In what state did you come Eid? Are things the same or is there anything new?
(Abu Al-Tayeb Al-Mutanabbi)
Gegap gempita perayaan Idulfitri di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, mungkin masih terasa sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, nun jauh di Gaza, Palestina, Idulfitri terasa sangat berbeda. Bagaimana tidak, di tengah agresi genosida yang telah berlangsung selama 7 bulan, tak mungkin Ramadan dan Idulfitri di Gaza akan tetap terasa sama.
Pada saat umat Muslim di tempat lain menyambut Idulfitri dengan sukacita, penduduk Gaza menyambutnya dengan dukacita karena bertambahnya jumlah syuhada. Tepat pada Hari Raya Idulfitri, pasukan Israel mengebom Kamp Pengungsi Nuseirat, membunuh setidaknya 14 orang termasuk anak-anak dan perempuan. Jumlah tersebut membuat jumlah syuhada sejak 7 Oktober melonjak ke angka 33.400 orang, sedangkan 76.000 lainnya dilaporkan luka-luka pada tanggal 10 April 2024.
- Namun, meski penduduk Palestina tidak bisa ‘merayakan’ Idulfitri dengan keceriaan seperti kita, mereka tetap memiliki cara sendiri untuk menyambut Hari Kemenangan. Di tengah agresi genosida yang tidak kunjung berhenti, mereka memang kehilangan rumah, orang-orang tercinta, dan banyak hal yang tadinya mereka miliki. Akan tetapi, mereka sungguh tidak pernah kehilangan hal yang paling berharga: iman dan harapan.
Salat Idulfitri dan Ziarah di Reruntuhan

“Penduduk Gaza mengatakan mereka lebih merasa sedih ketika menyaksikan kehancuran masjid dibandingkan kehancuran rumahnya sendiri,” demikian kutipan dari Al Jazeera di dalam artikelnya yang melaporkan kehancuran pada situs-situs bersejarah di Gaza selama agresi. Sejak 7 Oktober 2023 hingga 14 Januari 2024, laporan tersebut menyebutkan bahwa Israel telah menghancurkan 104 masjid di Jalur Gaza, termasuk Masjid Omari yang diyakini sebagai masjid pertama yang dibangun di Gaza 1.400 tahun yang lalu.
Dengan banyaknya jumlah masjid yang telah dihancurkan, pelaksanaan salat Idulfitri pada tahun ini menjadi tantangan tersendiri bagi penduduk Gaza. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghalangi mereka untuk tetap menyelenggarakannya sebagaimana di negara-negara lain. Bedanya, salat Idulfitri pada tahun ini terpaksa dilaksanakan di reruntuhan masjid, di gedung sekolah yang dijadikan tempat pengungsian, atau di rumah sakit bagi penduduk yang terluka dan tenaga kesehatan.
Tempatnya memang berbeda, namun semangat penduduk Gaza untuk melaksanakan salat Idulfitri tetap tidak berubah. Mostafa el Helou, seorang pria Palestina yang mengungsi dari Kota Gaza ke Rafah akibat agresi mengatakan bahwa dia dan banyak pengungsi lainnya bersikeras untuk tetap melaksanakan salat Idulfitri tahun ini di reruntuhan Masjid al-Farouk “agar dunia tahu bahwa kami mempertahankan masjid kami, tanah kami, negara kami.” Ia kemudian menambahkan, “Semoga Idulfitri tahun depan kami bisa merayakannya di Gaza dan melaksanakan salat di masjid-masjid tempat kami biasa beribadah.”
Setelah melaksanakan salat Idulfitri, umat Islam khususnya di Timur Tengah memiliki tradisi untuk berziarah ke makam orang-orang yang mereka cintai, kurang lebih sama seperti di Indonesia. Akan tetapi, dengan banyaknya jumlah korban yang terbunuh sejak agresi dimulai pada bulan Oktober, ditambah dengan banyaknya korban yang terpaksa dikuburkan di kuburan darurat atau jenazah-jenazah yang belum kunjung ditemukan dari bawah reruntuhan, tradisi berziarah kubur saat ini menjadi hal yang mustahil bagi sebagian besar penduduk Gaza.
Di Deir al-Balah, sejumlah perempuan berziarah ke tanah kuburan yang baru saja digali. Di tanah kuburan yang masih basah tersebut, mereka mendoakan suami dan anak laki-laki mereka yang menjadi korban agresi genosida Israel baru-baru ini. Salah satu dari mereka adalah Umm Ahmad, yang berziarah ke makam suaminya bersama putranya yang masih kecil. “Anak kecil ini menggedor-gedor batu sambil berkata ‘Saya ingin melihat Baba. Siapa yang akan merayakan Idulfitri bersamaku seperti yang biasa dilakukan Baba?’” ujar Um Ahmad ketika menceritakan putranya yang belum menerima kepergian sang Ayah, sebagaimana penduduk Palestina lainnya yang masih merasa sangat kehilangan saat menyaksikan orang-orang tercinta mereka satu per satu menjadi korban menjelang Hari Raya Idulfitri.
Tak Ada Pakaian Baru, Manisan, dan Eidiya

Pakaian apa yang kalian kenakan pada saat momen Idulfitri beberapa waktu yang lalu? Apakah kalian membeli pakaian baru? Atau bahkan mengikuti tren dress shimmer yang sedang populer? Ketika kita mengenakan pakaian kita yang paling indah saat Idulfitri kemarin, adakah kita memikirkan, pakaian apa yang dikenakan oleh saudara-saudara kita di Gaza, Palestina?
“Kami masih hidup saat Idulfitri, alhamdulillah,” kata Mohammad, pria Gaza yang baru saja kembali ke Khan Younis untuk mengambil barang-barang yang masih tersisa dari rumahnya yang telah berubah menjadi reruntuhan. “Kami masih hidup menjelang Ramadan, namun itu adalah saat yang penuh dengan kelelahan dan kehancuran.” Ketika mengatakan kalimat tersebut, tepat di dekat Mohammad ada seorang pria lain yang juga baru saja mengambil barang-barang dari rumahnya yang hancur. Dari reruntuhan rumahnya, ia menemukan pakaian baru yang ia siapkan untuk dikenakan oleh putrinya saat Idulfitri. Kini, hanya pakaian tersebut yang tersisa, sebab putrinya telah mengenakan pakaian terakhirnya saat ia dimakamkan setelah dibunuh oleh serangan pasukan Israel.
Di tenda pengungsian yang terletak di Rafah, keempat anak Amani Abu Awda mulai meminta pakaian dan mainan baru darinya menjelang Idulfitri, seperti yang biasa dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, Abu Awda mengatakan bahwa tahun ini ia tidak bisa memenuhi permintaan anak-anaknya. “Ya Tuhan, saya tidak bisa mendapatkan apa pun karena tingginya harga. Saya harus pergi mencoba mencari pakaian bekas. Pada hari-hari biasa, kami tidak akan pernah membeli barang seperti itu. Tapi saya bahkan tidak bisa menemukan pakaian bekas,” katanya muram.
Keluarga Abu Awda sebenarnya berhasil mengambil beberapa pakaian ketika mereka meninggalkan rumah mereka di Jabaliya dua bulan lalu. Namun, di sebuah pos pemeriksaan, tentara Israel menyuruh mereka membuang semua yang mereka bawa. “Idulfitri macam apa ini?” tekan Abu Awda, yang kemudian menambahkan, “Kami telah kehilangan begitu banyak; kami kehilangan keluarga dan orang-orang terkasih; kami telah kehilangan rumah dan kehilangan keamanan. Perasaan kematian selalu mengikuti kami setiap saat, dan bau kematian ada di mana-mana.”
Di rumahmu, hidangan apa yang biasanya selalu tersaji saat Idulfitri? Adakah opor ayam saat sarapan dan kue nastar yang manis? Berapa banyak hidangan dan kue-kue khas daerah yang tersaji untuk menemani saat menjamu keluarga dan tamu-tamu yang datang? Di tengah antusiasme kita menyambut Idulfitri pada tahun ini, 2,2 juta orang di Gaza tidak memiliki cukup makanan, dan setengah dari penduduknya berada di ambang kelaparan, menurut laporan PBB yang diterbitkan bulan lalu.
Duduk di tendanya di Rafah, Muna Daloob (50 tahun), bahkan tidak bisa mengingat momen Idulfitri yang lalu, sebelum keluarganya meninggalkan rumah mereka di Kota Gaza. Dia mengatakan tahun ini dia tidak bisa membuat kue Idulfitri apa pun, termasuk maamoul (kue berisi pasta kurma) atau fesikh (ikan yang difermentasi) karena dia tidak memiliki gas untuk memasak dan karena semua bahan, termasuk tepung dan gula, terlalu mahal atau persediaannya sedikit.
Pada Idulfitri tahun ini, berapa THR (Tunjangan Hari Raya) yang kalian dapatkan atau bagikan? Di Palestina, tak jauh berbeda dengan Indonesia, Idulfitri juga menjadi momen bagi orang-orang untuk berbagi rezeki dan kebahagiaan dengan THR, atau mereka menyebutnya eidiya. Akan tetapi, tahun ini sepertinya antusiasme anak-anak untuk menerima eidiya tidak akan sama, sebab mereka tahu tidak akan ada yang bisa memberikan mereka eidiya.
Di sebagian besar negara Islam, orang dewasa umumnya memberikan eidiya kecil kepada anak-anak. Namun, warga Palestina sedikit berbeda karena mereka memberikan uang tersebut kepada anak-anak dan kerabat perempuan meskipun telah dewasa. Mohammad Shehada, pemuda berusia 22 tahun, mewakili pria Palestina lainnya, pada Idulfitri tahun ini ia sangat berharap bisa membagikan eidiya.
“Sorak sorai anak-anak yang berkumpul saat orang dewasa memberi eidiya, tidak dapat kami rasakan tahun ini, dan kami akan merasa malu,” ujarnya. “Saya mempunyai banyak harapan untuk Idulfitri,” katanya, “tetapi yang pertama adalah agar mereka mengakhiri agresi yang menghancurkan ini.”
Baca juga “Ramadan di Palestina: Dari Meriam Iftar hingga Panekuk Mini”
Harapan Idul Fitri 2025 : Mudik yang Sesungguhnya

Momen Idulfitri memang telah berlalu, namun tidak ada salahnya untuk mengingat kembali masa-masa indah Idulfitri di Jalur Gaza, jauh sebelum pecahnya agresi genosida. Dulu, pada hari-hari terakhir bulan Ramadan, setiap tempat di Gaza akan didekorasi dengan lentera dan kertas warna-warni. Para perempuan juga mulai membuat manisan, termasuk mengolah kurma kualitas terbaik untuk membuat ka’ak, biskuit bundar kecil yang khas disajikan saat Idul Fitri. Biskuit tersebut biasanya ditaburi gula halus dan diisi dengan berbagai isian, seperti pasta kurma, kacang-kacangan, kenari, pistachio, lokum, atau campuran segala sesuatu yang diberi pemanis dengan madu.
Hidangan sejenis ikan fermentasi yang dikenal sebagai fesikh yang berasal dari Mediterania dan Laut Merah juga akan disiapkan. Ini merupakan makanan Idulfitri yang populer di Gaza. Aromanya yang asin dan gurih akan memenuhi udara di pasar menjelang Idulfitri.
Toko-toko dan mal yang ramai di Gaza akan dipenuhi dengan beragam pakaian yang memesona, mulai dari gaun kecil untuk anak perempuan hingga pakaian formal untuk anak laki-laki. Toko-toko juga menjual pakaian salat khusus untuk digunakan oleh orang-orang saat melaksanakan salat Idulfitri. Selain membeli pakaian baru, keluarga-keluarga di Gaza juga biasa mendekorasi rumah mereka untuk menyambut datangnya hari raya.
Saat fajar 1 Syawal menyingsing, lingkungan sekitar Gaza akan bergema dengan lantunan takbir. Suasana dipenuhi kemeriahan anak-anak dan orang dewasa yang mengenakan pakaian terbaiknya, saat mereka beramai-ramai berjalan ke masjid untuk melaksanakan salat Idulfitri. Setelah itu, anggota keluarga akan berkumpul dan berkeliling mengunjungi rumah kerabat dan bertukar ucapan selamat, sementara anak-anak dengan penuh semangat menunggu eidiya. Jalanan menjadi hidup dengan riangnya anak-anak yang bermain, serta ucapan doa dan obrolan orang-orang dewasa. Hari itu, semuanya, tanpa terkecuali, berbahagia.
Tahun ini, Idulfitri memang sangat berbeda. Lampu dan dekorasi warna-warni digantikan dengan kilatan bom dan suara ledakan. Suara anak-anak yang bermain di jalanan digantikan dengan jeritan orang-orang yang terkubur di bawah reruntuhan. Lantunan azan dan takbir di masjid-masjid terpaksa dilakukan di antara reruntuhan kota yang telah diubah menjadi kuburan. Idulfitri tahun ini di Gaza memang sungguh penuh dengan air mata. Oleh karena itu, tiada alasan bagi kita untuk berhenti peduli pada saudara-saudara kita, agar tahun depan mereka bisa mudik yang sesungguhnya saat Idulfitri, pulang ke rumah mereka di tanah Palestina yang telah merdeka.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber :
https://edition.cnn.com/2024/04/10/middleeast/gaza-eid-israel-war-hamas-intl/index.html
https://edition.cnn.com/2024/04/10/us/eid-al-fitr-gaza-palestinian-celebrate-cec/index.html
https://www.aljazeera.com/program/newsfeed/2024/4/10/wartime-eid-begins-for-palestinians-in-gaza
https://www.nytimes.com/2024/04/10/world/middleeast/eid-gaza-israel-war-ramadan.html
https://www.middleeastmonitor.com/20240416-the-bloodied-eid-in-gaza/
https://www.reuters.com/pictures/pictures-eid-marked-with-war-hunger-palestinians-gaza-2024-04-10/
https://mondoweiss.net/2024/04/this-year-eid-in-gaza-is-bittersweet/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini