Dalam sebulan terakhir dunia maya dihebohkan dengan kabar dihapusnya nama Palestina dari peta web terbaru milik Google. Berbagai pihak mencoba menganalisa apa penyebabnya. Mulailah muncul beragam reaksi. Kecaman paling keras datang dari para pegiat media sosial. Mereka meyakini ada motif politik dibalik kebijakan perusahaan milik AS ini.
Google merupakan perusahaan multinasional Amerika Serikat yang berkonsentrasi pada jasa dan produk Internet. Bukan rahasia lagi bahwa AS merupakan kolega penjajah Israel. Sehingga mudah sekali mengaitkan tindakan Google yang menghapus peta Palestina ini dengan kepentingan Israel.
Seperti pernyataan dari pakar IT asal Palestina, Abdurrazaq Madhi yang menyebut apa yang dilakukan Google adalah imbas dari tekanan Israel. “Penghapusan ini merupakan tindakan yang membahayakan, dan sekaligus membuktikan bahwa politik Zionis Israel telah menghegemoni dunia global, sampai-sampai sebuah perusahaan raksasa seperti Google pun tidak luput dari pengaruhnya,” papar Madhi seperti yang dikutip dari situs Felsteen Al-Youm Al-Ikhbariyah.
Permasalahannya sekarang adalah Google hanyalah sebuah perusahaan yang bekerja untuk mencari keuntungan. Bersifat pragmatis, tidak lagi
dalam rangka mencari kebenaran, tapi mencari keuntungan sebesar-besarnya. Maka, apakah dengan penggalangan protes melalui media maya dapat membuat perusahaan ini bangkrut dan kemudian menarik peta baru-nya itu? Tentu jawabannya tidak akan semudah itu.
Memang perlu disadari bahwa dunia maya merupakan dunia “kebebasan,” yang lajunya tidak dapat dibendung. Google pun dapat bebas menyebarkan wacananya. Satu-satunya cara efektif untuk menghentikannya adalah menghadirkan perusahaan serupa, yang memiliki rasa keberpihakan kepada kaum yang terzalimi seperti di Palestina. Tapi kalau dirasa hal itu belum bisa diwujudkan, maka memanfaatkan media sosial untuk melayangkan protes bisa menjadi pilihan yang tepat.
Beberapa waktu lalu sempat muncul beberapa hashtag terkait permasalahan ini baik dalam berbahasa Arab maupun Inggris yang kemudian menjadi tranding topic di berbagai negara. Temanya berisikan perlawanan terhadap Google. Diantaranya adalah hashtag #ElQudsIsPalestinesCapital dan lainnya dalam bentuk berbahasa Arab. Aksi ini mendapat perhatian luar biasa dari para pegiat medsos. Mereka memprotes keras, mempertanyakan sikap Google yang berani menghapus nama Palestina yang telah mendapatkan pengakuan dari 137 negara di dunia.
Sebagaian lagi bahkan mengusulkan agar memboikot Google dan membuat hashtag #boycottGoogle sebagai wujud dari bentuk tekanan dari para pegiat medsos. Diantara mereka ada yang menuliskan, “Kendati Palestina dihapus dari peta Google, ia tetap berada di hati kami, keberadaannya tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya ia di dalam peta.”
Kendati mendapat serangan seperti ini toh pihak Google menanggapinya dengan santai. Mereka mengaku dari dulu memang tidak ada pencantuman nama Palestina di web peta Google. Menurut pengakuan mereka, yang terjadi saat ini hanyalah kesalahan teknis, karena dua wilayah yaitu Jalur Gaza dan Tepi Barat terhapus namanya, dan itu sudah diperbaiki.
Apapun alasannya, terlepas dari benar tidaknya pernyataan perusahaan Google tersebut, kita bisa menyaksikan besarnya dukungan masyarakat dunia terhadap permasalahan Palestina. Gerakan perlawanan melalui dunia maya terbukti efektif dan dapat menjadi sesuatu yang diperhitungkan, baik dalam bentuk protes melalui jejaring media sosial maupun melalui petisi online melalui change.org. Hal ini terbukti dari banyaknya media yang mengangkat topik tersebut dan munculnya respon resmi dari pihak Google walaupun dengan jawaban yang tidak memuaskan.
Beberapa point bisa kita simpulkan dari peristiwa penghapusan nama Palestina ini dari peta Google. Pertama, masyarakat dunia mengekspresikan kekesalannya ketika mendapati kabar dihapusnya nama Palestina dari web peta Google. Mereka merespon cepat, tanpa harus menelurusi terlebih dahulu ada tidaknya pencantuman Palestina pada web peta Google pada edisi sebelumnya. Yang mereka tahu, faktanya saat ini memang tidak ada nama Palestina di peta itu, dan yang tertulis hanyalah nama Israel.
Masyarakat dunia dipaksa untuk melihat sendiri peta web miliki Google terbaru ini dan mengeluarkan tuntutan, mempertanyakan keadilan pihak Google yang menafikan keberadaan Palestina dan menamainya dengan nama penjajah negeri itu. Kalau pun pihak Google beralasan memang tidak ada pencantuman nama Palestina sejak dulu, maka tuntutan masyarakat pun berubah, dari yang semula memprotes penghapusan nama Palestina menjadi tuntutan dicantumkannya nama Palestina di dalam peta tersebut.
Kedua, perlawanan media sosial merupakan perlawanan yang tidak bisa dibendung. Kini ia menjadi senjata ampuh untuk menekan musuh. Dalam hal ini Google, harus melakukan klarifikasi kehadapan publik, karena isu ini telah menyebar ke seluruh dunia dan mendapatkan dukungan yang luar biasa.
Ketiga, peristiwa tersebut sebagai sebuah peringatan untuk aplikasi lainnya seperti Facebook, Twitter, Path, untuk tidak bermain-main dengan permasalahan Palestina. Ini merupakan permasalahan sensitif yang kental dengan nuansa politik dan menyentuh nurani manusia. Responnya bisa dilihat dengan apa yang menimpa Google saat ini, yang mendapat tekanan dari publik.
Keempat, tindakan Google ini merupakan bagian dari propaganda untuk melenyapkan Palestina dari dunia. Target mereka adalah generasi-generasi mendatang, yang tidak akan mendapati kembali keberadaan Palestina. Kampanye itu dimulai dari Google yang kini masih menjadi mesin pencari nomor satu yang banyak diakses masyarakat dunia.
Kelima, ini tidak bisa dilepaskan dari perdebatan tentang status Al-Aqsha di Komite Warisan Dunia (World Heritage Committee) yang berada di bawah organisasi PBB, UNESCO.
Semula, akan digelar pemungutan suara atas rancangan resolusi yang menetapkan Masjid Suci Al-Aqsha sebagai situs milik umat Islam, namun karena acara yang digelar di Turki pada pertengahan Juli lalu itu terganggu akibat adanya upaya kudeta militer, maka pelaksanaannya ditunda hingga Oktober 2016 mendatang, dan ini berdasarkan usulan dari pihak Israel yang menolak status Al-Aqsha sebagai situs milik umat Islam.
Masa menjelang bulan Oktober ini nampaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Israel untuk mengkampanyekan bahwa Al-Aqsha bukanlah situs milik umat Islam. Diantaranya melalui propaganda Google yang tidak menyantumkan nama Palestina di atas web peta Masjid Suci Al-Aqsha. Dan ketika kita mencoba mengetik kata Israel melalui Google search image, maka akan kita dapati gambar yang muncul adalah Masjid Suci Al-Aqsha. Ini merupakan bentuk propaganda Google untuk menggiring penggunanya dengan klaim bahwa Al-Aqsha adalah milik Israel.