Untuk pertama kalinya, dunia menyaksikan genosida terbesar pada abad 21: agresi Israel di Gaza. Serangan bom yang masih terus berlangsung selama lebih dari 40 hari ini telah mengakibatkan pembantaian besar penduduk sipil tidak berdosa, menghancurkan infrastruktur dan menjatuhkan sistem kesehatan dan layanan mendasar warga Palestina di Gaza.
Tercatat pada 16 November, jumlah kematian mencapai total 11.697, yaitu sebanyak 11.500 di Jalur Gaza dan 197 di Tepi Barat, dengan total 32.500 orang terluka. Anak dan perempuan masih menjadi target utama serangan, dengan 4.710 anak terbunuh di Jalur Gaza dan 49 di Tepi Barat. Jumlah perempuan meninggal di Gaza mencapai 3.160 jiwa dan lansia 682. Selain itu, dilaporkan jumlah orang hilang mencapai 3.640 jiwa, dengan jumlah anak hilang 1.770.
Dari 35 rumah sakit di Gaza, 22 rumah sakit saat tidak berfungsi karena pengeboman Israel tanpa henti dan menipisnya cadangan bahan bakar. Kekurangan bahan bakar membuat dokter tidak punya pilihan selain melakukan operasi tanpa anestesi yang tepat, termasuk terhadap korban yang terluka dalam serangan udara dan perempuan yang menjalani operasi caesar. Sebanyak 53 ambulans telah hancur, 198 tenaga kesehatan gugur, dan 49 pusat kesehatan berhenti beroperasi.
Meskipun banyak pemimpin dunia menutup mata atas genosida ini, masyarakat internasional di berbagai negara telah menyuarakan dukungan mereka atas Palestina. Berbagai aksi turun ke jalan berlangsung di berbagai negara, menunjukkan bahwa pada akhirnya dunia membuka mata pada Palestina dan turut menyuarakan keadilan bagi rakyatnya yang tertindas. Banyak orang pada akhirnya melihat bahwa “cukup jadi manusia, untuk membela Palestina”, karena kondisi kemanusiaan di tanah itu telah memprihatinkan sejak lama, bahkan jauh sebelum agresi Gaza 7 Oktober 2023. Berikut beberapa faktanya.
Pertama, Palestina adalah bangsa pengungsi terbesar dan terlama di dunia
Palestina merupakan bangsa pengungsi terbesar dan terlama di dunia. Menurut Badan Statistika Palestina (Palestinian Central Bureau Statisctics/PCBS), ada sekitar 14,3 juta warga Palestina di seluruh dunia pada pertengahan tahun 2022, dengan sekitar 5,35 juta jiwa yang berada di wilayah Palestina (Tepi Barat dan Jalur Gaza). Artinya, terdapat lebih banyak orang Palestina yang berada di diaspora, yaitu 8,95 juta jiwa. Menurut data badan pengungsi dunia, UNHCR, pada 2022 diperkirakan sebanyak 6 juta pengungsi berasal dari Palestina dan merupakan kedua terbanyak setelah Suriah. Meski demikian, banyak pengungsi Suriah juga berasal dari Palestina, yaitu mereka yang masih menjadi pengungsi di Suriah maupun yang telah mengungsi lagi ke negara lain di sekitarnya, sejak konflik meletus di Suriah pada 2010.
Bukan hanya salah satu yang terbesar, Palestina juga merupakan pengungsi terlama karena telah memiliki sejarah pengungsian sejak tahun 1948. Peristiwa Nakba yang berarti malapetaka pada 1948 menjadi momen pertama yang membawa bangsa Palestina untuk pertama kalinya menjadi bangsa yang terusir dari tanah mereka. Sekitar 750.000 orang melarikan diri dari pembantaian yang terjadi setelah Israel mendeklarasikan berdirinya negara di wilayah tersebut dengan melakukan pembantaian dan pengusiran masal atas rakyat Palestina.
Pada 1967 saat Israel menguasai Al-Quds (Yerusalem) Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza, serta Dataran Tinggi Golan Suriah dan Semenanjung Sinai Mesir, gelombang kedua pengungsi Palestina membawa sekitar 350.000 pengungsi ke wilayah-wilayah di sekitarnya. Banyak di antara mereka yang masih terus mewariskan status sebagai pengungsi hingga generasi kedua dan ketiga sehingga pengungsi Palestina menjadi yang terlama di dunia. Hingga kini, dari keseluruhan 35,5 juta pengungsi di seluruh dunia, sekitar 17% (6 juta jiwa) di antaranya adalah berasal dari Palestina. Infografis berikut ini menunjukkan lebih dari 70 tahun perjalanan pengungsi berdasarkan negara asal mereka dari tahun 1951 hingga 2022.
Pengungsi menurut negara asal (1951-2022)
Menurut data badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, dari sekitar 5,9 juta jiwa pengungsi yang terdaftar di badan tersebut, sebanyak 2,4 juta orang tinggal di Yordania, 1,6 juta jiwa di Jalur Gaza, 901.000 orang di Tepi Barat, 580.000 di Suriah, dan 487.000 orang di Libanon.
Sebaran Pengungsi Palestina yang Terdaftar di UNRWA
Pengungsi Palestina berbeda dengan kebanyakan pengungsi lainnya di dunia. Karakter unik pengungsi Palestina adalah keinginan mereka untuk kembali, yang sebetulnya memiliki landasan hukum internasional melalui Resolusi PBB 194 (III). Dalam resolusi tersebut, dinyatakan bahwa “PBB memutuskan bahwa para pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga mereka harus diizinkan untuk melakukannya sedapat mungkin, dan bahwa kompensasi harus dibayarkan untuk properti mereka yang memilih untuk tidak kembali, pengembalian dan untuk kehilangan atau kerusakan harta benda yang menurut prinsip-prinsip hukum internasional atau keadilan, harus diperbaiki oleh pemerintah atau otoritas yang bertanggung jawab”.
Pada 1948-1949, untuk merealisasikan hak kembali tersebut, PBB mendirikan sebuah badan yaitu United Nations Conciliation Commission for Palestine (UNCCP). Meski demikian, UNCCP tidak berhasil mewujudkan tugas itu. Kemudian pada 1950, berdasarkan Res. 302 (IV), Majelis Umum PBB membentuk Agensi Pekerjaan dan Pemulihan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat atau United Nation Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA) dan menugaskan badan tersebut untuk menangani pengungsi Palestina.
Saat ini, lebih dari tujuh dekade telah berlalu, namun hak para pengungsi untuk kembali tidak kunjung tercapai. Sejak tahun 1948, penjajah Israel menolak untuk menangani masalah pengungsi, dan tuntutan para pengungsi Palestina untuk kembali ke desa asal mereka terus ditolak. Bahkan, Israel menganggap keterlibatan internasional melalui International Committee of the Red Cross (ICRC) dan UNRWA sebagai hambatan bagi mereka yang terus berupaya melakukan penghapusan etnis Palestina.
Baik di negara lain maupun di dalam wilayah Palestina (Tepi Barat dan Jalur Gaza), pengungsi Palestina masih terus memiliki status sebagai pengungsi. Negara-negara Arab yang menjadi tuan rumah dalam menerima pengungsi Palestina, mengembangkan pendekatan yang berbeda-beda terhadap dilema mempertahankan prinsip hak untuk kembali dan mengenai bagaimana mengintegrasikan orang-orang Palestina ke dalam masyarakat mereka dengan hak-hak sosial, termasuk akses ke pasar kerja dan layanan publik. Banyak orang Palestina yang telah kehilangan kewarganegaraan dan hidup tanpa kewarganegaraan sejak 1948. Bahkan dalam banyak kasus, keturunan mereka juga mewariskan status sebagai pengungsi dan tidak menjadi warga negara manapun di dunia.
Sementara itu, para pengungsi di Tepi Barat maupun Jalur Gaza juga tidak dapat kembali ke rumah mereka. Israel memberlakukan blokade atas Gaza yang membuat penduduknya memiliki keterbatasan untuk keluar masuk wilayah tersebut. Israel juga menerapkan berbagai aturan kependudukan maupun pembatasan fisik berupa pos pemeriksaan dan tembok apartheid di Tepi Barat yang membuat pengungsi tidak pernah dapat kembali ke rumah mereka.
Kedua, kemiskinan membawa sepertiga populasi di Palestina mengalami kerawanan pangan
Pada awal 2023, World Food Program menyebutkan bahwa perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi, serta konflik dan penjajahan telah menyebabkan kerawanan pangan dan kemiskinan di seluruh dunia. Jumlah orang kelaparan di seluruh dunia melonjak dari 282 juta menjadi sekitar 345 juta sejak awal 2022, dan pada pertengahan tahun, WFP memperhitungkan lebih dari 111 juta orang membutuhkan bantuan pangan, dengan rekor peningkatan menjadi 153 juta orang pada akhir tahun.
Di Palestina, ketiga faktor ini menjadi sebuah kombinasi yang mematikan. Perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi, dan penjajahan menjadi satu, menyebabkan krisis kemanusiaan yang mendalam dan berlarut-larut. Lebih dari 75 tahun setelah Nakba 1948, dampak penjajahan terhadap kerawanan pangan di Palestina telah diperparah oleh perang di Ukraina, pemulihan yang lambat dari agresi yang berlangsung berturut-turut di Gaza pada 2021 dan 2022, peningkatan kekerasan di Tepi Barat, pandemi COVID-19, dan kini pengeboman yang belum berakhir di Gaza yang membawa 2,3 juta jiwa penduduknya berada dalam kelaparan akibat agresi-genosida dan blokade total. Makanan dan air hampir habis, tempat penampungan bagi para pengungsi sangat penuh sesak, tanpa bahan bakar dan listrik. Selain itu, layanan kesehatan dan sanitasi runtuh,
Jauh sebelum agresi yang dimulai pada 7 Oktober ini, situasi blokade Gaza sejak 2006 telah membawa wilayah itu ke dalam kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2021, Gaza hanya menyumbang 18 persen terhadap perekonomian Palestina secara keseluruhan, atau hanya setengah dari kontribusi sebelumnya pada 30 tahun lalu (sebelum blokade). Sekitar 300.000 pekerja menganggur, dengan 80 persen pabrik tutup sejak awal blokade. Pembatasan telah mempersulit impor bahan mentah dan peralatan yang diperlukan untuk pabrik, dan pemadaman listrik yang terus-menerus juga membatasi kemampuan para pengusaha untuk menjalankan bisnis secara efektif. Akibatnya, pengangguran tidak dapat dihindarkan. Sebanyak 45 persen penduduk Gaza menganggur, dengan tingkat kemiskinan hampir 50 persen, menyebabkan warga Palestina di Gaza sangat bergantung pada bantuan internasional.
Adapun di Tepi Barat, kondisi semakin memburuk dan persediaan pangan semakin menipis. Bahkan sebelum agresi Gaza yang turut membawa banyak pelanggaran Israel di Tepi Barat, kekerasan di Tepi Barat yang telah meningkat sejak awal tahun mengakibatkan situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu. Penjajahan membawa ekonomi Palestina dalam stagnasi yang signifikan, karena hilangnya tanah Palestina dan terbatasnya perdagangan dan akses mereka terhadap sumber daya, sehingga kemiskinan dan angka pengangguran tidak dapat dihindari.
Secara keseluruhan di Palestina, sebelum terjadinya agresi terbaru di Gaza, sepertiga penduduk (33,6%), atau 1,84 juta orang mengalami rawan pangan. Kerawanan ini cukup tinggi di kalangan perempuan, yaitu dari 36% keluarga yang dikepalai perempuan, khususnya di Jalur Gaza, 63,3% di antaranya mengalami kerawanan pangan. Saat ini dengan kondisi blokade total dan serangan mengerikan Israel ke Gaza, kebutuhan akan pangan dan air bersih semakin besar, sementara kemampuan untuk memenuhinya jadi sangat terbatas.
Ketiga, orang Palestina merupakan korban kejahatan apartheid Israel
Sejak menjajah Tepi Barat dan Al-Quds Timur pada 1967, Israel menjalankan dua sistem hukum terpisah di wilayah Palestina. Bagi warga Palestina di Tepi Barat, Israel menetapkan hukum militer, sementara pemukim Yahudi yang tinggal di Tepi Barat tunduk pada kerangka hukum sipil Israel.
Penerapan hukum semacam ini bukan hanya melanggar hukum internasional, melainkan juga memberikan implikasi yang luas karena memberi ruang bagi Israel untuk sesukanya menerapkan berbagai operasi militer bagi penduduk Palestina.
Setiap harinya, Israel mengirimkan pasukan ke berbagai wilayah di Tepi Barat untuk melakukan penangkapan dengan dalih ‘mencari orang yang dicari’, melakukan berbagai penyergapan, menawan rakyat sipil, menerapkan hukuman kolektif, serta menindak dengan senjata tajam tanpa alasan. Israel juga menangkap penduduk Palestina, termasuk anak-anak, dengan sebuah bentuk hukuman yang bernama hukuman administratif. Ini adalah sebuah praktek penangkapan dengan alasan keamanan yang seringkali dirahasiakan. Para tawanan tidak mendapatkan hak untuk membela diri bahkan seringkali tidak mendapatkan proses peradilan yang benar. Penahanan administratif juga memungkinkan hukuman bagi tawanan diperpanjang terus-menerus tanpa kejelasan.
Diperkirakan jumlah pria, wanita, dan anak-anak Palestina yang dihukum di pengadilan militer Israel melebihi 700.000 orang, menurut sumber-sumber PBB. Laporan hak asasi manusia Departemen Luar Negeri AS pada tahun 2014 mengenai Israel menyatakan bahwa pengadilan militer Israel memiliki tingkat hukuman lebih dari 99 persen terhadap terdakwa Palestina. Kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan bagaimana Israel memperlakukan para pemukim kolonial yang seringkali melakukan serangan terhadap penduduk Palestina namun tidak pernah diadili, bahkan kebanyakan di antaranya justru didukung oleh tentara.
Tindak apartheid Israel lainnya tampak jelas dengan adanya tembok pemisah di Tepi Barat. Pembangunan tembok Apartheid Tepi Barat telah dimulai israel sejak dua puluh satu tahun yang lalu, tepatnya pada 23 Juni 2002. Pada tahun 2003, penjajah Israel telah membangun 143 kilometer dari struktur kolosal, yang diproyeksikan akan membentang sepanjang 712 kilometer. Pada 2022, PBB memperkirakan bahwa sekitar 65% dari rencana pembangunan tersebut telah selesai. Bertentangan dengan dalih pembangunannya yang dikatakan untuk menjaga keamanan, wilayah pembangunan tembok melenceng jauh dari Garis Hijau, dengan 85% berada di wilayah Tepi Barat. Garis Hijau merupakan penanda perbatasan antara wilayah Palestina dengan Israel (Palestina yang dijajah). Oleh karena itu, dua tahun kemudian, pada 2004, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa tembok Israel di Tepi Barat yang diduduki dan di Al-Quds Timur adalah ilegal.
Lebih dari sekadar kebijakan apartheid, tembok pemisah Tepi Barat merupakan upaya Israel untuk mengontrol dan menindas rakyat Palestina. Pembangunan tembok berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari warga Palestina, sebab tembok ini memisahkan ribuan warga Palestina satu sama lain, tanah pertanian yang mereka miliki, dan juga infrastruktur dan layanan penting yang dibutuhkan.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan tembok apartheid telah banyak memberikan dampak ekonomi bagi palestina. Pembatasan perjalanan di dalam maupun keluar Tepi Barat telah membatasi pergerakan barang dan orang sehingga sektor ekonomi semakin melambat. Bank Dunia memperkirakan pada 2013 bahwa pembatasan pergerakan akibat tembok apartheid telah merugikan ekonomi Palestina sebesar $3,4 milyar per tahun. Akses ke lokasi pekerjaan di “Israel” yang pernah menjadi sumber pendapatan utama bagi banyak masyarakat perbatasan telah sangat berkurang.
Pendapatan dari perdagangan dan manufaktur turun drastis, karena berkurangnya pembelian oleh pekerja yang sebelumnya bekerja di “Israel”. Pembatasan perjalanan juga membatasi pelanggan untuk mengakses pasar lain, sementara produsen dan pekerja pertanian tidak dapat secara teratur mengangkut barang ke pasar di tempat lain di Tepi Barat.
Padahal, di tengah menurunnya lapangan kerja di sektor lain (karena penjajahan), pertanian menjadi sumber penghidupan yang sangat penting di berbagai wilayah subur di Tepi Barat. Namun, kemampuan sektor pertanian untuk berkembang semakin menurun akibat pembangunan tembok apartheid yang secara total menghalangi akses para pemilik tanah. Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, pada 2003, sebanyak 45% penduduk Palestina bekerja di bidang pertanian, termasuk kehutanan dan perikanan.
Namun pada 2017, persentasenya turun menjadi hanya 14%. Khusus di Tepi Barat, sebelumnya data menunjukkan 30% penduduk bekerja di pertanian pada 2013, meskipun hanya 16% yang bertahan di industri tersebut pada 2017. Sementara pada 2022, di tengah pelambatan ekonomi Palestina yang hanya mencapai pertumbuhan 3,6%, dibandingkan pertumbuhan tahun 2021 yang mencapai 7%, sektor yang paling menurun adalah pertanian, yaitu dengan penurunan nilai tambah sebesar 2,6%.
Keempat, hampir setengah penduduk Palestina adalah anak-anak yang menjadi sasaran penjajahan Israel
Hampir setengah dari populasi Palestina di tepi Barat dan Gaza merupakan anak-anak usia 18 tahun ke bawah. Persentase penduduk berusia 0–14 tahun mencapai 38% dari total penduduk pada pertengahan tahun 2022, yaitu 36% di Tepi Barat dan 41% di Jalur Gaza. Khususnya di Gaza, 65% penduduk berusia di bawah 24 tahun dan usia rata-rata bagi pria dan wanita adalah 18 tahun.
Baik di Gaza maupun Tepi Barat, anak-anak Palestina merupakan sasaran bagi penjajah Israel. Di Gaza yang saat ini tengah menghadapi genosida, korban jiwa anak-anak per tanggal 12 November telah mencapai angka 4,506 anak, atau 40% dari total korban jiwa. Jika dirata-rata, setiap harinya sejak 7 Oktober, sekitar 176 anak menjadi korban agresi. Sementara itu, sekitar 1.500 anak masih belum ditemukan dan ribuan lainnya mengungsi ke selatan setelah serangan Israel intensif berlangsung di utara Gaza.
Saat agresi tidak terjadi, anak-anak di Gaza telah kehilangan masa kecil mereka yang normal. Sekitar
800.000 anak-anak Gaza tidak pernah hidup tanpa blokade, sehingga sehari-harinya harus menghadapi berbagai situasi yang mengancam jiwa. Penelitian terbaru Save the Children pada 2022 menunjukkan bahwa kesejahteraan mental anak-anak dan remaja telah memburuk secara drastis sejak laporan terakhir mereka empat tahun lalu, dengan jumlah anak-anak yang melaporkan tekanan emosional meningkat dari 55 menjadi 80 persen.
Adapun di Tepi Barat yang dijajah, anak-anak Palestina kerap kali menjadi sasaran kekerasan dan pelanggaran tentara maupun pemukim Israel. Pada paruh pertama tahun 2023, PBB telah mencatat lebih dari 423 pelanggaran yang menargetkan anak-anak, antara lain: penembakan sekolah atau siswa, penghancuran gedung sekolah, penghadangan siswa di pos pemeriksaan, gangguan dan pelecehan oleh pemukim, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya. Akibatnya, sebanyak 50.000 anak Palestina terkena dampak yang mengganggu mereka secara fisik maupun psikologis sehingga memengaruhi mereka saat menjalani proses belajar di sekolah.
Selain itu, seperti halnya orang dewasa, anak-anak Palestina menghadapi penangkapan, penuntutan, dan pemenjaraan di bawah sistem penahanan militer Israel yang mengabaikan hak-hak dasar mereka. Israel menggunakan Perintah Militer 1651 sebagai landasan hukum untuk membawa anak-anak berusia di atas 12 tahun ke pengadilan militer serta menerapkan beberapa aturan yang berbeda sesuai dengan kategori usia. Anak-anak berusia 16—17 tahun mendapatkan sanksi yang sama dengan usia dewasa, sedangkan anak usia 14—15 tahun, atau yang disebut oleh Israel sebagai ‘dewasa muda’ (young adult)
dapat dikenakan hukuman maksimal penjara hingga 12 bulan. Namun, mereka juga dapat dikenai hukuman hingga lima tahun atau lebih jika Israel menganggap mereka melakukan ‘pelanggaran- pelanggaran tertentu’. Sementara itu, anak berusia 12 – 13 tahun mendapatkan hukuman maksimal 6 bulan penjara.
Sejak 2000, terdapat 12.000 anak-anak Palestina yang ditawan dengan mayoritas alasan karena melempar batu, dan hanya karena itu mereka dapat dikenakan tuntutan hingga 20 tahun penjara. Bahkan, Israel menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara sistematis mengadili antara 500 dan 700 anak di pengadilan militer setiap tahunnya, dengan tuduhan paling umum melempar batu.
Hutang untuk Gaza
Tanggal 7 Oktober bukanlah awal dari jatuhnya nilai kemanusiaan di Palestina. Jauh sebelum itu, pada Nakba 1948, lebih dari 13.000 orang palestina telah terbunuh saat Israel mendeklarasikan diri di atas tanah Palestina. Di Gaza, jauh sebelum orang-orang di utara mengungsi ke selatan, mereka sudah berstatus pengungsi, karena 70% penduduk Gaza adalah pengungsi Palestina.
Saat ini, serangan Israel ke Gaza masih terus berlangsung tanpa henti. Jumlah anak-anak yang tewas di Gaza sejak 7 Oktober telah melampaui jumlah anak yang tewas setiap tahun di zona konflik di seluruh dunia sejak tahun 2019. Israel secara membabi buta menyerang segalanya. Mulai dari perumahan sipil, tempat ibadah, gedung sekolah, bahkan rumah sakit. Perkembangan terbaru (15/11), tentara Israel bahkan mulai memasuki Rumah Sakit Al-Shifa untuk menggerebek dokter-dokter dan ratusan pasien di dalam, menciptakan teror di rumah sakit, menyandera banyak di antara mereka, menembak siapa pun yang mereka kehendaki, bahkan meledakkan ruangan obat dan alat medis.
Pelanggaran semacam ini, belum pernah ada tandingannya di dunia. Oleh karena itu, sekalipun agresi berhenti saat ini, dunia masih memiliki hutang untuk Gaza dan Palestina. Pemulihan dari sebuah kota yang hancur dan penduduk yang mengalami genosida tidak cukup hanya dengan bantuan internasional. Uang dan bantuan tidak dapat membangkitkan kembali mereka yang telah mati. Palestina membutuhkan kebebasan sebagai sebuah negara berdaulat yang diakui dunia, dengan hak-hak yang sama seperti bangsa lainnya. Hutang untuk Gaza, hanya dapat dibayar dengan kemerdekaan Palestina.
Daftar Pustaka:
https: /www.pcbs.gov.ps/site/lang en/1405/Default.aspx
https: /www.aljazeera.com/news/longform/2023/6/20/on-world-refugee-day-visualising-the-flow-of- 35-million-refugees
https: /www.aljazeera.com/news/2022/6/24/impoverished-gaza-economy-struggles-under-israeli- blockade
https: /adararelief.com/tahun-baru-2023-ancaman-kelaparan-global-masih-mengintai/
https: /www.middleeasteye.net/news/west-bank-poor-may-double-amid-pandemic-world-bank-says
Pengungsi Palestina dalam Sorotan, Adara Humanitarian Report
Nasib Tawanan Anak Palestina dalam Tahanan Militer Israel, Adara Humanitarian Report
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini
#Palestine_is_my_compass
#Palestina_arah_perjuanganku
#Together_in_solidarity
#فلسطين_بوصلتي
#معا_ننصرها