A. Pengertian Riba
Secara bahasa, riba berasal dari kata ربا – يربو – ربا – ربوة yang berarti tambahan, bertambah, atau tumbuh. Riba ( الربا ) juga berarti ziyadah ( الزيادة ) atau ‘tambahan’ yang jika dilihat dari sudut pandang teknis, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Sementara itu, secara istilah, terdapat hadis yang menjelaskan kaidah umum dalam memahami riba, yaitu:
كل قرض جرّ نفعاً فهو ربا
“Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba.”
Selain itu, terdapat pula beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama. Menurut Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, riba merupakan setiap pinjaman yang di dalamnya disyaratkan adanya tambahan tertentu. Menurut ulama Mazhab Hambali, riba adalah kelebihan suatu harta tanpa penggantian di dalam suatu kontrak pertukaran harta dengan harta.
Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan riba sebagai penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu telah ditentukan.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berpendapat bahwa riba adalah penambahan atas pertukaran harta khusus, yakni harta yang diukur dengan timbangan dan takaran, baik tambahan tersebut terjadi terhadap sesama harta yang ditakar, maupun yang ditimbang atau karena penangguhan pembayaran atas pertukaran harta sejenis.
Pendapat lainnya, yakni menurut Shalih Muhammad as-Sulthan, riba adalah penambahan (melebihkan) harta ribawi yang sejenis yang dipertukarkan serta adanya penangguhan penguasaan terhadap benda yang wajib dikuasai (al-qabd). Sementara itu, dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia dijelaskan bahwa riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (bi la iwadh) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (ziyadat al-ajal) yang diperjanjikan sebelumnya (isytirath muqaddam).
B. Riba dalam perspektif Al-Qur’an dan hadis
Berdasarkan Al-Qur’an dan hadis, segala macam transaksi riba adalah haram hukumnya. Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275–279 yang tertulis secara tegas dan jelas bahwa riba adalah haram.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Ayat-ayat tersebut merupakan ayat dalam Al-Qur’an yang melarang keras praktik riba. Allah melarang riba secara mutlak dan keseluruhan, meskipun jumlahnya sedikit. Hal lain yang juga diterangkan dalam ayat tersebut adalah Allah dan Rasul-Nya akan memerangi pelaku riba, sebab orang yang mengambil riba adalah para penghuni neraka yang kekal di dalamnya.
Dalam hadis, Nabi Muhammad saw. juga memerintahkan agar seorang muslim menjauhi dan menghindari riba:
عَن جَابِرٍ قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عَلَيهِ وسلمَ اَكِلَ الرِّبَا ومُؤكِلهُ وَكاَ تِبَهُ وَشَا هِدَيهِ وَقَالَ هُم سَوَاءٌ
Dari Jabir ra., ia berkata: :”Rasulullah saw melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim)
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي خَيْرَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ
Telah mengabarkan kepada kami [Qutaibah], ia berkata; telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu ‘Adi] dari [Daud bin Abu Hindun] dari [Sa’id bin Abu Khubairah] dari [Al Hasan] dari [Abu Hurairah], ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu zaman, dimana mereka makan riba, dan orang yang tidak memakannya ia akan mendapatkan debunya.” (Nasai)
C. Jenis-jenis riba
Secara garis besar riba terbagi dua:
1. Riba Nasi’ah
Nasi’ah berasal dari kata nasa’a yang berarti menunda, menangguhkan atau menunggu, dan merujuk pada waktu yang diberikan kepada peminjam untuk membayar kembali pinjamannya dengan imbalan ‘tambahan’ atau premi. Jadi, Riba Nasi’ah sama dengan bunga yang dikenakan atas pinjaman
2. Riba Fadhl
Dari segi bahasa, fadhl berarti ‘kelebihan’, sedangkan secara istilah, riba fadhl adalah kelebihan atau penambahan kuantitas dalam transaksi pertukaran atau jual beli barang yang jenisnya sama, seperti emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum dsb, yang jumlahnya tidak sama.
Beberapa ulama lainnya ada yang membagi riba sebagai berikut:
1. Riba qardh, yaitu riba dengan cara meminjamkan uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan bagi pemberi utang.
2. Riba jahiliyyah, yaitu utang yang dibayar lebih dari jumlah yang dipinjam karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang telah ditentukan.
3. Riba fadhl, yaitu pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4. Riba nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya. Riba jenis ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
D. Praktik riba pada masa jahiliyah
Beberapa literatur klasik (kitab turats atau manuskrip) menggambarkan dua bentuk praktik riba pada masa jahiliyah. Pertama adalah riba nasi’ah yang pada akhirnya dikenal dengan istilah riba jahiliyah, dan yang kedua adalah riba fadhl.
Di antara bentuk riba nasi’ah (riba jahiliyah) adalah jika A berutang kepada B dengan janji akan dilunasi ketika jatuh tempo. Namun, ternyata A tidak dapat melunasinya pada waktu yang telah disepakati. Kemudian B memberikan tenggang waktu, tetapi dengan kompensasi A harus menambahkan jumlah uang yang harus dikembalikannya.
قال مجاهد : كانوا في الجاهلية يكون للرجل على الرجل الدين، فيقول له لك كذا وتؤخر عني، فيؤخر عنه
Mujahid mengatakan bahwa pada masa jahiliyah jika seseorang berutang pada orang lain, kemudian batas waktunya tiba, ia berkata, ‘saya tambahkan untuk kamu sekian, asalkan kamu tambahkan waktu untuk saya melunasinya.
Riba jenis ini juga terjadi ketika pertukaran antara barang sejenis dengan jumlah yang tidak sama. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Bilal datang ke Rasulullah saw membawa kurma dan memberikannya kepada beliau. Kemudian beliau bertanya, “Dari mana kurma ini, wahai Bilal?” Bilal menjawab, “Aku memiliki dua sha’ kurma biasa dan aku tukarkan dengan satu sha’ kurma istimewa ini.” Rasulullah saw berkata, “Ini adalah substansi riba”. Pertukaran antara barang sejenis dengan jumlah yang tidak sama adalah riba, yang dikenal dengan istilah riba fadhl.
E. Karakteristik riba pada masa jahiliyah
- Adanya penambahan pada harta pokok (principal).
- Penambahan tersebut didasarkan atas tangguhan waktu atau merupakan kompensasi dari penangguhan pembayaran.
- Penambahan tersebut hanya dilakukan sejak jatuh tempo hingga waktu penangguhan, sedangkan dari waktu transaksi utang hingga jatuh tempo belum dikenakan penambahan.
- Pada masa tersebut, jarang terjadi pinjam meminjam untuk kebutuhan yang sifatnya konsumtif. Namun, lebih pada kebutuhan yang sifatnya produktif, mengingat bahwa masyarakat Mekah pada umumnya adalah pedagang.
F. Ancaman bagi pelaku riba
Riba merupakan salah satu bentuk dosa besar. Pelakunya diibaratkan seperti orang mabuk yang tidak bisa berdiri atau seperti berdirinya orang yang kerasukan. Allah juga mengancam pelaku riba dengan hukuman yang pedih.
1. Dimasukkan ke dalam neraka dan kekal selamanya.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah kepada Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (Surat Al-Baqarah ayat 275)
2. Orang yang tidak meninggalkan riba akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya (maksudnya akan mendapat siksa dan azab-Nya karena melanggar apa yg telah diharamkan Allah dan Rasulullah) serta akan dikategorikan sebagai orang kafir. (jika terucap lewat lisannya bahwa riba bukan haram. Adapun jika dirinya masih mengakui keharamannya, tetapi melanggarnya maka dikategorikan sebagai muslim ‘ashi yaitu muslim yg bermaksiat kepada-Nya)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Surat Al Baqarah ayat 278–279)
3. Mendapatkan laknat Rasulullah saw., sebagaimana sabda beliau:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (رواه مسلم)
Dari Jabir ra beliau berkata, ‘Bahwa Rasulullah saw. melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya, dan saksi-saksinya. Rasulullah Saw. mengatakan, ‘mereka itu sama.’ (HR. Muslim)
4. Halal bagi Allah untuk memberikan azab-Nya. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا ظَهَرَ فِي قَوْمٍ الرِّبَا وَالزِّنَا إِلاَّ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه ابن ماجه)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra dari Rasulullah saw. beliau berkata, ‘Tidaklah suatu kaum melakukan dengan terang-terangan riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan terhadap diri mereka sendiri azab dari Allah Swt.’ (HR. Ibnu Majah)
5. Memakan harta riba lebih berat dosanya dibandingkan dengan tiga puluh enam kali perbuatan zina. Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ حَنْظَلَةٍ غَسِيْلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْهَمٌ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنِيَّةً (رواه أحمد والدارقطني والطبراني)
Dari Abdullah bin Handzalah (ghasilul malaikah) berkata, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam perzinaan.’
(HR. Ahmad, Daruquthni dan Thabrani)
6. Riba memiliki tingkatan-tingkatan. Adapun tingkatan riba terendah adalah seperti seorang laki-laki berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلَ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
(رواه الحاكم وابن ماجه والبيهقي)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra,bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘Riba itu tujuh puluh tiga pintu. Dan pintu yang paling ringannya adalah seumpama seorang lelaki berzina dengan ibu kandungnya sendiri.’ (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi)
G. Pemanfaatan dana riba
Dari penjabaran tersebut, jelaslah bahwa riba haram hukumnya. Sekalipun menggunakan istilah bunga, riba tetaplah riba. Lalu, dalam situasi yang misalnya mengharuskan kita menabung di bank konvensional, kemudian kita memiliki harta riba, bagaimana menyalurkannya untuk amal kebaikan? Apakah diperbolehkan membakar uang yang dihasilkan dari praktik riba?
