Belakangan, banyak yang membahas dan bertanya-tanya tentang konsep kebahagiaan. Bagi seorang Muslim, bahagia bukan dengan menjadi si paling kaya lalu mampu membeli barang branded. Atau memiliki pekerjaan dengan gaji dua digit lalu menghabiskan uangnya untuk membeli pengalaman. Pengalaman yang jika dilihat ternyata sangat jauh dari syariat bahkan sampai melanggarnya.
Lalu standar kebahagiaan pun berputar hanya pada kesenangan dunia, menikahi wanita cantik, memiliki kekuasaan, dan kepopuleran semata. Tapi sebenarnya apa definisi bahagia? Ada ratusan ribu jurnal yang meneliti kebahagiaan namun kenapa masih banyak yang bertanya-tanya. Maka Islam, sebagai way of life telah mengajarkan konsep kebahagian itu sendiri.
Konsep kebahagiaan
Makna bahagia telah banyak diperbincangkan oleh para Ulama dan pemikir. Semua itu jelas bersandar pada al-Qur’an yang juga membahas bahagia dengan lafadz beragam seperti سعادة (sa’adah), سرور (surur), بشرى (busyra), dan فرح (farh) dan masih banyak lagi.
Namun sayangnya, manusia sekarang bersandar pada kata bahagia yang salah dengan menggunakan tolak ukur barat. Jika dilansir dalam kamus The Oxford English Dictionary (1963), kata “happiness” bermakna: ”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.” Singkatnya, kebahagiaan adalah sesuatu yang terdapat dari luar manusia dan bersifat kondisional. Kalau sesuatu dari luar jatuh maka hilanglah kebahagiaan dan jika berjaya maka disitulah ada kebahagiaan.
Pada akhirnya kebahagiaan bisa diikur dengan materi lalu berujung pada pemikiran Barat seperti hedonisme, yang mengusung kesenangan dengan nikmat tak terbatas. Bahkan Prof Naquib al-Attas menggambarkan kondisi jiwa masyarakat Barat sebagai. “Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.”
Tak jarang konsep kebahagian seperti itu akan berujung pada hal-hal di luar syariat. Sekarang coba kita lihat makna kebahagiaan menurut para Ulama Islam.
Jika bisa disederhanakan, definisi dari Prof. Naquib al-Attas tentang kebahagiaan (sa’adah/happiness) bisa menjadi rujukan yang to the point: “Kesejahteraan” dan “kebahagiaan” itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).
Sejalan dengan perkataan al-Attas, Imam Al-Ghazali membagi kebahagiaan manusia menjadi dua tingkatan yaitu, lazaat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan). Lazaat (kepuasan) lebih pada aspek indrawi dan sesaat (material) sedangkan sa’adah bertumpu pada aspek batini (rasa dan langgeng). Sang Hujjatul Islam ini melihat bahwa kebahagiaan tertinggi yang harus didapatkan oleh manusia ada pada peningkatan pengetahuan terhadap Tuhan. Sebelum sampai pada titik itu, knowing yourself atau mengetahui diri sendiri harus dipelajari. Karenanya, aspek-aspek untuk mencapai kebahagiaan dalam buku karya Imam Ghazali yang berjudul Kimiya’ al-Sa’adah ini tersusun menjadi: (1) Mengenal diri, (2) Mengenal Allah, (3)Mengenal Hakikat Dunia, dan (4) Mengenal Hakikat Akhirat.
Mengenal diri (Knowing yourself)
Langkah pertama untuk mengenal diri, Imam al-Ghazali mengajak kita untuk melakukan monolog pada diri sendiri seperti bertanya:[1]
- Siapa aku dan dari mana aku datang
- Kemana aku akan pergi?
- Apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini?
- Di manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?
Ketahuilah, bahwa manusia dicipta bukan tanpa alasan yang jelas mulai dari penciptaan zhahir seperti badan, sampai batin seperi hati atau ruh. Rasulullah ﷺ berkata dalam hadist:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Pada hakikatnya di dalam batin manusia ada 3 sifat yang bersemayam yaitu, hewan, setan dan malaikat. Singkatnya, Sifat binatang/bestial atau صفات البهائم biasanya berbahagia dengan terpenuhinya kebutuhan makan, minum, tidur dan seks. Sifat binatang buas atau صفات السباع akan berbahagia karena bisa memukul dan membunuh. Sifat iblis/demonic atau صفات الشياطين akan berbahagia dengan cara melakukan makar, kriminal dan tipu muslihat. Sifat malaikat atau صفات الملائكة yang berbahagia karena merasakan indahnya kehadiran Allah dalam hidupnya. Hal ini dicapai dengan mengenali asal usul dan hakekat diri. Maka kita harus menemukan mana diantara semua itu yang eksidental dan mana yang esensial.
Imam Ghazali juga memetakan struktur manusia dengan menganalogikan aspek diri sebagai jabatan-jabatan di suatu wilayah. Ia menyebutkan hati manusia layaknya raja, akal manusia layaknya menteri/perdana menteri, syahwat manusia sebagai walikota sedangkan amarah manusia sebagai polisinya. Agaknya memang ia ingin menyederhanakan konsep rumit dari diri manusia.
Mengenal Allah (Makrifatullah)
Setelah mengenal diri serta merenunginya, kita harus mengenal tentang Allah atau makrifatullah . Ada salah satu hadist Rasulullah ﷺ yang artinya “Barang siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Rabbnya.”
Terlepas dari perbedaan ulama berkaitan dengan sumber hadist ini, Imam Ghazali tetap memakainya untuk mengajak kita berpikir. Lagi-lagi bermonolog tentang diri kita yang dahulu tidak ada lalu menjadi ada, yang dahulunya hanya setetes air yang tak mengandung intelektualitas, pendengaran, kepala, tangan, kaki, dan seterusnya. Jadi jelas, setinggi apapun tingkat kesempurnaannya, ia tidak bisa menciptakan diri sendiri, bahkan tak kuasa untuk menciptakan meski sehelai rambut. (Kimiya’ al-Sa’adah hlm 29)
Bagi Imam al-Ghazali, makrifatullah merupakan satu-satunya subjek pengetahuan tertinggi yang nantinya berhasil mencapai puncak kesenangan. Maka orang yang sampai atheis, tak percaya pada Tuhan, mereka belum mencapai makrifatullah karena jarang tafakur alam. Jarang melihat berbagai ciptaan-Nya, bagaimana kasih sayang Allah dalam mencipta alam serta mencipta kebutuhan yang akan dikonsumsi manusia untuk bertahan hidup.
Mengenal dunia
Pada hakikatnya, manusia dicipta oleh Allah ta’ala memiliki manfaat dan tujuan. Salah satu tujuannya adalah beribadah. Sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Zariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Dari ayat ini kita tahu bahwa ternyata bukan hanya manusia, jin pula ikut beribadah dan tunduk pada perintah dan larangan Allah ta’ala. Dalam firman lain surat at-Taubah ayat 31 Allah ta’ala berkata:
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
Artinya: Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.
Imam al-Ghazali menyebut bahwa dunia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang singgahi para musafir dalam perjalanan mereka ke tempat lain. Maka di sinilah mereka membekali diri. Paradigma hidup di dunia pun dengan dua, yaitu melindungi dan memelihara jiwanya, serta merawat dan mengembangkan jasadnya. Jiwa akan terpelihara dengan pengetahuan dan cinta pada Allah ta’ala lalu akan hancur jika terserap kecintaan pada sesuatu selain Allah ta’ala. (Kimiya’ al-Sa’adah hlm 49)
Dua hal ini menjadi landasan seorang Muslim dalam menjalani hidup di dunia dengan konsep kebahagian cinta pada Allah ta’ala. Karena jika ada rasa cinta pada yang lain, konsep bahagianya pun akan melenceng.
Tidak hanya itu, di dunia tentu kita akan dikaruniai harta, serta keturunan. Hal ini menjadi pelengkap serta tipuan yang fana dan tidak kekal. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 46:
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا
Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī, kata zīnah/perhiasan berarti bukan merupakan kebutuhan pokok, ia hanya sekedar pelengkap. Kebutuhan pokok dalam kehidupan adalah apa saja yang menjadikan dunia ini sebagai ladang untuk akhirat, dan sebagai perantara untuk kehidupan yang kekal, abadi, penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Di mana nikmat tersebut tidak akan pernah habis, itulah nikmat surga. (Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 14, h. 8965)
Kehidupan dunia pun harus dipahami hanya sebatas senda gurau dan permainan. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-An’am ayat 32:
وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ
Artinya: Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau.
Kehidupan dunia sesungguhnya tidak lain hanyalah permainan dan hiburan, seperti anak-anak bermain-main mereka memperoleh kesenangan dan kepuasan sewaktu dalam permainan itu. Semakin pandai mempergunakan waktu bermain semakin banyak kesenangan dan kepuasan yang mereka peroleh. Sehabis bermain itu, mereka tidak memperoleh apaapa. (Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan alQur’an Kementrian Agama, 2010), j. 3, h. 98.)
Mengenal akhirat
Manusia dicipta juga tentu akan ada hukum yang melandasinya. Semakin manusia berkembang, ada nafsu yang harus dikendalikan dengan hukum-hukum yang telah diajarkan para nabi sesuai zaman. Jika melanggar maka akan mendapat adzab. Sebagai orang Islam, kita tentu sudah tak asing lagi dengan konsep nikmat surga dan neraka.
Allah ta’ala berfirman pada surat al-Isra’ ayat 71:
وَمَنْ كَانَ فِيْ هٰذِهٖٓ اَعْمٰى فَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ اَعْمٰى وَاَضَلُّ سَبِيْلًا
Artinya: Dan barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).
Maka akan melenceng dari hakikan akhirat ketika kita hanya mencapai kebahagiaan berdasar nafsu belaka. Mereka tidak paham bahwa setiap pendosa akan disiksa di akhirat dengan alat penyiksaan yang mereka bawa sendiri dari dunia. Benar kata al-Qur’an,”Sesungguhnya kalian akan melihat neraka. Kalian akan melihatnya dengan mata keyakinan (‘ayn al-yaqin), dan “nereka mengitari orang kafir.” al-Qur’an tidak mengatakan “neraka akan mengitari mereka”, karena bahkan di dunia pun neraka sudah mengitari mereka. (Kimiya’ as-Sa’adah hlm 70)
Memang di kondisi ada yang mencintai Allah ta’ala ada pula yang cinta dunia. Banyak orang yang mengaku mencintai Allah, tetapi kecintaannya sama sekali tak teruji. Untuk menguji rasa cinta, perhatikanlah kemana kau akan condong ketika perintah-perintah Allah datang bertolak belakang dengan hasrat keduniawianmu? Orang yang mengaku cinta Allah namun tetap membangkang kepada-Nya, berarti pengakuannya itu hanya sebuah kebohongan. (Kimiya’ as-Sa’adah 71)
Semoga kita termasuk dari bagian manusia yang mencari kebahagian dengan konsep yang sesuai syariat. Menjadi manusia yang terus mengacu pada Allah ta’ala, menyelaraskan hidupnya pada perintah dan menjauhi larangan Allah, serta berpacu untuk berbuat kabaikan dengan standarnya Allah ta’ala bukan standar dunia yang saat ini cenderung berpaling pada agama. InshaAllah.
- Imam al-Ghazali, Kimiya’ al-Sa’adah, Kimia Tuhani untuk Kebahagiaan Abadi, Jakarta: Zaman, hlm. 19 ↑
Cut Syafira Aldina
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini