Tanggal 15 Mei selalu diperingati sebagai Hari Tragedi Pengusiran atau dikenal dengan Yaum an-Nakbah (Peristiwa Nakbah). Sebuah peristiwa yang menandai krisis terbesar warga Palestina yang diciptakan oleh penjajahan Zionis.
Peristiwa Nakbah berlangsung sehari setelah Zionis mengumumkan negaranya berdiri secara sepihak di atas tanah jajahannya pada 14 Mei 1948. Pasukan Zionis dengan segala kekuatan militer yang dimilikinya langsung mengadakan pengusiran besar-besaran terhadap warga asli Palestina, pemilik sah tanah itu, pada 15 Mei 1948.
Militer Zionis tak tanggung-tanggung. Mereka menghancurkan 531 kota dan desa Palestina kemudian mengambil kendali atas 774 lainnya. Lebih dari 800.000 warga Palestina mengalami pembersihan etnis dan dipaksa menjadi pengungsi di negara-negara tetangga.
Ratusan ribu warga pun mengungsi ke wilayah-wilayah yang berbatasan dengan wilayah kampung halaman mereka. Sebagian dari mereka menyeberang ke negara tetangga, seperti Lebanon, Suriah, dan Yordania. Sebagian lainnya ke negara yang lebih jauh lagi, seperti Irak, Yaman, dan sebagainya.
Dalam perkembangan berikutnya, konflik berdarah akibat perang saudara di negeri-negeri kawasan Teluk, mulai dari Irak-Iran, Suriah hingga Yaman, membuat jutaan pengungsi Palestina di negara-negara itu, terpaksa harus mengungsi lagi untuk mencari daerah yang dipandang lebih aman. Sebagian dari mereka meninggal di perjalanan sementara sebagian lainnya merambah daratan Eropa. Banyak pengungsi pindah ke Turki, negara yang separuhnya terletak di benua Asia dan sebagian lainnya Eropa.
Pegiat Hak Asasi Manusia menyebut, tindakan Zionis ini sebagai pembersihan etnis (ethnic cleansing), yang merupakan pelanggaran hak asasi yang terang-terangan di mata dunia internasional. Kondisi 531 kota dan desa tanah air warga Palestina pun kini telah dihancurkan dan diganti dengan permukiman ilegal Yahudi.
Pengungsi Palestina
Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) mengungkapkan populasi pengungsi Palestina merupakan yang terbesar di dunia. Ada sekitar 5,9 juta pengungsi Palestina tersebar di seluruh dunia.
Para pengungsi ini tinggal di 58 kamp di Yordania, Lebanon, Suriah, dan negara-negara lain. Banyak pengungsi lainnya telah menetap di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat yang diduduki Zionis dan Jalur Gaza yang diblokade lebih dari 14 tahun sejak 2006.
Di negara-negara penampung, pengungsi Palestina mendapat perlakuan berbeda-beda. Ada yang disetarakan dengan warga negara di mana tempat mereka mengungsi, tapi tidak sedikit dari mereka yang menderita, tidak bisa mendapatkan hak untuk bekerja meskipun pengungsi tersebut memiliki kapasitas yang mumpuni, kecuali pekerjaan-pekerjaan kasar.
Lihat postingan ini di Instagram
Hak Kembali
Zionis tidak hanya mengusir, namun membuat serangkaian undang-undang yang disahkan untuk mencegah warga Palestina kembali ke rumah mereka. Banyak warga Palestina yang direbut kunci rumahnya, padahal kunci itulah yang menjadi simbol dari hak Palestina untuk kembali ke rumah.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebenarnya telah mengeluarkan Resolusi Nomor 194 tentang hak semua pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah mereka (Haqqul ‘Audah). Hampir empat juta pengungsi yang telah terdaftar di PBB.
Namun resolusi tinggal resolusi. Kepatuhan terhadap resolusi 194 diabaikan begitu saja oleh Zionis. Mereka selalu menolak dengan alasan masih terganjal “proses perdamaian” atau sebenarnya mereka khawatir jika pengungsi Palestina kembali, maka akan membahayakan mayoritas warga Yahudi di sana.
Apalagi dengan sokongan Kesepakatan Abad Ini yang dicanangkan Presiden AS Donald Trump saat itu, Zionis semakin pongah dan sewenang-wenang. Kehadiran Menlu AS Pompeo bertepatan dengan Hari Nakbah, semakin menguatkan tindakan penjajahan utuk memperluas aneksasinya ke Tepi Barat.
Generasi Palestina
Kini generasi keempat atau kelima sejak 1948, yang tak mengalami langsung tragedi 1948 itu, tentu akan tetap konsisten untuk mengambil hak mereka untuk kembali (global return) dan memiliki negara merdeka mereka sendiri dengan Yerusalem sebagai ibukota abadi.
Generasi baru Palestina, di dalam dan di luar Palestina, ketika ditanya dari mana mereka berasal, mereka pasti tetap akan menjawab dengan kota atau desa nenek moyang mereka lahir, bukan tempat mereka tinggal sekarang.
Peringatan Hari Nakbah setiap 15 Mei adalah hari yang harus selalu diingat dalam kaitan dengan Deklarasi Balfour, yang memberikan hak yang tidak pantas bagi penjajah atas reruntuhan orang tak berdaya yang diusir dari rumah mereka tanpa hak yang sah.
Warga Palestina percaya bahwa mereka akan kembali ke tanah airnya, tanah dan wakaf kaum Muslimin, tidak peduli entah berapa tahun, puluh atau ratusan tahun lagi mereka akan mengambilnya.
Kekuatan keyakinannya melebihi keyakinan Yahudi tatkala hendak merebut Palestina sejak 1897 hingga 1948 saat itu. Kota dan desa boleh saja dihancurkan, kunci-kunci boleh pula dihilangkan, dan tanah pekarangan dan ladang bisa saja dibakar.
Namun, semangat perjuangan itu tidak dapat hancur, keinginan untuk kembali mengambil hak milik sendiri warisan tanah Muslimin tidak akan hilang, dan api semangat juang untuk kemerdekaan bangsa Palestina serta pembebasan Al-Aqsa, Baitul Maqdis, dan Yerusalem dari penjajahan Zionis akan selalu membakar.
Membakar segala bentuk penindasan, kezaliman, kejahatan dan penjajahan satu bangsa atas bangsa lainnya. Bahan bakar itu kini terus mengalir dari dunia Islam pada khususnya dan internasional pada umumnya atas nama kemanusiaan.
Sementara jutaan kaum Muslimin dan manusia-manusia yang masih punya jiwa kemanusiaan, bersedia menyokong di belakangnya.
Hari Nakbah adalah kisah dan keadaan nestapa yang berlangsung di Palestina. Namun sekaligus itu juga merupakan motivasi untuk melanjutkan ketabahan dan perlawanan rakyat Palestina sampai merdeka dan berdaulat penuh di tanah airnya sendiri.
***
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini seputar program bantuan untuk Palestina.
Klik disini untuk cari tahu lebih lanjut tentang program donasi untuk anak-anak dan perempuan Palestina.