Tulisan ini mengulang. Penulis sering menulis kisah dan itu berulang terjadi. Pernah sewaktu masih pelajar SMU tingkat akhir, penulis ke kantor pemerintahan sipil di Tepi Barat yang saat itu masih dikuasai Israel untuk mendapatkan surat izin perjalan ke Yordania. Di gerbang kantor, pasukan pasukan Yahudi yang saya tidak mengerti bahasanya. Saya masuk melalui pintu yang berbeda dari yang diinginkan. Serdadu Israel langsung bereaksi keras dan memaki-maki harga diri ibu saya. Agaknya dia hanya mengerti dan menggunakan bahasa Arab untuk mencela dan memaki.
Beberapa hari lagi saya masuk ke gedung yang sama. Saya juga menemukan pasukan Israel yang memaki dan mencerca. Saya diejek karena berat badan berlebihan dan ditertawakan. Saya hanya diam. “Ini kesabaran orang lemah menghadapi orang yang berkuasa yang kejam”.
Dua tahun kemudian, gedung tersebut dikuasai dan dikendalikan oleh kementerian dalam negeri Palestina berdasarkan perjanjian Oslo. Masuk tanpa diperiksa, pegawai di dalamnya kita kenal. Anda seperti masuk rumah sendiri dan bahkan disambut. Jika anda tidak suka dengan layanan mereka Anda bisa memprotes tanpa takut ditembak, ditangkap, dihina. Masalah anda akan segera diselesaikan.
Itulah perbedaan antara perlakukan saat hidup dalam penjajahan dan setelah terbebas. Ada perbedaan kondisi kejiwaan.
Sekarang siapakah orang Palestina yang tidak ingin bebas dari penjajahan meski dari perlakuan di atas. Mungkin hanya “jongos penghianat” mata-mata Israel yang rugi dunia akhirat saja yang rela seperti itu. Bahkan terhadap mata-mata itu pun Israel menghina habis-habisan.
Namun saya tetap mengkritik perjanjian Oslo dan pada saat yang sama merasa nyaman bebas sebagian dari kekejaman penjajah Israel setiap harinya. Kekejaman Israel itu hanya beranjak dari sedikit wilayah Palestina. Sementara ratusan perlintasan di wilayah Tepi Barat masih tersebar.
Warga Palestina ingin bebas dari penjajah dan segala detail kekerasan, prosedur ketat dan kekuasaan mereka atas kehidupan warga. Warga sudah bosan dengan perlintasan-perlintasan militer dengan perlakukan kejam serdadunya. Serdadu yang jika mau mereka tersenyum namun ada maunya meski hanya sebatang rokok atau sejumlah uang, namun lebih sering menghina dan mencerca.
Warga ingin bebas dan ingin bepergian bebas tanpa tunduk kepada syarat-syarat Israel.
Sudah pasti dengan Oslo, bangsa Palestina terbebas dari sebagian penjajahan Israel. Bebas dari pasukan penjaga perbatasan yang melecehkan setiap pengguna jalan, menggerebek rumah-rumah dan sekolah, menggebuki kami. Sebelumnya, kawasan A di Tepi Barat aman.
Namun Israel kemudian menguasai kehidupan dan nasib kami. Pemukiman Yahudi makin meruyak. Proyek yahudisasi makin meluas di Al-Quds. Seakan kanker kejam menguasai sebuah jasad yang sudah rapuh. Warga senantiasa dihantui ketakutan terhadap serdadu Israel asal Falasha, Rusia, dan lain-lain yang berada di dekat rumah mereka.
Inilah dimensi kejiwaan negative dari sebuah bangsa yang berada dalam penjajahan yang dikejar-kejar oleh paranoid keamanan. Di dunia sana ada yang bilang, bahwa penjajahan sudah hilang. Sampai Qadafi pernah mengusir pekerja Palestina dari Libia. Lantas apa kaitanya kondisi sekarang? Intidadhah Al-Quds adalah; kami bangsa hidup di bawah penjajahan dan ingin bebas meski harus dibayar dengan darah dan kerusakan. (at/infopalestina)