Catatan pertemuan Pengurus Adara Relief Internasional dengan Direktur Pelaksana Human Association For Relief and Development (HARD), Abu Umar Ahmad Yasin. HARD adalah sebuah lembaga kemanusiaan untuk pengungsi Palestina di Lebanon.
Pendudukan Israel atas salah satu tanah suci Umat Islam, serta catatan hitam kejahatan kemanusiaan dan kebiadaban yang dilakukan sejak 1948, memaksa bangsa Palestina hidup dalam kenyataan pahit bertahan di negeri sendiri atau mengungsi ke negeri orang.
Sebaran para pengungsi Palestina ke beberap wilayah sekitar seperti Lebanon, Suriah, Yordan, Turki dan lain-lain mencatatkan kisah pilu para pengungsi. “Suatu saat jika berkesempatan datanglah ke tempat pengungsian kami. Mungkin itu akan jauh lebih menggambarkan pedih yang tak mungkin bisa diwakilkan lewat cerita saya kini,” tutur Abu Umar, salah seorang pèngungsi Palestina di Lebanon yang sejak 15 tahun terakhir aktif memimpin beberapa lembaga kemanusiaan untuk pengungsi Palestina.
Terdapat 12 titik kamp pengungsi Palestina di Lebanon, dengan luas tidak lebih dari 2 km2 pertitik yang dihuni oleh total 400.000-an pengungsi. Angka tersebut berdasarkan data dari UNRWA sejak kurun waktu kurang lebih 70 tahun.
Terbatasnya luas kamp pengungsi dengan jumlah yang terus bertambah menyisakan berbagai persoalan sosial, menyebabkan meningkatnya kriminalitas dan rusaknya akhlak. Lebih dari itu pemerintah Lebanon yang tidak berpihak pada mereka melengkapi kepedihan yang harus diterima dengan lapang dada dan iman yang tak boleh surut.
Jumlah pengungsi wanita yang mencapai 48% dari total pengungsi, memiliki peran tersendiri bagi bertahannya anak-anak dan keluarga dalam sempitnya kehidupan. Meski demikian, para janda dan anak-anak yatim diantara mereka menjadi persoalan yang cukup berat bagi para pengungsi karena minimnya bantuan internasional terutama UNRWA dan lembaga-lembaga dunia maupun dari negara-negara muslim lainnya.
Ada 72 profesi yang tidak boleh mereka jalani, seperti dokter, guru dan seluruh profesi prestise yang dicitakan oleh para pelajar untuk mendapatkan kemuliaan hidup. Bertani atau sebagai pekerja bangunan mungkin itu pilihan untuk mencari penghidupan walau untuk itupun mereka harus berjuang mendapatkan izin bekerja dengan segudang persyaratan yang memberatkan. Sebuah ironi tentang hak asasi manusia di era milenium yang sulit diterima akal sehat dan hati yang bersih.
Tak ada hak kepemilikan tanah. Jikapun ada yang mampu membelinya maka tanah tersebut harus atas nama warga Lebanon dan tidak dapat diwariskan, karena setelah pemilik wafat maka kepemilikan akan diambil alih negara.
Tak ada penambahan luas kamp pengungsi meski penghuninya jelas bertambah. Kesempatan memperluas bangunan tempat tinggal hanya dapat dilakukan ke atas, lagi-lagi dengan izin yang tidak akan dengan mudah di dapat. Harus dengan biaya yang tinggi, sogokan atau pilihan dilematis dengan menjadi mata-mata.
Atas dasar apakah semua ini terjadi? Alasan demi keamanan hanyalah dalih mereka mengeruk keuntungan di atas penderitaan saudara-saudara Palestina kita. Tidak cukup penderitaan yang mereka dapat, dalam suasana terhimpit mereka seringkali pula menjadi komoditas kepentingan politik penguasa.
Maka dengan jiwa besarnya bangsa Palestina di Gaza mengatakan, “Apa yang dialami kalian di Lebanon sebenarnya jauh lebih menyedihkan dibanding sulitnya kehidupan dalam tekanan blokade di Gaza, karena kami masih tinggal di tanah air sendiri, sementara kalian hidup di negeri orang.”
Lebanon mungkin menjadi Yatsrib bagi Muhajirin Palestina, namun tak ada saudara-saudara Anshor mereka temui di sana. Meski bukan Indonesia tempat hijrah mereka namun cinta bangsa Indonesia lewat lembaga-lembaga kemanusiaan untuk Palestina -termasuk Adara Relief Internasional- menjadi alasan mereka menganggap kita adalah saudara Anshor mereka.
Ya Rabb.. Jika itu yang mereka persangkakan pada kami izinkan kami memiliki jiwa para Anshor yang Kau abadikan dalam firmanMu, “…mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
(QS Al-Hasyr 9)
Sungguh pelajaran dari para Muhajirin Palestina dalam 3 (tiga) harapan dan cita-cita yang tak pernah pudar dalam diri mereka, yaitu kembali ke Palestina, tetap menjaga kemuliaan hidup, dan kembali ke tanah air dalam keadaan mulia, meski mereka tak dilahirkan di sana. Harapan tersebut menjadi doa sekaligus penambah semangat bagi kita saudara Anshor mereka agar tak henti menggalang bantuan, mengumpulkan receh demi receh keberkahan demi terbebasnya Tanah Suci Palestina dan Al-Aqsho dari cengkeraman zionis laknatullah. (*)
Kamis, 6 April 2017
Banna Sari Usman
(Ketua Bidang Kajian Adara Relief International)