Antrean panjang orang tua yang cemas menunggu di luar tenda pemeriksaan. Dokter Rajaa Okasha menunjukkan seberapa dibutuhkannya layanan sukarelawannya setelah empat bulan serangan Israel terhadap Gaza yang sangat berat ditanggung oleh siapa pun, terutama anak-anak.
Bekerja sepanjang hari di bawah tenda di tanah berpasir dengan sedikit obat yang tersedia, dia melakukan yang terbaik bagi sejumlah anak yang sakit dan terluka dalam situasi perang yang hampir membuat semua orang di Gaza menjadi tunawisma.
Okasha sendiri tidak punya rumah setelah mengungsi dari rumahnya di Beit Hanoun, tempat pertama yang diserang oleh artileri Israel, dan seperti mayoritas warga Gaza, ia berakhir di Rafah yang berbatasan dengan Mesir.
“Ketika saya melihat seorang anak, saya merasa perlu untuk menawarkan pengobatan kepadanya dan mencoba membantunya,” kata Okasha. Hal tersebut juga merupakan sebuah penjelasan mengapa dia mendirikan tenda sebagai pusat medis gratis untuk anak-anak di bagian Rafah tempat dia berteduh.
Seorang perawat membungkus kaki seorang balita, seorang ibu dengan wajah lelah yang penuh perhatian memeluk bayinya, seorang gadis berambut pirang menatap keluar dari balik tenda dengan giginya yang bergemeretak dan menangis. Begitulah gambaran di sekitar tenda pemeriksaan itu.
Agresi Israel di Gaza sejak 7 Oktober telah membunuh lebih dari 28.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 68.000 lainnya. Pada Senin (12/2) malam, Israel meluncurkan serangan udara di Rafah yang menewaskan lebih dari 65 warga Palestina. Kota itu telah dinyatakan sebagai “zona aman” oleh pasukan Israel dan lebih dari satu juta warga Palestina berlindung di sana setelah dipaksa keluar dari rumah mereka di daerah utara Jalur Gaza sejak 7 Oktober.
Okasha, mengenakan jas biru dan dengan stetoskop di lehernya, menempelkan termometer di telinga seorang anak. Ia bergantung pada sumbangan untuk sedikit peralatan yang dimilikinya. “Penyakit menyebar luas di antara anak-anak dengan cara yang menakutkan, terutama infeksi usus, infeksi virus, dan infeksi pernapasan karena dingin,” katanya.
Dia melihat anak-anak datang tanpa pakaian yang memadai dan orang tua mereka mengatakan kepada mereka bahwa mereka tidak punya uang untuk membeli pakaian dan yang paling mengkhawatirkan, hepatitis A merajalela, katanya.
“Semua ini karena kurangnya kebersihan,” kata Okasha, menunjuk pada ketiadaan air bersih untuk minum atau untuk keperluan MCK. Banyak orang di Gaza terpaksa mencuci dan mandi dengan air laut, serta minum air payau yang asin yang dipompa dari sumur-sumur.
Seringkali, yang bisa dia lakukan hanyalah meresepkan obat penghilang rasa sakit, yang jarang tersedia di apotek karena blokade total Israel terhadap Jalur Gaza.
“Anak saya sangat sakit. Dia demam dan diare disebabkan oleh kondisi hidup yang sulit selama perang,” kata Ahmed Al-Amodi, sambil memegang anaknya yang menangis.
Sebagian besar rumah sakit di Gaza telah berhenti beroperasi, sementara beberapa RS yang rusak oleh serangan bom Israel, memaksakan untuk tetap melayani pasien di bawah tekanan yang semakin besar karena pasukan Israel semakin mendekat.
WHO mengatakan bahwa hanya 15 dari 36 rumah sakit Gaza yang masih berfungsi sebagian. Hasil survei PBB telah menemukan bahwa satu dari sepuluh anak di bawah lima tahun menderita malnutrisi akut, karena Israel melarang masuknya makanan yang cukup untuk 2,3 juta penduduk Jalur Gaza.
sumber:
https://www.middleeastmonitor.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini