Membacakan puisinya di atas panggung, mengenakan syal berbendera Palestina dan Indonesia, penyair Taufik Ismail “menghipnotis” puluhan kepala negara anggota Organisasi kerja Sama Islam, OKI, dalam jamuan makan malam kenegaraan jelang KTT Luar Biasa soal Palestina dan Al-Quds Al-Syarif di Jakarta, Minggu (6/3).
Puisi Taufik Ismail yang berjudul “Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu” mengisahkan soal kiblat pertama umat Islam, Masjidil Aqsa, yang kini dikuasai Israel walau berstatus quo. Taufik menyebut kelakuan Israel bak “kelakuan reptilia bawah tanah”, sembari menambahkan, “sepatu-sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita semua.”
Semua peserta KTT Luar Biasa OKI dengan seksama mendengarkan setiap bait syair yang dituturkan Taufik dengan emosional. Puisi tersebut diterjemahkan ke bahasa Arab dan Inggris, agar bisa dinikmati oleh ratusan delegasi dan tamu yang hadir.
Dikutip dari CNN Indonesia, puisi tersebut digubah Taufik di tahun 1989, saat Israel melakukan agresi militer terhadap rakyat Gaza, menewaskan wanita dan anak-anak dalam peristiwa Intifada pertama.
Bagaimana isi syair puisi Taufik Ismail yang berhasil menghipnotis para kepala negara anggota OKI tersebut ? Berikut salinan puisinya :
Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu
Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer
dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir
dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran
di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.
Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan
apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan lalu di
Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka.
Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening
kita semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi airmataku.
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya,
siapakah yang tak menjerit serasa anak-anak kami
Indonesia jua yang dizalimi mereka –
tapi saksikan tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya,
pembelit leher lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka, An Naar.
Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-
Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim
Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami
semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi
‘Allahu Akbar!’ dan
‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan
elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi
di padang pasir belantara, membangkangit resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia, membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser
Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at
sedunia: doakan kolektif dengan kuat seluruh
dan setiap pejuang yang menapak jalanNya,
yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu dengan kukuh kita bacalah
‘laquwwatta illa bi-Llah!’
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku.
[cnnindonesia/islamedia]