Sosok Nikki Haley Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB akhir-akhir ini sedang ‘naik daun’ karena kegigihannya menjadi corong Israel, penyambung lidah kepentingan israel dan tokoh utama pendukung kepentingan negara tersebut di PBB.
Saat 128 dari 193 negara menentang kebijakan keputusan Trump memindahkan kedutaan besarnya ke Yerussalem di Majelis Umum PBB. Dengan pongahnya Nikki menganggapnya sebagai penghinaan dan mengancam negara yang tidak mendukung masuk ke dalam catatan hitam mereka. Disusul cuitan dalam twitternya, “…Kami tidak mengharapkan mereka yang kami bantu justru menyerang kami dan mengkritisi pilihan kami.”
Politikus perempuan mantan Gubernur California Selatan (2011-2017) ini nyatanya memang cukup ‘tegar’ membela negara dan kepentingan sekutunya. Dalam sebuah video yang merekam protes mahasiswa Universitas Houston, saat kunjungannya ke perguruan tinggi di wilayah Texas tersebut, Nikki dipermalukan oleh sekolompok mahasiswa bangsanya sendiri. Tak tanggung-tanggung mereka mencap Nikki terlibat genosida dan tangannya berlumur darah. Nikki baru saja mengawali pidatonya dengan ungkapan kepenatan akibat persoalan yang sedang dihadapi Amerika di dunia internasional dalam pekan tersebut seolah berharap mendapat simpati namun justru tercekat dengan teriakan para mahasiswa tersebut. Wajah Nikki sempat memerah dan tersenyum kecut namun nampaknya protes mahasiswa Houston hanyalah angin lalu bagi Nikki.
Terakhir Nikki memveto keputusan Dewan Keamanan PBB menyusun rancangan resolusi (usulan) Kuwait untuk memberikan perlindungan Internasional dan kesejahteraan bagi warga sipil Palestina. Padahal Resolusi usulan Kuwait tersebut didukung 10 suara dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB, hanya Amerika yang menentang, sementara 4 negara abstain termasuk Inggris.
Nikki kemudian mengusulkan draft resolusi tandingan dengan pihak Palestina (Hamas) sebagai tertuduh. Draft dibawa pada hari Jumat lalu namun hanya Amerka yang setuju, 3 suara negatif dan 10 suara abstain.
Atas tewasnya lebih dari 122 orang tanpa pandang bulu oleh sniper-sniper Israel dan terlukanya puluhan ribu orang tanpa satupun orang Israel yang terluka dalam Great March of Return, Amerika justru memandang Israel sebagai pihak yang membela dan mempertahankan diri karena itu berhak menembaki dan membom dengan membabai buta bangsa Palestina. Dan atas nyawa perempuan-perempuan dan anak-anak tak berdosa yang melayang serta derita berkepanjangan blokade Gaza yang amat mencabik-cabik rasa kemanusiaan siapapun yang jiwanya masih sehat, Nikki seolah buta dan tuli. Ia hanya mampu mendengar apa yang diderita Israel.
Di balik sosoknya yang lembut perempuan seringkali mampu lebih tegar dari laki-laki. Lain Nikki lain Razzan Najar. Sosok petugas medis dalam Great March of Return sama sekali tak kelihatan keras yang sangat Nampak dari perawakannya yang kurus. Dijuluki “malaikat kasih” ia terus menerobos kerumunan massa aksi untuk memberikan pertolongan pada siapapun yang terluka.
Sejak awal aksi 30 Maret 2018 Razzan (21 tahun) berkeras untuk tetap bertahan dan melakukan tugas kemanusiaannya meski beberapa kali terkena gas airmata yang membahayakan kesehatannya. “Saya akan tetap di sini hingga akhir,” menggambarkan kepedulian yang sangat tinggi atas musibah kemanusiaan yang ada di hadapannya.
“Di sini memang berat tapi saya merasakan ada kekuatan dan perasaan yang tak dapat diungkapkan,” Razzan mencoba menerangkan alasannya bertahan saat diwawancara. Menjelaskan betapa ia dengan sepenuh hati memenuhi panggilan jiwanya menolong umat manusia yang terluka dan membutuhkan pertolongan medis. Namun kerinduan langit atas dirinya kiranya telah menahannya di tanah tempat nafas terakhirnya dihembuskan. Sniper Israel jelas bukan salah sasar mengingat Razzan dan beberapa rekannya telah memberi sinyal bahwa mereka adalah petugas medis. Bagian tubuh yang ditembak sniper laknat itupun bukan main-main, dada. Jelas adalah tembakan mematikan.
Entah dengan cara apalagi menjelaskan, israel memang buta hingga tak mampu membaca apapun yang berarti kebenaran. Di dunia ini semua orang tahu ada Konvensi Jenewa 1949 yang melindungi petugas medis. Dan… Razzan tahu bahwa Israel memang brutal namun jiwa sucinya masih menyimpan sangka baik bahwa mungkin tersisa jiwa manusia dalam diri sniper-sniper Israel itu yang bisa membedakan mana peserta aksi mana petugas medis. Namun apa hendak dikata dunia menjadi saksi kebrutalan israel. Seperti halnya keluarga, kerabat dan rekan kerja Razzan bersaksi lewat tangis histeria tak tertahankan akan beratnya kehilangan sosok “malaikat kasih” yang memberi banyak pelajaran berharga bagi kemanusiaan.
Lain Nikki lain Razzan, siapa berdiri di mana menunjukkan siapa kita sesungguhnya. Atas nama cinta kasih atau kebengisankah pihak yang kita pilih.
Bravo Razzan, jiwa suci akan tetap suci, “wahai jiwa-jiwa yang tenang kembalilah kepada Rabbmu dalam keadan ridha dan diridhai.” Seperti halnya jiwa-jiwa yang akan direnggut paksa nyawanya oleh malaikat-malaikat ‘naazi’aat (pencabut nyawa dengan bengis).
Semua hanya soal waktu Nikki.