggal mereka selama serangan tersebut.
Dibalik Nama-nama Operasi Israel
Sulit dibayangkan bahwa operasi-operasi yang diberi nama seperti operasi Rainbows (Pelangi), Summer Rains (Hujan Musim Panas), Autumn Clouds (Awan Musim Semi), Hot Winter (Musim Dingin yang Panas), Protective Edge (Kekuatan Perlindungan), dan Cast Lead (Pelempar Timah), ternyata merefleksikan kehancuran, kekerasan, ketakutan, dan kematian.
Jika operasi Cast Lead awalnya mungkin terdengar seperti gambaran perang dan senjata, maka kita harus mencatat bahwa kata Ibrani untuk operasi tersebut adalah Oferet Teťsuka yang merujuk pada lagu anak-anak Yahudi yang biasa diputar pada hari raya Hanukkah dan bercerita tentang sebuah dreidel (gasing tradisional Yahudi). Lagu tersebut ditulis oleh penyair Israel, Haim Nahman Bialik. Siapapun pasti tidak menyangka ironi dibalik nama-nama operasi yang dijalankan oleh Israel menyimpan realitas yang mengerikan, yakni untuk menjalankan peristiwa kekerasan secara massif.
Hukum kemanusiaan internasional melarang serangan yang sporadis dan tidak proporsional, serta menuntut semua pihak yang terlibat dalam “konflik” bersenjata untuk membedakan antara sasaran militer, warga sipil, dan objek sipil. Operasi Iron Sword yang dilancarkan Israel sejak 7 Oktober hingga hari ini dengan dalih pertahanan diri, nyatanya telah menabrak seluruh norma hukum kemanusiaan. yaitu dengan membunuh warga sipil, menyerang dan menghancurkan rumah sakit, sekolah, kamp pengungsian, dan rumah ibadah, serta melakukan kekerasan di koridor yang dinyatakan aman. Apa yang dilakukan Israel di depan mata dunia, telah melanggar hukum-hukum yang mengatur hal tersebut.
Yunda Kania Alfiani, S.Hum
Penulis merupakan Relawan Departemen Research Development and Mobilization Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Ilmu Sejarah, FIB UI.
Referensi
Report of the United Nations Fact-Finding Mission on the Gaza Conflict
Remembering Operation Defensive Shield in Jenin, 20 years later
Israel: ‘Disengagement’ Will Not End Gaza Occupation
Remembering Israel’s ‘Operation Pillar of Defence’
Dozens killed in Israeli air attack on Jabalia refugee camp: Gaza official
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini
#Palestine_is_my_compass
#Palestina_arah_perjuanganku
#Together_in_solidarity
#فلسطين_بوصلتي
#معا_ننصرها