Empat belas Mei 2018. Hari itu akan selalu terpatri dalam ingatan saya. Malamnya beberapa anak dan remaja melakukan pawai, lewat di depan rumah sambil menabuh galon air, panci, dan rupa-rupa alat musik dadakan lainnya sambil berdendang.
“Sambut, sambut, sambut Ramadhan, sambut Ramadhan dengan gembira!” riuh nyanyian mereka memodifikasi syair dengan nada lagu “Menanam Jagung”, menggema ke sudut-sudut kampung. Syiar Ramadan seketika terasa, menyelipkan rasa sendu alih-alih syahdu ke dalam benak saya.
Ya, hari itu adalah hari pembukaan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Yerusalem. Ivanka Trump, putri Donald Trump, memimpin langsung seremoni inaugurasi dan memberikan ucapan selamat datang ke Kedutaan Besar di kota yang disebutnya sebagai ibukota Israel.
Meskipun rencana kepindahan Kedutaan Besar AS telah menuai kecaman dari berbagai pihak sejak diumumkan pada 6 Desember tahun lalu, nyatanya Trump tetap bergeming. Padahal, rencana itu telah ditentang 128 negara dalam pengambilan suara yang dilakukan oleh Majelis Umum PBB pada 21 Desember 2017.
Kepindahan Kedutaan Besar dari Tel Aviv ke Yerusalem (Al Quds) adalah sebuah pelanggaran terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB di tahun 1980 yang melarang setiap negara untuk menggelar misi diplomatik di Kota Suci Tiga Agama tersebut. Hal ini juga pelanggaran atas resolusi PBB yang terbit di tahun 1967 yang menyepakati bahwa status akhir Yerusalem harus diputuskan lewat negosiasi langsung Palestina dan Israel yang seharusnya masih berlaku hingga detik ini.
Namun resolusi tinggal resolusi. Trump semakin jumawa dengan tekadnya. Bahkan dalam salah satu pidatonya, ia menegaskan dengan penuh kemenangan, “Sementara beberapa presiden sebelumnya menjadikan ini sebagai agenda utama kampanye mereka, tapi mereka gagal. Hari ini saya berhasil memenuhi janji itu.”
Sejak 7 Mei 2018 lalu, sejumlah papan penunjuk jalan menuju kedutaan telah terpampang. Masih dalam rangka persiapan pembukaan kedutaan itu, sejumlah Murabitoun (penjaga masjid) dilarang masuk ke dalam Masjid Al Aqsa, kiblat pertama umat Islam, sementara warga Israel semakin mudah berlenggang kaki memasuki kawasan suci.
Empat belas Mei 2018, sehari sebelum peringatan tujuh puluh tahun peristiwa Nakba, dipilih sebagai tanggal pembukaan resmi Kedutaan Besar AS bukan tanpa sebab. Nakba sendiri bermakna malapetaka, yaitu bencana besar bagi warga Palestina. Peristiwa ini terjadi ketika pada tanggal 15 Mei 1948, Israel melakukan pengusiran besar-besaran sehingga menyebabkan lebih dari 850 ribu warga Palestina harus mengungsi, ribuan korban jiwa berjatuhan, dan lebih dari satu juta warga Palestina menjadi tahanan Israel. Sejatinya, rencana kepindahan ini akan dilaksanakan pada tanggal 15 Mei, namun rupanya penguasa Negeri Paman Sam itu sudah tak sabar.
Di tengah kondisi PBB yang tak berkutik di bawah cengkeraman Amerika, dan negara-negara Timur Tengah yang tak lagi nyaring bersuara, perjuangan rakyat Palestina terus menggelora. “Pawai Kepulangan Akbar” digelar dari 30 Maret hingga 15 Mei 2018. Tak kurang tujuh belas ribu warga Palestina, menggelar aksi unjuk rasa dengan mendirikan setidaknya lima tenda di sepanjang perbatasan Gaza-Israel selama enam pekan tersebut.
Ada dua tujuan utama diselenggarakannya aksi ini. Pertama, menuntut hak para pengungsi untuk kembali ke tanah air dan mengambil kembali hak mereka atas yang dirampas pemerintah Israel dengan UU Kepemilikan Tanah Tak Bertuan Tahun 1950 dan menerapkan Poin 11 Resolusi PBB nomor 194. Kedua, menghentikan blokade Gaza yang telah berlangsung selama 12 tahun sejak 2006.
Peserta pawai besar-besaran ini berasal dari semua elemen masyarakat termasuk wanita dan anak-anak. Mereka menggelar berbagai bentuk aksi damai seperti orasi tokoh dan mogok makan. Aksi ini rupanya dianggap sebagai upaya menebarkan teror bagi pihak Israel sehingga memicu konfrontasi. Bom meledak di wilayah Gaza dan jet-jet tempur diarahkan untuk menyerang pos-pos milisi bersenjata Gaza Utara. Beberapa bentrokan pun tak dapat dihindarkan. Militer Israel melepaskan tembakan dengan peluru panas saat beberapa peserta aksi berusaha menerobos pagar pembatas di perbatasan.
Gas air mata pun disebarkan, hingga menyebabkan syahidnya seorang balita di Gaza Timur. Laila Anwar Ghandur, demikian nama bayi berusia delapan bulan yang tewas akibat menghirup gas beracun itu. Ia hanyalah satu dari 113 warga Palestina yang tewas selama pawai akbar. Tak terhitung 12 ribu korban yang menderita luka-luka, 700 di antaranya adalah anak-anak. Jelas, Konvensi Jenewa tak pernah dianggap ada oleh pemerintah Israel.
Dalam perjuangannya, peserta aksi menggunakan batu, ketapel, layang-layang yang menerbangkan bahan yang mudah terbakar, dan sepuluh ribu ban bekas yang dibakar untuk melawan militer Israel. Mereka tak berhenti mengadakan perlawanan untuk mengebiri ide Trump terkait isu “Kesepakatan Abad Ini” di mana Palestina hanya akan diberikan “jatah” wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat. Ide tersebut akan berkembang ke arah yang lebih mengerikan: Jalur Gaza akan dianeksasi oleh Mesir, sementara Tepi Barat akan diambil alih oleh Yordania. Dengan skenario tersebut, negeri Palestina hanya akan tinggal sejarah dan selama-lamanya akan lenyap dari muka bumi.
Lalu, di posisi manakah umat Islam di Indonesia kini berada? Belum sempat saya memikirkan jawabannya, pada tanggal yang sama dengan dibukanya Kedutaan Besar AS itu, terjadi beberapa peristiwa yang menyentak nurani. Kali ini pawai kematian yang tak kalah mengerikan, pengeboman terjadi di tiga titik tempat di Surabaya.
Terlepas dari berbagai polemik yang ada, kali ini para pelakunya telah teridentifikasi. Dan lagi-lagi umat Islam di negeri ini menghadapi ujiannya. Istilah-istilah semacam ekstremis, radikalis, dan penyematan negatif terhadap atribut pengajian dan pesantren mulai menghangat. Sebagian orang tua merasa khawatir apabila anaknya ikut kelompok mengaji, mungkin lebih takut daripada terjangkit narkoba.
Dan lagi-lagi isu tentang tanah wakaf umat Islam sejak zaman Khalifah Umar Al Faruq Ibn Khattab seperti terbawa angin lalu. Mimbar-mimbar pencetus semangat kebangkitan umat tak lagi laku. Semuanya hanyut dalam euphoria ketakutan dan kewaspadaan, tanpa jelas benar dikenali takut pada siapa dan waspada akan apa. Ibadah ritual dan ceramah agama hanyalah seremonial belaka.
Keadaan ini persis seperti yang dinubuatkan Rasulullah SAW belasan abad lalu. Dari Abu Umamah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Akan ada sekelompok umatku yang memegang teguh agamanya mengalahkan musuh-musuh mereka. Orang yang menentang mereka tidak akan membahayakan mereka hingga datang kehendak Allah SWT dan mereka sama sekali tidak berubah. Mereka berkata, ‘Di mana mereka ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Di Baitul Maqdis dan sekitarnya'” (HR Ahmad).
Betapa mulianya mereka. Betapa sengsaranya kita. Sementara kita bersuka cita menyambut bulan penuh ampunan tanpa sedikit pun mengingat perjuangan mereka. Padahal yang mereka lakukan tak sedikit pun menggantikan posisi kita. Padahal mereka menjaga apa yang seharusnya kita jaga.
Sementara kita dengan mudah menunjuk menu apa saja untuk berbuka puasa, saudara-saudara kita di Palestina berbagi jatah beras yang dikirimkan melalui kapal kemanusiaan, entah dengan lauk apa. Sementara kita menikmati siraman lampu terang benderang di pusat perbelanjaan berskala internasional, pelajar mereka bersusah payah menyelesaikan tugas sekolah dan menghapal Quran dengan listrik yang menyala 3-4 jam saja sehari. Dan tiap tahun ribuan penghapal Quran tetap saja ditahbiskan di Negeri Para Nabi.
Kita memang perlu merenungkan kembali makna Ramadan di tahun ini. Sambil mereka-reka jawaban apa yang bisa kita berikan kelak ketika Allah Azza wa Jalla bertanya, “Usaha apa yang telah kita lakukan untuk membebaskan Palestina dan Masjid Al Aqsa?”
Boleh jadi kita telah lupa firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad:7). Barangkali goyahnya pijakan kaki kita selama ini adalah sebab kealpaan kita yang menganggap pembebasan tanah Isra’ dan Mi’raj semata-mata berhukum fardhu kifayah.
Pawai-pawai menjelang Ramadan ini menyisipkan rasa rindu yang begitu sendu, seperti penggalan puisi Taufik Ismail:
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu.
Tapi adzan Masjidil Aqsha yang merdu, serasa terdengar di telingaku.
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu?