Drs. H. Mohammad Hatta adalah seorang negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama. Bersama dengan Soekarno, Hatta memiliki peran sentral dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, serta dalam penyelenggaraan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Hatta yang memiliki nama asli Muhammad Athar tersebut lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Mempunyai latar belakang keluarga ulama dari Minangkabau, Hatta dikenal sebagai pribadi yang religius dan sederhana. Dalam Mohammad Hatta: Memoir (Tintamas, 1982), dikisahkan bahwa didikan kedua orang tua menempanya untuk terus peka dengan kondisi sekitar. Ia meyakini bahwa perbuatan yang dilandasi keikhlasan dan karena Tuhan, dapat memperbaiki segala hal.
Oleh karena ciri khas pribadinya itu, Bung Karno selalu melibatkan beliau dalam berbagai kebijakan luar negeri, terutama mengenai jalinan persahabatan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah. Dalam urusan ini, terlebih soal respons terhadap pendirian negara Israel pada 1948, Dwitunggal tersebut sepakat bahwa klaim kemerdekaan Israel dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak adil.

Tiga tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Israel berulah dengan mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara di wilayah Palestina. Dengan harapan Indonesia mengakui eksistensi Israel, Ya’acov Shimoni selaku Kepala Departemen Asia di Kementerian Luar Negeri Israel, mengajukan permohonan untuk membuka Kedutaan Besar Israel di Indonesia kepada para pemimpin Israel.
Menanggapi hal ini, Presiden Israel kala itu, Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion mengirimkan pesan telegram kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 9 Januari 1950. Pesan tersebut berisi ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia. Dalam merespon pihak Israel, Hatta hanya mengucapkan ‘terima kasih’ tanpa embel-embel pengakuan kedaulatan untuk Israel.
Merasa gagal pada misi pertama dalam merayu Indonesia agar mengakui kedaulatan Israel, pada Mei 1950, PM Israel Moshe Sharet kembali melobi Indonesia dengan menulis surat kepada Hatta yang berisi rencana pengiriman misi persahabatan ke Indonesia. Lagi-lagi, Hatta hanya menyerukan untuk menunda misi tersebut dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
Berlanjut hingga tahun 1952 dalam jurnal “Indonesia And Israel: A Relationship In Waiting” (Jewish Political Studies Review, 2015), dijelaskan bahwa tanda-tanda awal ketegangan dalam hubungan antara Indonesia dan Israel mulai muncul. Pada Juni 1952, pers Arab dan Pakistan mengutip sebuah laporan dari kantor berita Antara yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan mengakui Israel karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Selain itu, Indonesia juga mempertimbangkan dukungan yang diberikan oleh negara-negara Arab selama perjuangan kemerdekaannya, yang secara konsisten menentang Israel.
Setelah peristiwa tersebut, hubungan antara Indonesia dan Israel semakin memburuk. Pada November 1953, Indonesia mengambil langkah drastis dengan menghentikan pemberian visa masuk bagi warga negara Israel. Awalnya, kebijakan ini hanya berlaku bagi mereka yang memiliki paspor diplomatik, tetapi kemudian diperluas untuk mencakup seluruh warga negara Israel.
Sikap yang tegas dari Hatta semakin terlihat selama Asian Games 1962 di Jakarta. Meskipun tidak sepenuhnya setuju dengan penyelenggaraan acara olahraga tersebut karena biayanya yang besar, Hatta menegaskan bahwa salah satu alasan utama ketidaksetujuannya adalah keinginan Israel untuk berpartisipasi.
Bagi Hatta, kehadiran Israel dalam acara tersebut dianggap sebagai bentuk pengakuan terhadap kedaulatan negara penjajah. Dia mengungkapkan ketidaksetujuannya dalam surat yang ditujukan kepada Perdana Menteri Djuanda pada tanggal 24 Juni 1958, sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer dalam bukunya yang berjudul Mohammad Hatta: Biografi Politik (LP3ES, 1990). Hatta juga menyoroti masalah terkait lagu kebangsaan mereka, yang menurutnya memiliki konsekuensi yang berat.
Dalam karyanya yang berjudul Kumpulan Karangan Jilid II (Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, 1953), Hatta menyatakan bahwa Inggris menerapkan politik “divide et impera” (bagi dan kuasai). Di dalamnya, komunitas Yahudi menjadi alat dalam pelaksanaan politik tersebut. Dia juga mengingatkan tentang peristiwa tragis pada 1929 ketika terjadi pertumpahan darah antara Arab dan Yahudi. Saat itu, orang-orang Arab merasa ditipu oleh Inggris hingga terjadilah peristiwa itu.
Sejatinya, Hatta telah menyadari penderitaan bangsa Palestina yang menjadi korban tipu daya yang dilakukan oleh Inggris dan Zionis. Dia menyoroti bagaimana kebijakan politik Inggris yang memberikan dukungan kepada rencana Zionis, memberi dampak buruk dan penderitaan terhadap rakyat Palestina.

Namun, meskipun mengalami penindasan dari Inggris dan Zionis, Palestina tetap mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini membuat Hatta menjadwalkan pertemuan dengan Mufti Palestina, Syaikh Amin Al Husaini, dan sejumlah tokoh Arab lainnya di Kairo setelah ia memimpin Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949. Tindakan ini menunjukkan kontras sikap Hatta terhadap Israel. Pertemuan tersebut mencerminkan komitmen Hatta terhadap dukungan internasional untuk kemerdekaan Indonesia, dan dalam konteks ini, hubungannya dengan Palestina berbeda dengan sikapnya terhadap Israel.
Hatta menegaskan politik luar negeri Indonesia harus berdiri di jalan yang memperjuangkan kemerdekaan negeri-negeri yang masih terjajah. Hatta dalam bukunya, Dasar Politik Luar Negeri (Tintamas: 1953), menegaskan bahwa politik luar negeri Indonesia adalah antikolonialisme dan bertujuan untuk mewujudkan perdamaian internasional. Dalam hal itu, ia menegaskan tanpa kemerdekaan, maka tidak akan tercapai persaudaraan dan perdamaian internasional.
Yunda Kania Alfiani, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Research Development and Mobilization Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Ilmu Sejarah, FIB UI.
Referensi
Barton, Greg dan Colin Rubenstein. 2015. “Indonesia and Israel: A Relationship Waiting. Jewish Political Studies Review, 17(1). H. 157 – 170. https://www.jstor.org/stable/25834625.
Hatta, Mohammad. 1982. Mohammad Hatta: Memoir. Jakarta: Tintamas Indonesia.
___________. 1952. Kumpulan Karangan Jilid II. Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia.
___________. 1953.Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta: Tintamas Indonesia.
Noor, Deliar. 1990. Mohammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.








