Pandemi Covid 19 tidak membuat Israel berhenti untuk melakukan okupasi terhadap Palestina, bahkan intensitas penghancuran lahan pertanian, bangunan dan rumah yang berada di Tepi Barat semakin meningkat. Jika mengutip publikasi yang dirilis oleh OCHA (United Nation Office for the Coordination of Humanitarian Affairs), di tahun 2020 telah terjadi 294 penghancuran di wilayah Tepi Barat yang menyebabkan 335 orang terusir.
Tanpa mengindahkan pandemi, usai kemenangan Netanyahu pada pemilu Maret 2020, ia mengumumkan rencana aneksasi Israel terhadap wilayah Tepi Barat. Hal ini merupakan realisasi terhadap janji Netanyahu di masa kampanyenya untuk menganeksasi wilayah Tepi Barat menjadi wilayah Israel, apabila ia kembali terpilih menjadi perdana Menteri Israel.
Rencana ini sebenarnya juga menjadi bagian dalam perjanjian Deal of Century yang di awal tahun 2019 dideklarasikan oleh Netanyahu dan Trump. Kedua negara tersebut mengeluarkan perjanjian damai untuk Palestina, tanpa melibatkan Palestina sama sekali dalam perundingan tersebut. Jelas, Palestina adalah pihak yang dirugikan dalam perjanjian tersebut. Seluruh dunia menilai perjanjian ini hanya merupakan cara untuk menaikkan popularitas kedua pimpinan negara tersebut yang tengah mengikuti pemilu. Sehingga demi mendapatkan suara di pemilu, Netanyahu dan Trump mengabaikan suara Palestina.
Netanyahu melakukan hal ini karena berdasarkan dari survey pemilih yang dilakukan di Israel, sebanyak 68 persen warga Israel mendukung aneksasi di wilayah Tepi Barat dan Lembah Yordania. Adapun mengenai keberadaan Palestina, 67 persen warga Israel menentang berdirinya negara Palestina. Sementara itu 54 persen konstituen Partai Likuid tidak akan mendukung partai tersebut jika Netanyahu mengakui adanya negara Palestina.
Survey ini terbukti efektif untuk mengantarkan Netanyahu menuju kursi perdana Menteri untuk ketiga kalinya meski ia sedang tersandung kasus korupsi. Akan tetapi perolehan suara Netanyahu hanya terpaut tipis dengan dengan rivalnya Benny Grantz dari partai Biru Putih. Keadaan ini memaksa Netanyahu dan Grantz melakukan koalisi politik. Di 18 bulan kedepan, Netanyahu akan menjadi perdana Menteri Israel, sementara itu Grantz menjadi Menteri pertahanan Israel. Sedangkan 18 bulan setelahnya, Grantz akan menjadi perdana menteri menggantikan Netanyahu.
Kuatnya dukungan warga Israel terhadap aneksasi wilayah Tepi Barat membuat Grantz yang ketika kampanye menyerukan penolakan terhadap okupasi Tepi Barat, menjadi 180 derajat mendukung hal tersebut. Ia bahkan telah memberikan aba-aba kepada pasukan militer Israel untuk bersiap-siap melaksanakan rencana aneksasi yang paling cepat akan dilakukan pada 1 Juli 2020 mendatang.
Reaksi Dunia
Seluruh dunia mengecam terhadap rencana yang akan dilakukan oleh Israel. Negara-negara Islam di seluruh dunia yang tergabung dalam OKI sepakat untuk menolak aneksasi yang akan dilakukan Israel. Termasuk Indonesia didalamnya yang juga ikut menentang tindakan Israel di dalam forum OKI pada 10 Juni lalu. Tidak hanya itu, Indonesia juga telah mengirimkan surat penolakan terhadap rencana Israel tersebut ke 30 negara sahabatnya.
Demikian pula negara-negara yang tergabung dalam UE, kesemua negara bersepakat bahwa Israel tidak bisa melakukan okupasi terhadap wilayah Tepi Barat karena melanggar aturan hukum internasional yang berlaku. Jerman, negara yang dianggap berdosa besar kepada Israel karena adanya tragedi holocaust di negaranya, juga ikut menolak aksi tersebut. Namun negara-negara UE terpecah dalam berpendapat, Jerman, Ceko dan Hungaria menentang okupasi Israel ke Tepi Barat namun tidak menghendaki diberikannya sanksi kepada Israel jika ia tetap melaksanakan idenya. Sementara negara-negara lain sepakat dengan diberlakukannya pemberian sanksi.
Dunia Harus Satu Suara
Penolakan dunia terhadap isu aneksasi Israel bisa dapat dikatakan masih bersifat normatif. Tidak ada konsekuensi yang secara serius akan diterima Israel, jika ia bersikeras dengan rencana okupasinya. Untuk itu, dunia mesti Bersatu dan bersepakat mengenai konsekuensi apa yang akan dialami oleh Israel jika mereka tetap bersikeras. Dunia tidak boleh lagi sekedar berkata-kata tanpa melakukan aksi-aksi nyata untuk Palestina. Jika tidak, maka Israel akan semakin semena-mena dalam memperlakukan warga Palestina di dalamnya.
Untuk mencegah hal itu terjadi, memberikan penegasan kepada Israel bahwa jika aneksasi masih dilakukan, maka dunia akan mengalienasi Israel dari kancah dunia atau bahkan memutuskan hubungan diplomatik. Taka da negara yang mampu berdiri sendiri di muka bumi ini. Sekuat-kuatnya sebuah negara, dia tetap memerlukan negara lain untuk menopang kebutuhannya. Jikapun mampu, maka tengoklah Gaza, Palestina yang 14 tahun ini diblokade Israel. Betapa kesengsaraan dan kenestapaan meliputi warganya. Ia mampu hidup, namun tak mampu berpenghidupan yang layak.
Selain itu, dunia secara bersama-sama harus melakukan Gerakan BDS (Boikot, Divestasi dan Sanksi) terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti memberikan bantuan kepada Israel untuk melakukan penjajahan. Dalam laman BDS dapat kita lihat, ada perusahaan alat-alat olah raga yang membantu pendirian pemukiman ilegal di Tepi Barat. Adapula perusahaan komputer yang memberikan jasa basis data untuk Israel hingga menyediakan perangkat berat untuk militer Israel, sehingga Israel dapat melakukan kebijakan-kebijakan rasis dan merapkan politik apartheid. Di bidang pertanian, ada perusahaan-perusahaan agrikultur yang menanam di lading pertanian ilegal di Tepi Barat.
Untuk itu, penting kiranya seluruh dunia melakukan gerakan ini, agar tidak ada lagi ‘donor’ bagi Israel untuk melanjutkan tindakan kekerasannya di Palestina. Gerakan ini perlu dimassifkan oleh dunia, agar perusahaan-perusahaan yang menjadi pendonor bagi penjajah, menghentikan bantuannya. Atau jika tidak, mereka akan kehilangan konsumen dan bahkan terpaksa gulung tikar.
Terakhir, berkaca dari terbunuhnya seorang warga negara AS berkulit hitam George Floyd oleh seorang polisi berkulit putih di AS yang memantik kemarahan seluruh penduduk dunia, tidak hanya warga AS. Sehingga seluruh dunia mengutuk atas praktik rasisme yang masih tersisa di AS. Demikian pula dukungan terhadap Floyd tidak hanya memanjiri laman-laman dunia maya, tetapi sebagian warga dunia turun ke jalan-jalan untuk memberikan aksi dukungan terhadapnya. Hal ini dapat diambil kesimpulan bawa seluruh warga dunia memiliki satu pandangan yang sama : menolak tindakan rasialisme.
Demikian sepatutnya yang juga harus disuarakan terhadap Palestina. Sebab tidak hanya satu orang yang terbunuh di Palestina. Sejak Israel menginjakkan kaki di bumi Palestina tahun 1948, ribuan nyawa warga Palestina telah melayang dan jutaan lainnya menjadi pengungsi. Ribuan hektar wilayah mereka diambil paksa. Bahkan ironinya, di tahun 2002 Israel membangun tembok pemisah di Palestina, untuk memisahkan antara pemukiman Palestina dengan Israel.
Maka atas dasar itu semua, dunia harusnya berteriak lantang atas apa yang terjadi di Palestina. Menentang tindakan rasialisme, genosida, pembersihan etnis juga tindak terror yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina, bahkan tak memandang apakah ia anak-anak ataupun perempuan. Sebab bukan hanya satu darah yang telah tumpah.
Akan tetapi lebih dari itu, dunia mesti mencegah terjadinya aneksasi Israel terhadap Tepi Barat. Hal ini akan menyebabkan upaya perdamaian antara kedua negara yang selama ini telah diupayakan dunia. Tidak hanya itu, keadaan ini juga akan menyulut perang. Bagaimanapun Palestina adalah negara berdaulat yang memiliki hak untuk mempertahankan tanah airnya. Perebutan paksa oleh Israel hanya akan menyulut terjadinya perang kedua negara. Apabila ini terjadi, pihak yang paling rentan untuk menjadi korban adalah penduduk sipil terlebih anak dan perempuan.
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.