Yusri Atiya al-Masri tak akan pernah melupakan hari saat dia dipindahkan dari penjara Nafha di Israel selatan ke rumah sakit Soroka di Bir al-Saba. Ia dibawa dengan kendaraan pengangkut yang memiliki kursi logam, dengan sipir penjara Israel duduk di kedua sisinya. Hari itu, dia sangat terkekang. Rasa sakitnya begitu menyiksa, bahkan dia tidak yakin bisa bertahan dalam perjalanan itu.
Selama beberapa tahun terakhir di penjara, Yusri menderita penyakit yang belum berhasil terdiagnosis. Ia mengalami pingsan berkali-kali dan penurunan berat badan yang drastis. Namun, otoritas penjara Israel selalu menahan Yusri untuk mendapat perawatan medis. Tindakan sewenang-wenang tersebut membuat tawanan lainnya berinisiatif menyelenggarakan protes, menuntut perawatan mendesak baginya.
Akhirnya, pada Januari 2012, hampir sembilan tahun setelah dipenjara, Yusri mendapat izin periksa ke rumah sakit untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan. “Ketika saya tiba di rumah sakit, saya mendapat giliran periksa oleh dokter setelah perawatan semua orang di rumah sakit selesai,” katanya, menjelaskan bahwa ia diperiksa paling terakhir walaupun penyakitnya mengkhawatirkan. “Saya menghabiskan malam di sel dekat klinik.”
Yusri didiagnosis menderita kanker tiroid. Akan tetapi, dia hanya diresepkan obat penghilang rasa sakit hingga November 2013. “Itu adalah momen kemenangan bagi saya karena saya akhirnya menemukan penyebab rasa sakit saya,” katanya. “Dokter penjara biasa mengatakan bahwa saya berbohong atau berhalusinasi dan bilang rasa sakit saya disebabkan oleh gangguan psikologis.”
Dua puluh tahun penjara
Yusri Al-Masri (40), mengenang semua pengalamannya tersebut saat wawancara telepon dengan The Electronic Intifada pada akhir Juni. Dia telah dibebaskan dari penjara hanya sembilan hari sebelumnya, pada 15 Juni 2023, setelah menjalani hukuman selama 20 tahun. Banyak penduduk dan keluarga menyambutnya ketika dia tiba di rumahnya di Deir al-Balah.
Ibu Al-Masri, Sabita (75), juga hadir di perayaan itu dan langsung memeluknya. “Setiap hari, tahun demi tahun, saya bertahan,” katanya. Putranya yang lain, Yasser al-Masri, telah meninggal pada Juni 2022 karena luka selama agresi Israel pada Mei 2021 di Gaza. “Pesan tulus saya kepada semua ibu tawanan adalah: milikilah ketahanan dan harapan.”
Yusri Al-Masri ditangkap pada 10 Juni 2003, ketika pasukan Israel melakukan penyerbuan malam hari ke rumah keluarganya di Deir al-Balah. Saat itu ia berusia 20 tahun dan masih menjadi mahasiswa bahasa Inggris tahun kedua di Universitas Al-Aqsa. Selama dua bulan dia diinterogasi di penjara Ashkelon tentang dugaan keterlibatannya dengan salah satu kelompok militan Palestina. Dia menjadi sasaran pelecehan fisik dan verbal dan menggambarkan interogasi sebagai hal yang memalukan. Dia kemudian didakwa berafiliasi dengan Jihad Islam dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dengan lima tahun masa percobaan.
Yusri kemudian menghabiskan separuh hidupnya di penjara Nafha, tempat dia melanjutkan pendidikannya. Dengan bantuan Komite Palang Merah Internasional dan departemen urusan tawanan Otoritas Palestina, dia mendapatkan buku-buku tentang sejarah Palestina dan menyalin teks-teks itu dengan tangan. Selain itu, dia juga meminjam buku dari tawanan lain.
Pada 2015, al-Masri lulus dengan gelar sarjana sejarah, dengan fokus pada sejarah Palestina. Sementara itu, ia juga masih terus berjuang melawan kanker tiroidnya. Waktu itu, tawanan lainnya, Maysara Abuhamdia, dari Tepi Barat, juga meninggal karena kanker tenggorokan. “Ini memicu protes di penjara, organisasi hak asasi manusia, Otoritas Palestina, yang menuntut perawatan untuk saya,” katanya. “Keputusan diambil untuk mengangkat kelenjar tiroid saya dan melakukan radiasi di leher,” kata al-Masri. “Namun, saya tidak menjalani perawatan atau pemeriksaan lebih lanjut setelah itu.”
Jangan lupakan para tawanan
Al-Masri saat ini sedang menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar penjara. Ia dibanjiri dukungan yang sangat besar, dan dia tidak berhenti menerima pengunjung sejak dibebaskan. Namun, dia harus menjalani biopsi hati pada akhir Juli, dan harus terus berjuang melawan peningkatan kadar gula darah dan disfungsi kelenjar. “Saya sedang menunggu hasil tes medis baru-baru ini yang dilakukan di Gaza untuk memeriksa status kesehatan saya,” katanya. “Saya berharap tidak menderita lagi.”
Dia bertekad untuk menggunakan pengalaman dan pendidikannya untuk mengadvokasi hak-hak tawanan, terutama untuk membantu tawanan Palestina di penjara Israel agar dapat menerima perawatan medis dan kondisi kehidupan yang lebih baik. Dia ingin mendorong warga Palestina untuk mengejar pendidikan, menekankannya sebagai sarana pemberdayaan dan perlawanan.
“Tawanan yang sakit adalah pemakaman yang tertunda,” katanya. “Kematiannya sudah dekat. Saya khawatir pada salah satu tawanan yang sakit, Walid Daqqa, akan menjadi tambahan terbaru dalam daftar syuhada.” Daqqa (61), yang menderita kanker sumsum tulang, telah dipenjarakan di Israel selama 37 tahun, sejak Maret 1986. Ia dituduh berpartisipasi dalam perlawanan bersenjata sebagai anggota Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina.
Al-Masri memiliki pesan kepada semua orang di dunia: “Jangan berhenti mendukung kebebasan para tawanan. Tawanan memang masih bernyawa, tapi tanpa kehidupan.”
Sumber:
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini