Ada tiga keutamaan Masjid al-Aqsha yang harus selalu diingat oleh Umat Islam, sebagai kiblat pertama, tempat Isra Nabi Muhammad SAW dan tempat seluruh Nabi dan Rasul sholat berjamaah diimami Nabi Muhammad SAW pada shubuh hari selepas mi’raj.
Tak terhitung jumlah Nabi dan Rasul yang memenuhi setiap jengkal tanah Masjid al-Aqsha yang diberkahi, mengukuhkannya sebagai satu-satunya tempat di muka bumi ini tempat berkumpulmya seluruh Nabi dan Rasul yang menjadi saksi sebuah peristiwa sakral serah terima pembawa lentera hidayah dari para Nabi dan umat sebelumnya Bani Israil kepada Nabi Penutup Muhammad SAW dan umatnya. Hal yang luput disadari pada setiap kali peristiwa Isra dan Mi’raj diperingati oleh Umat Islam.
Sejak awal Allah SWT memilih Adam AS sebagai khalifah di muka bumi sekaligus sebagai Nabi pertama bagi umat manusia, lalu memilih Nabi Nuh AS sebagai awal keberadaan umat manusia yang terselamatkan dalam petunjukNya dan kemudian memilih Ibrahim sebagai bapak para Nabi dan juga Keluarga Imran di atas umat lainnya, demikian QS Ali Imran : 33
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat.
Sebagaimana kemudian Allah memilih Israil (nama lain dari Nabiyullah Ya’qub AS, putra Nabi Ishaq AS, putra Nabi Ibrahim AS dengan Sayyidah Sarah) dan keturunannya sebagai umat yang diberi kemuliaan pembawa lentera hidayah di tengah umat lainnya. Sebagaimana ditegaskan oleh beberapa ayat di dalam Al-Quran :
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat. (QS Al-Baqarah (2) : 47)
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain”. (QS. Al-Maidah (5) : 20)
Tercatat sekian banyak Nabi dan Rasul yang diutus dari kalangan mereka, meski tak seluruhnya disebutkan nama dan kisahnya di dalam Al-Quran.
وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ ۚ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (QS An-Nisa’ (4) : 164)
Namun para Nabi dan Rasul tersebut menjadi saksi sebuah umat yang tak kenal rasa bersyukur apatah lagi bersikap taat. Berapa banyak para Nabi dan Rasul dicela, disakiti, dikhianati dan bahkan dibunuh. Inilah kemudian yang menjadi alasan mengapa Al-Quran menyebutkan kisah Bani Israil hingga 43 kali. Sebagai pelajaran bagi umat penggantinya kelak.
Sungguh Kisah perjuangan dakwah Nabi Musa AS yang disebutkan hingga 136 kali dalam Al-Quran menjadi potret umat yang tak lagi pantas mendapatkan keutamaan. Mukjizat besar Nabi Musa yang nyata-nyata mereka saksikan langsung dengan mata kepala sendiri tak mampu meluluhkan hati yang telah mengeras. Bagaimana bisa laut yang terbelah menakjubkan hingga menyelamatkan mereka dari kejaran dan kekejaman Firaun dan pasukannya seketika mereka lupakan seolah peristiwa biasa tak ada arti.
Demikian pula sikap dan pembangkangan yang sama mereka tunjukkan atas mukjizat-mukjizat lainnya juga pada Nabi dan Rasul selanjutnya. Sebut saja pada Nabiyullah Thalut, pandangan kemuliaan harus diukur dari garis keturunan, keberlimpahan harta dan jabatan membutakan mata hati mereka untuk tunduk patuh pada Thalut yang telah dipilih Allah.
Bani Israil tak lagi mampu dikendalikan manusia biasa. Dibutuhkan sekelas para Nabi untuk menjadi hakim dalam urusan mereka. Meski akhirnya ketetapan para Nabi itupun tak kan mereka gubris. Dituntut kesabaran tiada batas dan kesiapan para Nabi berhadapan dengan resiko terpahit dalam dakwah, pertaruhan nyawa. Resiko dibunuh dengan cara yang keji oleh umat yang mereka ingin selamatkan.
Hingga di akhir masa saat Allah menurunkan Isa AS sebagai Rasul, dibersamai Nabi yang sezaman dengannya yaitu Yahya dan Zakariya. Butuh tiga Nabi dalam satu masa untuk meluruskan Bani Israil. Meski akhirnya tak ada yang selamat dari ketiga Rasul tersebut (kecuali Nabiyullah Isa AS) dari pembunuhan keji yang mereka klaim dengan penuh kebanggaan.
Ketika mereka mengklaim telah membunuh Nabi Isa AS yang diceritakan Al-Quran Surat an-anisa (4) : 157,
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۚ
Dan Kami hukum juga mereka karena ucapan mereka, “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam,” yang mereka ejek dengan menamainya Rasul Allah padahal mereka tidak beriman kepadanya. Mereka mengatakan telah membunuhnya, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya..
Dalam ayat tersebut mereka nyata menyebut Isa AS sebagai Rasulullah (Utusan Allah) namun tetap hendak mereka bunuh.
Betapa memang gelar almaghdhuub alaihim (umat yang dimurkai) pantas disematkan pada mereka yang lidahnya lancar mengalir kalimat kebenaran namun tak sedikitpun mengairi hati mereka yang telah membatu.
Penantian Nabi Akhir Zaman
Satu hal yang mereka nantikan selanjutnya yaitu sebuah berita kelahiran Nabi Akhir Zaman, Nabi Penutup Para Anbiya lengkap dengan detail ciri-ciri fisik dan ciri kenabian lainnya. Berita yang mereka imani dari sebagian ayat-ayat yang termaktub dalam Kitab-Kitab yang diturunkan untuk mereka yaitu Taurat, Zabur dan Injil.
Namun lagi-lagi keimanan yang hadir di hati mereka adalah keimanan bersyarat. Bukan keimanan yang menghadirkan loyalitas total pada Risalah yang dibawa Sang Nabi yang dinanti. 600 tahun kurang lebih jarak antara Nabi Isa AS hingga masa kehadiran Sang Nabi Terakhir tak membuat karakter Bani Israil luluh menerima ketetapan Sang Pencipta Alam Semesta. Seluruh sejarah kelam Bani Israil dengan para Nabinya tak jua dapat dipetik sebagai pelajaran berharga. Keimanan bersyarat itu telah membelenggu mereka.
Sang Nabi Akhir Zaman Yang dinanti itu lahir dari garis keturunan Putra Ibrahim AS dari istrinya Hajar yaitu Ismail AS. Bagai disambar petir mereka tak mampu menerima ketentuan Allah SWT atas pilihanNya memilih Nabi Yang dinanti tersebut bukan dari garis keturunan Israil. Berikut penuturan Sayyidah Shafiyah Ummul Mukminin di masa kecilnya tentang percakapan ayahnya Huyay bin Akhtab dan pamannya Abu Yasir bin Akhtab tokoh Yahudi Madinah, yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq.“Saya adalah anak kesayangan bapak saya dan paman saya, Abu Yasir. Ketika Rasulullah datang di Yatsrib, beliau turun di Quba’ di kediaman Amru bin Auf. Maka Bapak saya, Huyay bin Akhthab, dan paman saya, Abu Yasir pergi di pagi hari, akan tetapi mereka berdua belum pulang meski matahari sudah kembali ke peraduannya. Tidak lama kemudian, mereka datang dalam kondisi lelah, malas, dan lemas. Mereka berdua berjalan dengan gontai. Saya menyambut mereka dengan ceria, seperti biasanya. Tapi, demi Allah, tidak seorang pun diantara mereka berdua yang menoleh ke saya, ditambah lagi mereka berdua tampak sedih. Tiba-tiba saya mendengar paman saya, Abu Yasir, berkata kepada bapak saya, Huyay bin Akhthab, “Apakah itu orangnya?” “Ya, betul,” jawab ayah saya. “Apa kamu mengenalnya?” tanya paman. “Ya,” jawab ayah. “Bagaimana pendapatmu tentang dia,” kata paman. “Saya akan memusuhinya selama saya hidup,” kata ayah.
Kebenaran yang telah nampak dan diakui takluk di hadapan kesombongan dan kedengkian Yahudi. Alih-alih beriman dan mengikuti petunjuk Rasulullah SAW saat beliau tiba di Madinah tempat yang dijanjikan di dalam Al-Kitab yang dengan sengaja mereka datangi demi menyambut kedatangan Nabi terakhir itu, mereka malah mengumumkan permusuhan dan pembangkangan. Salah satu perkara yang menunjukkan pembangkangan tersebut adalah arah kiblat shalat Rasulullah dan kaum muslimin ke Masjid al-Aqsha. Mereka menjadikannya alasan untuk tidak perlu mengikuti ajaran Muhammad karena arah kiblatnya sama. Mereka mengatakan bahwa sikap Muhammad dan para sahabatnya menghadap ke Masjid al-Aqsha merupakan bukti bahwa agama mereka adalah agama yang benar. Bahwa kiblat mereka adalah kiblat yang benar. Merekalah yang seharusnya menjadi panutan.
Inilah yang menyebabkan Baginda SAW menengadahkan wajahnya ke langit berharap Allah SWT membaca kegelisahan yang Ia rasakan. Karena sejak awal beliau SAW sebelum hijrahnya shalat diantara dua rukun (sudut) ka’bah yang menghadapkannya ke Masjid al-Aqsha tanpa membelakangi Ka’bah. Namun setelah hijrah ke Madinah kondisinya berbeda, beliau shalat menghadap ke masjid al-Aqsha saja dan tidak mungkin menggabung dua kiblat ini. Posisi ka’bah dari arah Madinah berada di sebelah selatan sedangkan posisi baitu al-Maqdis berada di utara. Kegelisahan inilah yang kemudian dijawab oleh Allah SWT berupa ayat yang memansukh arah kiblat ke Masjid al-Aqsha.
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (QS. Al-Baqarah (2) : 144)
Bukan karena tak suka arah kiblat menghadap Masjid al-Aqsha tapi karena Yahudi telah menjadikannya alasan pembangkangan dan menolak untuk beriman.