Hukum Humaniter Internasional atau hukum perang dibuat dengan tujuan untuk melindungi terjadinya kekejaman terhadap penduduk sipil dalam perang ataupun konflik yang terjadi di sebuah negara. Hukum ini dilatarbelakangi oleh berbagai perang dan konflik yang terjadi di dunia, terutama Perang Dunia Kedua. Dengan demikian, hukum perang ini terbentuk berdasarkan berbagai perjanjian, di antaranya adalah Konvensi Jenewa 1949.
Berdasarkan hukum tersebut, setidaknya ada enam objek yang tidak boleh diserang selama perang, yaitu warga sipil, tenaga medis dan rumah sakit, tawanan, wilayah tempat tinggal masyarakat sipil, benda cagar budaya, dan bangunan yang dapat menimbulkan efek buruk jangka panjang terhadap penduduk jika dihancurkan, seperti bendungan, tanggul, pembangkit tenaga listrik nuklir, dan sebagainya.
Namun, yang terjadi di Gaza hingga saat ini seolah menihilkan semua aturan. Tidak ada hukum perang yang sanggup menghentikan kekejaman Israel. Tidak ada lembaga internasional yang mampu membuat Israel menghentikan genosida; semua seolah menutup mata sekalipun kekejaman ini terjadi di depan mata dunia.
Setiap Jengkal Tanahnya adalah Kamp Konsentrasi
Pada masa lalu, Nazi mengeksekusi orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi tertutup, sehingga pembantaian yang dilakukan tidak dapat dilihat secara langsung oleh dunia pada saat itu. Namun di Gaza, setiap jengkal tanahnya bisa berubah menjadi kamp konsentrasi kapan saja, bahkan itu terjadi di depan kamera. Untuk membantai rakyat sipil Palestina, Israel tidak perlu menyediakan ruangan khusus, sebab semua petak tanah Gaza adalah ruang kematian bagi siapa pun, tak terkecuali anak dan perempuan.
Seorang jurnalis Palestina, Ahmed Dawoud, pada 21 Desember 2023 lalu terpaksa harus mengungsi bersama 30 tetangganya karena tank Israel menargetkan wilayah tempat tinggal mereka. Dalam perjalanan, Israel menembak anak berusia 8 tahun dan 15 tahun yang berada di dalam rombongannya. Jenazah mereka baru dapat diambil setelah lima hari, karena saat itu militer Israel terus berkeliling di area tersebut. Militer Israel juga membantai seluruh penduduk yang tersisa dan mengeksekusi semua penduduk yang mereka temui.
Tidak ada tempat aman di Gaza, sebab setiap jengkal tanahnya bisa menjadi kamp konsentrasi kapan saja. Ketika Israel memaksa setengah juta penduduk wilayah utara Gaza untuk segera berpindah ke selatan yang dijanjikan aman, Israel mengingkari itu. Hingga kini, ledakan demi ledakan terus menghantui wilayah selatan Gaza. Kita akhirnya tahu, kamp konsentrasi yang tengah diciptakan Israel itu bukan di dalam ruangan ataupun gedung, bukan di utara atau selatan, melainkan di sebuah wilayah bernama Gaza; seluruhnya.
Mereka yang memilih tetap tinggal di wilayah utara karena keterbatasan untuk berpindah, harus mengalami kekejaman yang lebih mengenaskan dibandingkan kematian. Israel menculik mereka dari tempat-tempat pengungsian, dan menuduh mereka semua sebagai anggota Hamas. Penduduk sipil itu kemudian ditelanjangi, disiksa, hingga dibunuh.
Israel juga melakukan serangan brutal ke hampir seluruh rumah sakit yang berada di Gaza. Mereka menuduh rumah sakit di Gaza sebagai basis militer hamas. Namun, setelah mereka tidak menemukan bukti yang cukup, Israel justru menjadikan rumah sakit sebagai basis militer penjajahan.
Ilustrasi berikut ini menggambarkan bagaimana Israel secara sistematis menghancurkan fasilitas kesehatan, sebagaimana dituturkan oleh Dr. Ghassan Abu-Sitta, seorang dokter ahli bedah asal Inggris yang menjadi saksi genosida Israel ketika ia berpraktik di RS Arab Al-Ahli. Israel melakukan serangan-serangan ke rumah sakit sebagai bentuk ‘pesan’ bahwa tidak ada garis merah bagi Israel dalam serangannya ke Gaza, seperti pengeboman ke RS Arab Al-Ahli, pengeboman gerbang RS Al-Shifa dan Nusr, yang menyebabkan terbunuhnya bayi-bayi prematur. Israel juga dengan sengaja menyasar panel surya yang dimiliki RS dan mencegah masuknya bahan bakar sehingga menyebabkan terhentinya aktivitas rumah sakit.
Tidak hanya itu, Israel melakukan kriminalisasi terhadap rumah sakit dengan menuduh mereka sebagai pusat komando gerakan perlawanan Palestina. Setelah mengosongkan RS Al-Shifa dengan tuduhan tersebut, dan tidak terbukti, mereka mengalihkan tuduhan ke RS Indonesia di Beit Lahia.

Setelah lebih dari 100 hari agresi genosida Israel, rumah sakit dan pusat kesehatan di utara Gaza telah lumpuh, sementara serangan Israel beralih ke rumah sakit yang berada selatan Gaza. Wilayah yang pada awalnya dijamin keamanannya, nyatanya juga dijadikan sebagai target serangan. Berdasarkan data hingga 27 Januari 2024, Israel telah menghancurkan 25 rumah sakit, 62 klinik dan 136 ambulans.

Afrika Selatan, bukan Barat
Di tengah diplomasi basa-basi yang mengedepankan kata-kata kutukan dan keprihatinan, secercah harapan muncul dengan misi menyeret Israel ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) untuk menyelamatkan Gaza yang menjadi sasaran agresi genosida Israel. Penyelamat itu ternyata berasal dari bangsa berkulit hitam, bukan bangsa berkulit putih–yang selama ini menggadang-gadang soal perlindungan HAM, antipenjajahan, antikekerasan, mengutuk apartheid, dan berkoar-koar soal persamaan hak. Nyatanya, yang mampu menyeret Israel ke Mahkamah Internasional adalah Afrika Selatan, sebuah bangsa yang telah mengalami pahitnya kekejaman politik apartheid dan tidak hendak membiarkan bangsa lain ikut mengalami lebih lama getirnya penindasan karena rasisme.
Pada 11 Januari 2023, dengan heroiknya Afrika Selatan bersama para tim pembela hukumnya membawa Israel ke Mahkamah Internasional atas genosida terhadap Gaza. Afrika Selatan mengajukan putusan sela terhadap kasus yang diajukannya, dengan harapan sebelum para hakim ICJ mengeluarkan putusan terhadap Israel yang dapat memakan waktu lama, ICJ dapat memberikan putusan sela agar Israel menghentikan genosida terhadap Gaza.
Afrika Selatan memang bukan korban genosida Israel, tetapi terdapat doktrin erga omnes partes, yaitu doktrin yang memperbolehkan sebuah negara untuk meminta tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum negara lain yang hal tersebut menjadi tanggung jawab masyarakat internasional. Selain itu, dalam Konvensi Genosida juga disebutkan bahwa seluruh negara yang menjadi bagian konvensi memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya genosida dan memastikan bahwa para pelaku tidak memiliki impunitas.
Dalam tanggapan terhadap Afsel, Israel berdalih bahwa apa yang terjadi pada Palestina merupakan akibat dari serangan Hamas yang dimulai sejak 7 Oktober. Namun, di atas itu semua, yang sebetulnya terjadi di Palestina bukanlah genosida 117 hari (saat artikel ini ditulis), melainkan genosida selama 117 hari 75 tahun. Jika ditambah dengan masa penjajahan Inggris, maka genosida yang dialami bangsa Palestina adalah 117 hari 100 tahun.
Berdasarkan tuntutan yang Afrika Selatan ajukan ke ICJ, setidaknya ada delapan hal yang Israel lakukan, Pertama, melakukan pembunuhan massal terhadap penduduk sipil Palestina di Gaza, dengan mayoritas korbannya adalah anak dan perempuan. Dalam 117 hari genosida-nya, Israel telah membunuh 26.900 masyarakat sipil Palestina dan 65.949 orang terluka. Israel juga mengeksekusi warga sipil Gaza tanpa alasan dan tanpa pandang bulu. Mereka membunuh siapa pun yang mereka temui dalam serangan darat yang dilakukannya.
Kedua, Israel dengan sengaja menyebabkan kelaparan dan kehausan terhadap warga Palestina di Gaza dengan memutus suplai makanan, air, listrik, dan melakukan perusakan terhadap sektor-sektor yang mendukungnya, seperti pabrik makanan, lahan-lahan pertanian, dan berbagai fasilitas pendukung untuk produksi makanan.
Ketiga, melakukan kekerasan secara fisik dan mental terhadap penduduk sipil di Gaza. Keempat, melakukan pembersihan etnis dan pengusiran paksa, sehingga 85% dari penduduk Gaza (termasuk anak-anak, lansia, dan orang-orang yang sakit dan terluka) terusir dari rumah dan kota mereka akibat penghancuran secara besar-besaran oleh Israel.
Kelima, menghancurkan kehidupan sosial di Gaza melalui penghancuran terhadap institusi pendidikan, sekolah, budaya, perpustakaan, dan berbagai sarana kehidupan penting lainnya yang menopang kehidupan masyarakat Gaza. Keenam, melakukan sejumlah upaya sistematis yang bertujuan untuk mencegah kelahiran warga Palestina di Gaza dengan kekerasan reproduksi terhadap perempuan dan anak-anak termasuk bayi yang baru lahir.
Ketujuh, gagal menyediakan ataupun menjamin cukupnya persediaan terhadap kebutuhan medis warga Palestina, bahkan dengan sengaja melakukan serangan kepada petugas dan fasilitas medis. Kedelapan, kegagalan untuk menyediakan dan bahkan membatasi penyediaan tempat tinggal, pakaian, sanitasi yang memadai untuk penduduk Gaza, termasuk bagi 1,9 juta warganya yang harus mengungsi secara internal.

ICJ, UNRWA, dan Pengabaian Dunia
ICJ akhirnya telah memberikan putusan sela terhadap tuntutan yang diajukan oleh Afrika Selatan terhadap Israel. Dalam putusannya, ICJ menyatakan bahwa mereka memiliki yurisdiksi untuk memutuskan kasus tersebut. ICJ juga meminta Israel mengambil langkah-langkah untuk mencegah genosida di Gaza dan meminta Israel memberi laporan dalam waktu satu bulan.
ICJ meminta Israel agar mencegah dan menghukum pihak yang menghasut untuk melakukan genosida di Jalur Gaza. Israel juga harus mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk dan mewajibkan Israel mengambil langkah yang lebih banyak untuk melindungi warga Palestina. Namun demikian, ICJ tidak mengabulkan seluruh tuntutan Afrika Selatan. Salah satu yang yang terpenting dan tidak dipenuhi adalah tuntutan gencatan senjata. Di sisi lain, ICJ tidak memiliki mekanisme untuk menegakkan keputusannya, meskipun putusan tersebut mengikat secara hukum dan tanpa banding. Selain itu, meskipun putusan ICJ ini disayangkan banyak pihak karena ketiadaan putusan mengenai gencatan senjata, putusan ini menjadi sebuah langkah besar terhadap dukungan lembaga dunia terhadap Palestina.
Israel sendiri menolak keras putusan ICJ, tidak hanya melalui ungkapan para pemimpinnya tetapi juga dengan tidak berkurangnya intensitas serangan terhadap Gaza. Tidak lama berselang setelah ICJ mengeluarkan putusan, Israel terus menyerang wilayah di sekitar Rumah Sakit Nasser di selatan Gaza, sehingga menyebabkan mati listrik total. Dua hari setelah putusan dikeluarkan, Israel melakukan pembantaian di 38 tempat dan menyebabkan 350 penduduk sipil Palestina di Gaza terbunuh. Tidak hanya di Gaza, Israel turut mengintensifkan serangan ke kota-kota di Tepi Barat

Seolah menyambut kebrutalan Israel – meskipun tidak menolak putusan ICJ secara gamblang – sehari setelah putusan sela diterbitkan, Amerika Serikat, diikuti oleh Inggris, Jerman, Kanada, Finlandia, Italia, Belanda, Australia, Swiss, Swedia, Jepang, New Zealand, Iceland, Rumania, dan Estonia, memutuskan untuk menghentikan pendanaan mereka untuk UNRWA, sebuah lembaga PBB untuk Pengungsi Palestina. Negara-negara tersebut beralasan bahwa terdapat beberapa anggota UNRWA di Gaza yang ikut terlibat dalam serangan 7 Oktober. Namun, tuduhan itu belum terbukti dan masih dalam penyelidikan.
Bagi rakyat Palestina, UNRWA memainkan peran penting untuk menyediakan kamp pengungsi, layanan medis dan sosial, pendidikan, serta berbagai upaya penyelamatan warga pada saat krisis. Selama ini UNRWA aktif membantu pengungsi Palestina di Jalur Gaza, Tepi Barat, Al-Quds (Yerusalem) Timur, Lebanon, Yordania dan Suriah. Ada sekitar 13.000 staf UNRWA, yang sebagian besar merupakan warga Palestina sendiri.

Jauh sebelum adanya tuntutan dari Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional, Israel telah menuntut pembubaran UNRWA karena dianggap institusi inilah yang menjadikan rakyat Palestina masih bisa bertahan hingga hari ini. Sebelum serangan 7 Oktober, UNRWA hanya mengurusi penduduk Palestina yang menjadi pengungsi. Namun pada saat ini, hampir seluruh penduduk Gaza adalah pengungsi, sehingga untuk kelangsungan hidupnya, sebanyak 2 juta orang menggantungkan nasib terhadap lembaga PBB ini.
Sekali lagi, Palestina ditinggalkan sendiri oleh dunia. Setelah putusan sela ICJ tak mampu menghentikan perang atau masuknya bantuan kemanusiaan, Palestina harus menghadapi kenyataan ambang kematian UNRWA akibat negara-negara donor yang menghentikan bantuannya. Sekali lagi, Palestina, terutama Gaza, harus menikmati pil pahit bahwa diplomasi dunia ternyata masih sekadar basa-basi
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
Sumber referensi:
https://www.middleeasteye.net/news/war-gaza-100-days-palestinians-isolated-abandoned-and-afraid
https://imeu.org/article/expert-qa-south-africas-genocide-case-against-israel-at-the-icj
https://www.icrc.org/en/document/treaties-and-customary-law
https://www.icrc.org/en/war-and-law%E2%80%8B
https://unwatch.org/updated-list-of-countries-suspending-unwra-funding/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini