Ia terbaring sambil sesekali menggerakkan badannya ke kiri dan kanan. Tubuhnya kurus kering karena setengah dari berat badannya hilang setelah ia memutuskan untuk melakukan mogok makan sejak Mei 2022 sebagai perlawanan atas penahanan administrasinya. Akhir Agustus menjadi penanda bahwa 180 hari telah ia lewati tanpa makan. Hari itu, perlawanannya membuahkan kemenangan. Israel berjanji akan membebaskannya pada awal Oktober mendatang.
Senyuman kembali tergurat. “Ini adalah kemenangan gemilang, dan ini merupakan kelanjutan dari kemenangan besar yang telah diraih oleh orang-orang hebat dan terhormat dari bangsa ini. Saya sangat berterima kasih kepada orang-orang yang mendukung saya, berdiri bersama saya, menguatkan saya, dan mendoakan saya, terima kasih,” ujarnya. Wajahnya berseri, seolah seluruh penderitaannya sirna.
Khalil Awawdeh dan senyum kemenangan. Kebahagiaannya berlipat ketika ia kembali dapat memeluk putrinya.
Ia adalah Khalil Awawdeh, ayah dari empat anak perempuan. Lelaki berusia 40 tahun ini ditawan di bawah penahanan administratif, tanpa tuduhan atau pengadilan. Israel menangkapnya pada tengah malam, tanggal 27 Desember 2021 dari desanya di Ithna, bagian selatan Kota Hebron (Al-Khalil), Tepi Barat. Namun, penahanan tersebut bukan untuk yang pertama kalinya. Sepanjang usianya, ia telah menjalani hidup di penjara Israel setidaknya selama 12 tahun, termasuk lima tahun dalam penahanan administratif.
Pembebasan Awawdeh ini juga merupakan proses panjang dari kegigihan penduduk Palestina yang menuntut pembebasannya, baik melalui aksi di jalan, tulisan-tulisan di media sosial, maupun kesepakatan di belakang kamera. Awawdeh kehilangan separuh dari berat badannya, menyisakan 37 kilogram kulit dan tulang. Meski demikian, ia yakin kemenangan akan datang, maka ia memilih untuk tetap bertahan dengan perlawanannya. “Mogok makan yang saya lakukan ibarat luka berdarah yang berkepanjangan dan telah berlangsung hampir setengah tahun. Namun, kemerdekaan lebih berharga dari apa pun dan kehormatan di atas segalanya. Kita adalah bangsa yang tidak akan terkalahkan. Tuhan menghendaki kita untuk mendapatkan kemenangan atau kita akan mati (di jalan perjuangan).”
Terjal dan berlikunya jalan menuju kebebasan bukan hanya dilalui oleh Awawdeh seorang, melainkan oleh seluruh bangsa Palestina. Penjajah Israel telah menghapus kata “mudah” dari kamus kehidupan bangsa Palestina.
Maka, menjadi Palestina tidak pernah mudah, sebab tidak ada seorang pun yang pernah tahu apa yang akan menimpanya esok hari. Apakah ia masih bisa melihat birunya langit atau cahaya matahari yang memantul di kubah Masjid As-Sakhra, karena roket-roket Israel bisa datang kapan saja, dan membumihanguskan apa dan siapa saja. Apakah ia akan berada di balik jeruji, sebab tidak peduli siapa pun; orang dewasa, anak-anak, perempuan, atau bahkan lansia, semua bisa dipenjara; kapan pun dan di mana pun. Bagi Israel, mereka semua sama bersalahnya karena status yang melekat pada diri mereka: Palestina.
Menjadi Palestina tidak pernah mudah. Ancaman penahanan bisa datang kapan saja. Seorang anak yang tengah pergi ke toko kelontong, bisa berakhir dalam bui, hanya karena kecurigaan militer Israel. Seorang ibu yang hendak membeli gas untuk memasak, alih-alih melanjutkan pekerjaannya di dapur, ia pun dapat ditangkap dengan dalih membahayakan Israel karena tabung gas yang dibelinya. Sementara bagi lelaki Palestina, Israel dapat dengan mudah melekatkan status “teroris” tanpa perlu alasan, sehingga probabilitas lelaki Palestina untuk ditawan menjadi lebih tinggi.
Kisah Awawdeh adalah gambaran tentang persoalan penangkapan dan penahanan terhadap penduduk Palestina yang tidak kunjung selesai. Menurut Komisi Urusan Tawanan (PAC), sejak Perjanjian Oslo pada 1993 hingga hari ini, sebanyak 135.000 orang Palestina telah ditawan, di antaranya termasuk 20.000 anak-anak dan 2.500 perempuan. Anggota parlemen, Menteri, akademisi, jurnalis, pegiat HAM, dan anggota organisasi internasional juga tidak lepas menjadi sasaran penahanan Israel. Besaran jumlah penduduk Palestina yang ditawan pun semakin besar dari tahun ke tahun. Sejak Januari hingga Agustus 2022 saja, tercatat 4.650 warga Palestina berada di penjara-penjara Israel, termasuk 180 anak.
Sementara itu, menurut Klub Tawanan Palestina (PPC), selama tahun 2022 Israel telah mengeluarkan 1.365 perintah Penahanan Administratif (Administration Detention). Jumlah ini termasuk surat perintah baru, dan sisanya adalah pembaruan dari perintah yang sudah ada.
Penahanan Administratif merupakan aturan yang memungkinkan militer Israel untuk menangkap penduduk Palestina tanpa tuduhan atau persidangan, hanya berdasarkan “bukti rahasia” yang bahkan tidak dapat dilihat, baik oleh tawanan maupun pengacaranya. Melalui aturan ini, Israel dapat memenjarakan penduduk Palestina dengan sewenang-wenang dan dapat memperluas target penahanan penduduk Palestina, tanpa terkecuali.
Awawdeh, Penahanan Administratif, dan Mogok Makan
Ada banyak hal yang membuat strategi penahanan administratif dikategorikan sebagai kejahatan. Infografik ini menyajikan gambaran bagaimana seorang tawanan di bawah penahanan administratif tidak pernah mengetahui sebab penahanannya. Ia tidak dapat menggunakan jasa pengacara dalam 90 hari masa awal penahanan.
Dari segi waktu, penahanan administratif ini sangat problematik, sebab dapat diperpanjang terus-menerus, setiap enam bulan sekali. Tidak pastinya masa penahanan ini, diperparah dengan larangan untuk mendapat hak kunjungan keluarga. Para tawanan yang menderita dan sakit di dalam penjara pun mengalami pengabaian medis. Petugas Kesehatan hanya dapat mengunjungi sesekali tanpa memberitahu informasi yang dibutuhkan terkait Kesehatan tawanan.
Bahkan jika ia perempuan, hamil, dan akan melahirkan, ia akan dipaksa untuk melahirkan di dalam penjara dengan perawatan seadanya.
Buruk dan jahatnya sistem penahanan ini melahirkan perlawanan dari dalam penjara, yaitu hunger strike atau mogok makan. Aksi mogok makan telah digunakan sebagai bentuk protes damai oleh para tahanan politik Palestina sejak 1960-an, untuk menentang kondisi dan kebijakan tidak manusiawi yang diberlakukan kepada mereka di dalam penjara Israel.
Praktik tersebut menjadi lebih umum digunakan untuk memprotes penahanan administratif pada 1990-an, menurut Addameer, dan pada 2012, mogok makan massal oleh lebih dari 200 tahanan berhasil membatasi penggunaan strategi tersebut oleh Israel, meskipun hanya sementara. Aksi mogok makan massal lainnya sebagai protes atas penahanan administratif diluncurkan pada 2014 dan memberikan hasil yang serupa. Mogok makan dianggap sebagai salah satu jalan keluar bagi tahanan administratif, sebab mereka ditawan tanpa jangka waktu yang jelas. Khalil Awawdeh adalah satu dari banyaknya cerita tentang tawanan Palestina yang akhirnya bisa merasakan kebebasan setelah melakukan mogok makan.
Awawdeh memang telah dijanjikan bebas pada 2 Oktober mendatang. Namun, bukan berarti masalah telah selesai. Hal ini sebab ketika satu tawanan keluar, terbit pula surat perintah penahanan terhadap penduduk Palestina lainnya. Selama Israel masih melakukan penjajahan, selama itu pula penduduk Palestina akan menjadi sasaran penahanan.
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Resource Development and Mobilization Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
***
Tetaplah bersama Adara Relief International untuk anak dan perempuan Palestina.
Kunjungi situs resmi Adara Relief International untuk berita terbaru Palestina, artikel terkini, berita penyaluran, kegiatan Adara, dan pilihan program donasi.
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini seputar program bantuan untuk Palestina.
Donasi dengan mudah dan aman menggunakan QRIS. Scan QR Code di bawah ini dengan menggunakan aplikasi Gojek, OVO, Dana, Shopee, LinkAja atau QRIS.
Klik disini untuk cari tahu lebih lanjut tentang program donasi untuk anak-anak dan perempuan Palestina.