Sebanyak 2,2 juta warga Palestina menghadapi kelaparan dan malnutrisi parah di Jalur Gaza setelah Israel memberlakukan blokade ketat terhadap pasokan makanan, obat-obatan, bahan bakar, dan pasokan kemanusiaan lainnya. Di sini yang lain, Israel juga menghancurkan lahan-lahan pertanian Palestina, dan menyerang nelayan yang mencoba untuk melaut demi memenuhi kebutuhan konsumsinya.
Mengenai hal tersebut, Michael Fakhri, pelapor khusus PBB tentang hak atas pangan menegaskan bahwa penolakan terhadap akses pangan merupakan kejahatan perang yang mengarah pada situasi genosida. “Memblokir aliran bantuan kemanusiaan, melenyapkan kapal penangkap ikan skala kecil, dan menghancurkan kebun buah-buahan di Gaza merupakan bentuk penolakan terhadap akses masyarakat atas makanan.”
“Israel telah mengumumkan niatnya untuk menghancurkan rakyat Palestina, seluruhnya atau sebagian, hanya karena mereka adalah orang Palestina. Dalam pandangan saya sebagai pakar hak asasi manusia PBB, situasi saat ini adalah genosida. Ini berarti negara Israel secara keseluruhan bersalah dan harus bertanggung jawab,” lanjut Fakhri.
Menurut laporan Human Right Watch, sebelum terjadi agresi Israel pada 7 Oktober 2023, sebanyak 1,2 juta dari 2,2 juta penduduk Gaza diperkirakan menghadapi kerawanan pangan dan lebih dari 80 persen bergantung pada bantuan kemanusiaan. Situasi ini memburuk sejak 7 Oktober ketika Israel dengan sengaja membuat skema melaparkan seluruh penduduk Jalur Gaza dengan merampas makanan, air, dan bahan bakar bagi warga sipil di Gaza, sebagaimana tercermin dalam operasi militer pasukan Israel.
Melaparkan Gaza: senjata Israel dalam agresi genosida
Kisah-kisah kelaparan yang muncul di Gaza sangatlah nyata: tentang penduduk yang terpaksa menggiling pakan ternak yang hampir tidak bisa dimakan untuk dijadikan tepung; tentang anak-anak yang terpaksa mengonsumsi air yang tercemar untuk melepas dahaga; juga tentang orang-orang yang mulai memakan rumput ataupun tanaman kaktus untuk mengganjal perut. Badan Koordinasi Kemanusiaan PBB (OCHA) mengatakan bahwa situasi kelaparan terburuk ditemukan di utara Gaza setelah akses bantuan kemanusiaan ke wilayah itu ditolak sama sekali pada bulan lalu akibat adanya peningkatan campur tangan pasukan Israel dalam cara dan di mana bantuan disalurkan.
Selain dengan memblokir bantuan kemanusiaan, berikut ini merupakan hal-hal yang dilakukan Israel dalam melaparkan Gaza.
(1) Israel menghancurkan sebagian besar tanaman pangan dengan meratakan sebagian besar wilayah pertanian di Jalur Gaza, serta menargetkan hewan ternak

Dengan dalih mengeliminasi terowongan Hamas, militer Israel menyasar ladang dan kebun di utara Beit Hanoun, segera setelah dimulainya operasi darat Israel pada akhir Oktober. Citra satelit menunjukkan bahwa kebun buah-buahan, ladang, dan rumah kaca telah dihancurkan secara sistematis, menyisakan pasir dan tanah. Biasanya, para petani di daerah ini menanam jeruk, kentang, buah naga, dan opuntia (buah kaktus), tomat, kubis, dan stroberi yang berkontribusi terhadap penghidupan warga Palestina di Gaza.
Laporan PBB dan data FAO pada Januari 2024 menunjukkan bahwa Israel telah menghancurkan sistem produksi pangan dengan memblokir akses terhadap lahan pertanian dan laut, menghancurkan 28% lahan pertanian di Gaza, serta merusak 488 sumur pertanian dan 21% rumah kaca di Gaza. Peternakan tidak mampu menyediakan sumber makanan bagi ternak, sementara pembatasan bahan bakar yang dilakukan Israel secara otomatis mengurangi kemampuan warga Gaza untuk memasak sendiri.
(2) Israel menghancurkan produksi pangan lokal Gaza dan memblokir pasokan kemanusiaan
Sejak awal agresinya, Israel menargetkan lahan pertanian lokal, pabrik tepung, toko roti, dan gudang penyimpanan makanan dalam serangan langsung yang disengaja. Dalam waktu kurang dari sebulan, terdapat sebelas toko roti yang dibom oleh Israel, menyebabkan puluhan orang yang mengantre menjadi terbunuh atau terluka. Selain itu, menurut laporan PBB pada 8 November 2023, hanya sebulan setelah pecahnya pertempuran, seluruh toko roti di bagian utara Gaza ditutup karena kekurangan pasokan seperti tepung terigu, air, listrik dan bahan bakar.

Penduduk Jalur Gaza mengandalkan roti sebagai makanan pokok mereka. Kehancuran begitu banyak toko roti dan tidak tersedianya bahan baku untuk membuat roti mengakibatkan warga Gaza tidak mampu mengakses makanan pokok mereka. Roti yang biasanya mudah didapat, kini menjelma mimpi yang sulit untuk digapai.
“Sejak dimulainya operasi darat (militer Israel) lebih dari 100 hari yang lalu, kami benar-benar mengalami kelaparan. Setiap hari penderitaan kami bertambah,” kata Ayman al-Hattu kepada The Palestine Chronicle. “Bahaya kematian akibat kelaparan dan kehausan menyebar dimana-mana. Kami tidak bisa menyediakan makanan dan air untuk warga dan anak-anak. Ini membuat kami merasa tidak berdaya,” katanya.
Menurut Al-Hattu, tidak ada tepung yang tersedia di Kota Gaza, dan jika ada, harganya meroket hingga 30 kali lipat. “Kami tidak punya uang untuk membelinya, tidak ada gaji atau pekerjaan. Perang menghancurkan segalanya,” katanya.
Senada dengan Al-Hattu, seorang ibu Palestina, Samar al-Saeedi menjelaskan bahwa situasi kesehatan dan kelaparan di Kota Gaza semakin buruk. “Putra kecil saya bermimpi makan roti. Semua anak kami bermimpi makan roti dan minum air. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka sungguh menyakitkan.”
(3) Israel menghambat kegiatan penangkapan ikan dengan menargetkan pelabuhan, nelayan, kapal penangkap ikan, dan peralatan mereka
Sektor perikanan di Gaza yang merupakan salah satu pilar penting perekonomian Palestina, telah dihancurkan oleh Israel pada agresi Oktober 2023 yang masih berlangsung hingga hari ini. Sektor ini bukan sekadar kegiatan ekonomi, melainkan garis hidup bagi masyarakat, sebab sektor perikanan memainkan peran penting dalam menjamin ketahanan pangan bagi warga Gaza.
Menurut laporan Persatuan Komite Kerja Pertanian Palestina (UAWC-P), hingga akhir 2023, sekitar 70% atau 900 kapal nelayan yang berada di pelabuhan Gaza telah hancur atau rusak. Selain itu, seluruh jaring ikan di pelabuhan Gaza yang dimiliki oleh 1.800 nelayan juga telah rusak. Dengan kata lain, agresi genosida terbaru Israel telah menghancurkan mata pencaharian nelayan Gaza.

Terdapat 4.054 nelayan di Gaza, dengan 2.200 di antaranya berada di utara Gaza. Mereka telah lama menjadi sasaran larangan ketat Israel mengenai seberapa jauh mereka dapat menangkap ikan. Namun, sejak agresi terbaru, mereka hanya dapat berlayar sekitar 100 meter dari pantai, sebelum menjadi sasaran serangan Israel.
Nelayan di wilayah tengah dan Gaza juga menghadapi tantangan serupa. Namun, kelaparan memaksa mereka untuk mempertaruhkan hidup, sebagaimana terjadi baru-baru ini. Pada Sabtu (24/2), pasukan angkatan laut Israel melepaskan tembakan keras ke arah kapal nelayan Palestina di lepas pantai Kota Khan Younis. Tembakan Israel yang terus berlanjut menyebabkan kerusakan parah pada kapal, sementara nelayan di dalamnya berhasil menyelamatkan diri dan kembali ke pantai.
Penargetan Israel terhadap sektor perikanan ini jelas merupakan upaya langsung dalam melaparkan penduduk Gaza. Pencegahan terhadap nelayan untuk melaut menimbulkan ancaman ketahanan pangan dan penghidupan ribuan orang. “Kami hidup berdasarkan apa yang kami tangkap. Apa pun yang kami lalui, kami ingin pergi memancing dan melanjutkan hidup,” kata Ibrahim al-Najjar, nelayan di Rafah, selatan Gaza.
(4) Israel sengaja menghalangi penduduk Gaza untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan
Dalam laporannya pada Januari 2024, Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Med menyatakan bahwa tentara Israel tidak hanya membuat warga Gaza kelaparan, terutama mereka yang berada di utara Gaza, tetapi juga membunuh puluhan orang yang mencoba menerima sedikit bantuan yang tiba di sana.
Pada Kamis, 11 Januari 2024 di Bundaran Al-Rashid, utara Gaza, drone quadcopter Israel menembaki warga Palestina yang berkumpul untuk menerima tepung yang dibawa oleh truk PBB. Pembantaian ini menyebabkan lima puluh warga Palestina terbunuh dan puluhan lainnya terluka. Namun, kelaparan tidak memberi pilihan lain kepada penduduk Gaza selain tetap mendatangi truk yang membawa bantuan. Peristiwa ini kembali berulang di tempat yang sama pada Kamis pagi di akhir Februari (29/2), ketika Israel menyerang ribuan orang yang tengah mengantre untuk mendapatkan tepung. Kantor media pemerintah Gaza melaporkan lebih dari 100 orang terbunuh dan lebih dari 700 lainnya terluka dalam pembantaian tersebut.
Selain serangan brutal yang dilakukan oleh tentara, Israel juga membuka akses bagi pemukim kolonial untuk menghalangi konvoi bantuan kemanusiaan. Selama dua bulan terakhir, pemukim kolonial Israel berkumpul di penyeberangan Nitzana dan Karem Abu Salem (Kerem Shalom) – yang berbatasan dengan Gaza, sekitar delapan kilometer dari Rafah – untuk mencegah pasokan seperti makanan, bahan bakar, air, dan obat-obatan, yang sebagian besar dikelola oleh PBB, memasuki wilayah Gaza.

Pada awal Februari, gerakan Im Tirtzu, organisasi nasionalis Yahudi sayap kanan, menyatakan: “Semalam para aktivis Mothers’ March, Torat Lechima, dan Im Tirtzu, bersama dengan ratusan warga, mendirikan tenda di perbatasan Kerem Shalom untuk menghentikan bantuan kemanusiaan.” Sementara itu, Rachel Touitou dari Tzav 9, gerakan yang dibentuk pada Desember untuk memblokir bantuan ke Gaza, mengatakan, “Anda tidak bisa mengharapkan Israel untuk mengalahkan musuh (Gaza), sementara pada saat yang sama Anda memberi mereka makan.”
Dengan segala hal yang dilakukan oleh Israel untuk melaparkan Gaza, Israel jelas tidak mematuhi perintah Mahkamah Internasional (ICJ) yang melarangnya menghalangi pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza. Israel juga tidak peduli dengan peringatan dari badan-badan internasional dan laporan dari IPC (Klasifikasi Ketahanan Pangan Terpadu) mengenai kelaparan yang tak terhindarkan di Gaza. Impunitas yang terus dinikmati Israel menyebabkan Israel dengan leluasa mengurangi jumlah truk bantuan yang masuk ke sana dalam beberapa pekan terakhir, dan pengiriman bantuan makanan ke wilayah utara hampir dihentikan seluruhnya.
Seluruh penduduk Gaza berada dalam krisis kelaparan (IPC Fase 3)

Antara 8 Desember 2023 dan 7 Februari 2024, seluruh penduduk di Jalur Gaza (sekitar 2,2 juta orang) diklasifikasikan dalam IPC Fase 3 atau lebih tinggi. Jumlah ini merupakan jumlah angka tertinggi yang diklasifikasikan oleh IPC terhadap penduduk suatu wilayah yang menghadapi kerawanan pangan akut. Dari total 100% penduduk Gaza yang berada di IPC Fase 3 (kritis), sekitar 50 persen populasi (1,17 juta orang) berada dalam kondisi darurat (IPC Fase 4) dan setidaknya satu dari empat rumah tangga (lebih dari setengah juta orang) menghadapi kondisi bencana atau malapetaka (IPC Fase 5), ditandai dengan rumah tangga yang mengalami kekurangan pangan, kelaparan, dan kehabisan daya untuk bertahan hidup.
Hal tersebut menunjukkan bahwa bencana kelaparan yang diciptakan Israel ini telah berdampak terhadap seluruh penduduk Gaza, terutama kelompok yang paling rentan, yaitu anak-anak dan bayi, wanita hamil, dan orang lanjut usia. Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza mengatakan pada Rabu (28/2) bahwa enam anak telah meninggal karena dehidrasi dan kekurangan gizi. Dua anak meninggal di Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza, empat anak meninggal di Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara, sementara tujuh lainnya masih dalam kondisi kritis.
Menurut laporan PBB, pemeriksaan gizi di pusat-pusat kesehatan dan tempat penampungan yang dilakukan pada Januari menemukan hampir 16% anak-anak di bawah usia dua tahun – setara dengan satu dari enam bayi – mengalami kekurangan gizi akut di bagian utara Gaza, tempat ratusan ribu orang terjebak tanpa bantuan makanan. Dari jumlah tersebut, hampir 3% menderita kekurangan gizi yang parah, berisiko tinggi mengalami komplikasi medis atau kematian. Sementara itu di Rafah, selatan Gaza, sebanyak 5% anak-anak di bawah dua tahun mengalami kekurangan gizi akut, padahal sebelum terjadi agresi hanya 0,8% anak-anak Gaza di bawah usia 5 tahun yang dianggap mengalami kekurangan gizi akut.

Penggunaan kelaparan sebagai senjata perang dilarang keras berdasarkan Konvensi Jenewa. Hal itu juga dikutuk oleh Resolusi PBB 2417, yang mengecam perampasan makanan dan kebutuhan dasar penduduk sipil. Namun demikian, semakin hari risiko kematian yang membayangi bencana kelaparan di Gaza terlihat semakin nyata, sementara Israel tidak memperlihatkan tanda akan mengizinkan lebih banyak bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, melonggarkan serangan, apalagi menyetujui seruan gencatan senjata. Ini artinya, tingkat kelaparan di Gaza akan terus bertambah secara signifikan dan pada gilirannya akan menjadi pembunuh yang tidak terlihat.
Selama 147 hari terakhir, semua mata dunia tertuju pada Gaza tetapi tidak banyak hal yang dilakukan untuk mencegah Israel melakukan genosida lebih lanjut. Pengeboman, penyerangan, dan upaya Israel dalam melaparkan Gaza telah menelan lebih dari 30.000 jiwa dan melukai lebih dari 70.000 lainnya. Jumlah ini akan bertambah, bahkan tidak mustahil dapat mengganda jika dunia terus membiarkan Gaza dikepung oleh segitiga kematian; pengeboman, kelaparan, dan wabah penyakit yang meluas tanpa adanya obat. (LMS)
Referensi
https://www.arabnews.com/node/2467706/middle-east
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-68239320
https://www.fao.org/3/cc9401en/cc9401en.pdf
https://www.hrw.org/news/2023/12/18/israel-starvation-used-weapon-war-gaza
https://www.ipcinfo.org/ipc-country-analysis/details-map/en/c/1156749/
https://www.middleeasteye.net/news/israeli-protesters-set-tents-block-humanitarian-aid-entering-gaza
https://www.newarab.com/analysis/gaza-starves-israeli-protesters-are-blocking-vital-aid
https://www.palestinechronicle.com/we-dream-of-bread-an-urgent-appeal-from-gaza/
https://uawc-pal.org/summary-report-impact-of-genocide-war-on-gazas-fishing-sector/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini








