Pada usia 10 tahun, seorang anak Gaza bernama Noah al-Saqa bermimpi menjadi arsitek untuk membantu membangun kembali Jalur Gaza yang hancur akibat genosida. Menjelang ulang tahunnya pada tanggal 6 Mei, Noah terus meminta orang tuanya untuk mempersiapkan perayaan hari lahirnya tersebut. Akan tetapi seluruh pasar di Gaza telah kosong dan tidak ada bahan untuk kue atau permen yang tersedia karena sejak 2 Maret, tidak ada makanan, barang, atau bantuan kemanusiaan yang diizinkan oleh Israel untuk masuk ke Gaza. Akan tetapi, ibu Noah, Faten (38), melakukan segala cara untuk mewujudkan impian putranya. Faten mencari bahan makanan di kios-kios pasar selama berhari-hari sampai dia berhasil menemukan tepung putih, gula, baking powder dan telur untuk membuat sepotong kue sederhana pada perayaan ulang tahun putranya. "Dia mengundang semua sepupunya, bibi, paman, dan teman-temannya dari lingkungan kami untuk merayakannya," kata ayah Noah, Daoud al-Saqa (43). "Meskipun kami hanya memiliki sedikit yang bisa dirayakan karena genosida ini, sukacita yang ia rasakan turut memenuhi kami dengan kebahagiaan yang luar biasa." Karena tak ada yang bisa diberikan oleh sang ayah sebagai hadiah, Daoud akhirnya menawarkan Noah 20 shekel (sekitar delapan dolar), dan mengatakan kepada Noah bahwa dia bisa membeli apa pun yang dia suka. “Hadiahnya adalah bola sepak dan 170 shekel yang dikumpulkan dari bibi dan pamannya. Dia ingin mengumpulkan uang itu untuk membeli sepeda," kata ayahnya sambil menahan air mata. “Aku memeluk dan menciumnya, tidak pernah membayangkan itu akan menjadi momen kebersamaan yang terakhir kalinya.” Malam sebelum hari ulang tahunnya, Noah sangat gembira. Dia tidak bisa tidur malam itu karena kegembiraan dan menolak untuk mengganti pakaian ulang tahunnya. Keesokan harinya, Noah meminta makanan kepada ibunya. Ibunya mengatakan bahwa satu-satunya pilihan adalah daging kaleng, kemudian Noah mengambil 20 shekel dari uang ulang tahunnya dan mengatakan dia akan bermain sepak bola dengan teman-temannya dan membeli makanan ringan dari pasar terdekat. Sekitar pukul 3 sore, keluarga Noah mendapatkan kabar bahwa dua serangan udara Israel menghantam daerah tempat tinggal mereka, menargetkan restoran Thailand di lingkungan Rimal, utara Kota Gaza, dan pasar yang berdekatan dengan restoran itu. Pasar itu adalah tempat tujuan Noah. Keluarganya bergegas mencari Noah, dan ketika tidak menemukan Noah di lokasi, mereka segera berlari ke RS al-Shifa. Di sana, putra mereka tergeletak di tanah dalam genangan darah, tidak bergerak. Seperti semua anak di Gaza, Noah kecil juga takut dengan bom. Setiap kali dia mendengar ledakan, dia akan lari ke ayahnya, memeluknya dengan erat, dan berteriak ketakutan. Noah sering bertanya kepada ayahnya apakah ada tempat di dunia tanpa pengeboman, apakah mereka bisa pergi ke sana, dan kapan genosida ini akan berakhir. Noah adalah satu di antara 52.908 warga Gaza yang menjadi korban genosida Israel, termasuk lebih dari 17.000 anak-anak. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Noah berharap pelukan ayah akan melindunginya dan belaian dari ibu akan menghangatkannya. Tapi sayangnya tidak, meski pelukan dan belaian ibu tetap ia dapatkan, namun tubuhnya telah menjadi kaku, dingin, dan mati rasa. Maka di Gaza, pelukan dan ungkapan rasa sayang lainnya sungguh berarti, sebab bisa jadi itu adalah yang terakhir kali. Di Gaza, pengeboman tidak akan memberi belas kasihan pada siapa pun. Itulah sebabnya banyak keluarga di Gaza lebih memilih untuk tetap tinggal bersama dengan keluarga mereka, meski harus berdesakan di tempat penampungan atau tenda pengungsian. Setidaknya mereka akan wafat bersama jikalau bom-bom itu dijatuhkan ke daerah mereka; tidak ada yang meninggalkan dan tidak ada yang ditinggalkan. Warga Gaza lebih memilih untuk syahid dengan terhormat di tanah mereka sendiri, meski itu berarti mereka harus menghadapi penderitaan yang bertubi-tubi. Apa yang dilakukan oleh Israel di Gaza merupakan pembersihan etnis yang sangat jelas. Sebanyak 21 perempuan dibunuh setiap harinya, atau satu perempuan setiap jamnya, dengan tujuan untuk memutus generasi keluarga Palestina. Saat ini, tercatat ada 12.400 korban perempuan di Gaza, kebanyakan adalah mereka yang masih dalam usia subur. Ini semakin memperjelas bahwa Nakba tidak hanya terjadi pada 1948, tetapi masih terus berlangsung karena Israel masih melakukan segala cara untuk mewujudkan pembersihan etnis dan mengusir penduduk asli Palestina dari tanah mereka. “Kakaknya Noah, Adam (12), terus memegang bola yang dibawanya sebagai hadiah untuk Noah. Ia menangis dan bertanya kepada saya, ‘Siapa yang akan bermain dengan saya sekarang?’ Saya tidak punya jawaban,” kata ayah Noah. “Mengapa dunia diam saat anak-anak kami dibunuh? Anak saya tidak bersalah. Ayah macam apa yang bisa menahan rasa sakit yang membakar di dada? Apa kejahatan anakku? Apakah karena kami orang Palestina dan tinggal di Gaza kemudian darah kami menjadi begitu murah?”