Komisi Urusan Tawanan dan Mantan Tawanan Palestina, Addameer, melaporkan bahwa sebanyak 40 perempuan tawanan disiksa dan dilecehkan oleh Zionis di penjara Damon, Israel Utara. Para tawanan ini bahkan sudah menerima penyiksaan dari Zionis sejak mereka masih dalam tahap interogasi.
Mona Qaadan (50) adalah salah satu perempuan tawanan yang menjadi korban penyiksaan. Berdasarkan kesaksian dari Qaadan yang dipublikasikan Middle East Monitor pada Jumat (30/7), Zionis telah menangkapnya sebanyak enam kali dan ia menghabiskan delapan tahun hidupnya di dalam penjara. Qaadan diinterogasi oleh Zionis selama 22 hari tanpa henti, mulai pukul 08.30 hingga pukul 04.00 keesokan harinya. Selama interogasi, Qaadan selalu diborgol dengan borgol besi, diikat ke kursi, lalu dihina dengan kata-kata cabul, dan diancam bahwa Zionis akan menangkap seluruh anggota keluarganya. Qaadan juga mengungkapkan bahwa suasana penjara sangat lembab dan bau. Suhu di dalam juga tidak menentu karena para sipir mengontrol panas dinginnya suhu ruangan tersebut. Mereka menolak untuk memberikan pembersih walaupun Qaadan telah memintanya berkali-kali.
Berdasarkan data dari Addameer, pasukan pendudukan dilaporkan telah menangkap sebanyak 106 perempuan dan anak perempuan pada 2015. Data dari B’Tselem pada Desember 2015 menunjukkan sebanyak 44 perempuan Palestina dipenjara dengan alasan keamanan. Jumlah perempuan Palestina yang ditawan oleh Zionis meningkat menjadi 58 orang pada 2017. Kemudian pada November 2018, diperkirakan sebanyak 10.000 perempuan Palestina telah ditangkap dan/atau ditawan di bawah perintah militer Zionis Israel dalam 50 tahun terakhir. Data terbaru bulan Juli 2021 menunjukkan Zionis telah menawan sebanyak 4.850 penduduk Palestina, termasuk 41 perempuan, 225 anak-anak, dan 540 tawanan administratif.
Para perempuan Palestina ini biasanya ditawan di penjara Hasharon dan Damon yang terletak di luar wilayah pendudukan tahun 1967. Akibatnya, para perempuan tawanan ini tidak bisa dikunjungi oleh kerabat mereka. Tindakan ini secara jelas bertentangan dengan pasal 76 Konvensi Jenewa ke-4 yang menyatakan bahwa “Negara pendudukan harus menawan penduduk wilayah pendudukan di penjara-penjara yang berada dalam wilayah pendudukan.”
Selain telah melanggar hukum internasional, para perempuan tawanan ini sama sekali tidak mendapatkan hak-hak dasar mereka untuk hidup. Sebaliknya, mereka justru disiksa dan dilecehkan. Berdasarkan laporan Addameer, sebanyak 38 persen perempuan tawanan tersebut menderita penyakit, baik itu penyakit yang bisa diobati maupun yang tidak bisa diobati. Kualitas makanan yang buruk membuat mereka kekurangan nutrisi sehingga menderita berbagai penyakit seperti anemia, asma, diabetes, kanker, penyakit ginjal, kekurangan zat besi, dan penurunan berat badan.
Perempuan tawanan yang sedang hamil juga tidak mendapat perhatian khusus selama berada di dalam penjara. Pada periode 2003—2008, Addameer mencatat bahwa terdapat empat kasus perempuan tawanan yang dipaksa melahirkan di dalam penjara. Mereka melahirkan tanpa menerima perawatan sebelum dan setelah melahirkan. Kalaupun dibawa ke rumah sakit, mereka tetap diawasi dengan pengawasan yang sangat ketat; tangan dan kaki mereka dibelenggu ke kasur dan hanya dilepas ketika mereka telah memasuki ruang bersalin. Beberapa menit setelah persalinan, tangan dan kaki mereka kembali dibelenggu seperti semula. Kasus penawanan terhadap perempuan hamil ini harus menjadi perhatian karena mempengaruhi kesehatan ibu, sebelum dan setelah melahirkan, juga terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi mereka.
Selain disiksa secara fisik, para perempuan tawanan juga dihancurkan secara psikologis dengan cara dilecehkan. Mereka kerap menjadi korban perilaku kekerasan Zionis seperti pemukulan, penghinaan, ancaman, serta pelecehan seksual. Breaking The Silence, sebuah LSM Israel yang mengumpulkan kesaksian anonim dari pasukan pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza mengungkapkan bahwa kekerasan ini dilakukan oleh tentara Zionis, baik lelaki maupun perempuan. Penelitian yang dilakukan pada Januari 2010 tersebut juga mengungkapkan bahwa para perempuan tentara melakukan kekerasan terhadap para tawanan dengan tujuan mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dari rekan lelaki dan atasan mereka.
Zionis lainnya juga menggunakan pemerkosaan perempuan Palestina sebagai senjata perang. Seorang pelatih militer mengatakan bahwa untuk melemahkan Gaza adalah dengan memperkosa ibu dan saudara mereka. Dia berkata, “Satu-satunya hal yang dapat mencegah teroris, seperti mereka yang menculik anak-anak dan membunuh mereka, adalah pengetahuan bahwa saudara perempuan mereka atau ibu mereka akan diperkosa.”
Pelecehan seksual yang mengerikan juga dialami Dena Karmi (41) selama ditawan oleh Zionis. Berdasarkan laporan dari Anadolu Agency pada September 2020, Karmi ditangkap bersama enam perempuan lainnya pada Juli 2018 di rumahnya yang berada di Hebron. Mereka diduga berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang terkait dengan gerakan perlawanan Hamas di Hebron. Ia dijatuhi hukuman selama 16 bulan di penjara dan hampir setiap saat merasakan pelecehan dari tentara.
“Ketika saya menolak untuk menanggalkan pakaian saya, sipir menyerang saya, menyobek celana, dan membuat saya melakukan pemeriksaan yang memalukan,” katanya ketika menceritakan kisah traumatisnya ketika diinterogasi di Pusat Interogasi Ashkelon. Karmi juga mengungkapkan bahwa interogator biasa mendekat dan bernafas di depan wajahnya sementara tangannya diborgol ke belakang. “Ini sangat memalukan dan mengerikan, terutama ketika interogator berperilaku sembarangan dan mencoba memprovokasi saya. Terkadang saat interogasi malam hari, interogator berusaha mendekat, bahkan menunjukkan fotonya yang tidak senonoh saat mengenakan baju renang.” Akibat trauma yang dialaminya, Karmi sangat stres bahkan sampai beberapa kali kehilangan kesadaran setelah delapan hari ditawan di penjara Ashkelon.
Seorang psikoterapis, Tasneem Jubran, mengatakan bahwa sebagian besar perempuan tawanan Palestina menolak menceritakan pengalaman mengerikan mereka karena takut akan stigma, mengingat seks merupakan hal yang memalukan untuk dibicarakan. “Pelecehan seksual dianggap sebagai trauma yang menyebabkan kerusakan fisik dan psikologis jangka panjang dalam hubungan korban dengan dirinya sendiri dan sekitarnya. Dengan demikian, sangat mempengaruhi kesehatan seksual korban jika korban tidak segera menjalani psikoterapi setelah pembebasan.”
Menurut Sahar Francis, direktur Addameer, “Pelecehan seksual verbal adalah bagian dari kebijakan terorganisasi untuk menanamkan penghinaan dan penyiksaan terhadap semua tawanan Palestina terutama terhadap perempuan dan anak-anak.” Francis juga menambahkan bahwa sistem peradilan Israel tidak menganggap serius pengaduan terkait pelecehan seksual. “Kami telah mendokumentasikan dan mengajukan banyak keluhan ke pengadilan Israel dan PBB. Namun, sampai saat ini belum ada respon yang efektif,” ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa Zionis secara terang-terangan telah menyalahi hukum internasional dan terus mencari pembenaran atas tindakan keji mereka terhadap para tawanan Palestina.
Pada Juni 2021, Zionis kembali menangkap tiga perempuan Palestina yang merupakan mahasiswi di Universitas Birzeit Palestina. Layan, Elya, dan Ruba masing-masing menerima hukuman pidana akibat berpartisipasi dan berafiliasi dengan dengan asosiasi mahasiswa demokratis di Universitas Birzeit. Masing-masing mendapat masa hukuman yang berbeda-beda. Layan Kayed (23) dijatuhi hukuman 16 bulan penjara dan denda 6.000 NIS (sekitar $1.820) pada 21 Maret 2021. Layan kini berada dalam penawanan militer selama lebih dari satu tahun setelah penangkapannya pada 8 Juni 2020. Elya Abu Hijla (21) dijatuhi hukuman 11 bulan penjara pada 23 Desember 2020 dan denda 1.500 NIS (sekitar $500). Elyaa dibebaskan pada 10 Mei 2021, setelah lebih dari sepuluh bulan dalam tawanan militer sejak penangkapannya pada 1 Juli 2020. Ruba Asi (20) dijatuhi hukuman 21 bulan penjara dan denda 3.000 NIS (sekitar $1.000) pada 3 Mei 2021. Ruba sekarang berada dalam penawanan militer selama hampir satu tahun setelah penangkapannya pada 9 Juli 2020. Hukuman ini dinilai berlebihan karena ketiga perempuan tersebut hanya melakukan kegiatan mereka sebagai mahasiswa.
Zionis selalu melihat perempuan Palestina sebagai ancaman demografi, nenek moyang dari teroris di masa depan, yang membesarkan ‘ular kecil’. Ayelet Shaked, Menteri Dalam Negeri Israel mengatakan, “Dibalik setiap teroris berdiri lusinan laki-laki dan perempuan yang tanpanya dia tidak dapat terlibat dalam terorisme, Mereka semua adalah musuh seluruh kombatan dan darah mereka harus tertumpah di kepala mereka. Termasuk juga ibu mereka…. Mereka harus mengikuti anak mereka…. Mereka harus pergi sebagaimana fisik rumah mereka tempat mereka membesarkan ular kecil. Jika tidak, akan ada banyak ular kecil yang akan dibesarkan disana.” Perkataan Shaked ini menunjukkan bahwa Zionis tidak akan berhenti menyiksa para perempuan Palestina hingga mereka mencapai tujuan mereka. Akan tetapi, mereka telah memilih lawan yang salah. Perempuan Palestina adalah pejuang tangguh yang tidak akan mudah ditumbangkan. Seperti slogan mereka yang terkenal, “Tanah sebelum kehormatan”.
Sumber:
Link 1 / Link 2 / Link 3 / Link 4 / Link 5 / Link 6 / Link 7 / Link 8 / Link 9 / Link 10
***
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini seputar program bantuan untuk Palestina.
Donasi dengan mudah dan aman menggunakan QRIS. Scan QR Code di bawah ini dengan menggunakan aplikasi Gojek, OVO, Dana, Shopee, LinkAja atau QRIS.
Klik disini untuk cari tahu lebih lanjut tentang program donasi untuk anak-anak dan perempuan Palestina.