Para ulama sepakat bahwa harta riba tidak halal bagi seorang muslim untuk memilikinya dan dimanfaatkan sendiri, tetapi Islam juga melarang memusnahkan harta riba tersebut dengan membakarnya. Hal ini sebab jika harta riba tersebut dimusnahkan, sama saja dengan membuang-buang harta. Dengan demikian, harta riba boleh disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, kepada orang yang butuh, fakir miskin, korban bencana alam, pengungsi yang terlantarkan, tetapi tidak boleh digunakan untuk membayar zakat, wakaf, dan tidak boleh digunakan untuk membayar kewajiban pajak dan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemilik harta riba untuk kepentingan dan kebutuhan pribadi. Ini sejalan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No.123/DSNMUI/XI/2018 yang mengatur tentang penggunaan dana yang tidak boleh diakui sebagai pendapatan bagi lembaga keuangan syariah.
Fatwa DSN-MUI No. 123/DSNMUI/XI/2018 merupakan hasil ijtihad ulama yang dituangkan dalam rapat pleno pengurus DSN pada hari Kamis tanggal 30 Safar atau 8 November 2018 di Jakarta. terbagi dalam empat ketetapan yang masing-masing membahas yang termuat dalam kegiatan penggunaan dana yang tidak boleh diakui sebagai pendapatan.
Pertama, ketentuan umum pada bagian pertama menyebutkan bahwa dana yang tidak boleh diakui sebagai pendapatan bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Lembaga Bisnis Syariah (LBS), dan Lembaga Perekonomian Syariah (LPS), yang kemudian disingkat dana TBDSP, adalah dana yang diterima atau dikuasai oleh LKS, LBS, dan LPS, tetapi tidak boleh diakui sebagai kekayaan ataupun pendapatannya. Pada bagian kedua, lembaga keuangan syariah yang selanjutnya disingkat LKS merupakan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha bidang keuangan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. ketiga, lembaga bisnis syariah yang kemudian disingkat LBS, merupakan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan bisnis berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Kemudian yang keempat disebut bahwa lembaga perekonomian syariah, yang selanjutnya disingkat LPS, merupakan badan hukum yang menyelenggarakan perekonomian syariah yang tidak masuk dalam kategori sebagai LKS dan LBS.
Kedua, Ketentuan terkait dana TBDSP, bagian kedua disebutkan bahwa dana TBDSP berasal antara lain dari transaksi tidak sesuai dengan prinsip syariah yang tidak dapat dihindarkan, termasuk pendapatan bunga (riba), transaksi syariah yang tidak terpenuhi ketentuan dan batasannya (rukun dan syaratnya), dana sanksi denda karena tidak memenuhi kewajiban sesuai kesepakatan, dana yang tidak diketahui pemiliknya, diketahui pemiliknya pemiliknya tetapi biaya pengembaliannya lebih besar dari jumlah dana tersebut, dana tersebut boleh diakui sebagai dana TBDSP setelah satu tahun sejak diumumkan kecuali ditentukan lain oleh peraturan undang-undang yang berlaku. LKS, LBS dan LPS wajib membentuk rekening khusus untuk penampung dana TBDSP.
Ketiga, ketentuan terkait penggunaan dana (TBDSP), dana TBDSP wajib disalurkan secara langsung untuk kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Bentuk-bentuk penyaluran dana TBDSP yang dibolehkan adalah bantuan sumbangan secara langsung untuk:
- Penanggulangan korban bencana.
- Sarana penunjang pendidikan Islam.
- Masjid atau musholla dan penunjangnya.
- Pembangunan fasilitas umum yang berdampak sosial.
- Sosialisasi, edukasi, dan literasi ekonomi, keuangan dan bisnis syariah untuk masyarakat umum.
- Beasiswa untuk siswa atau mahasiswa berprestasi atau kurang mampu
- Kegiatan produktif bagi duafa.
- Fakir miskin.
Dana TBDSP boleh disalurkan secara langsung oleh LKS,LBS dan LPS atau melalui lembaga sosial. Dana TBDSP tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan LKS, LBS dan LPS untuk:
- Promosi produk maupun iklan (branding) perusahaan.
- Pendidikan dan pelatihan untuk karyawan.
- Pembayaran pajak, zakat, dan wakaf.
- Pembayaran atau pelunasan tunggakan nasabah (end-user).
- Kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah.
Setiap penggunaan dan penyaluran dana TBDSP harus mendapatkan persetujuan atau opini dari dewan pengawas syariah LKS, LBS, dan LPS tersebut. Dalam hal dana TBDSP digunakan untuk kegiatan produktif maka penyalurannya harus sesuai dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat, ketentuan penutup, jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak mencapai kesepakatan melalui musyawarah. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan disempurnakan sebagaimana mestinya. Dana nonhalal pada lembaga keuangan syariah tidak boleh diakui sebagai pendapatan karena tidak mencerminkan misi syariah. Agar tidak terjadi salah pengertian di dalam lingkup zakat, infak, dan sedakah, meski pada prinsipnya dana tersebut dapat dipergunakan (bukan dana nonhalal dalam arti haram dan tidak bisa digunakan).
Dengan demikian, Allah Swt. melarang umat Islam untuk mengambil riba. Agar terhindar dari praktik riba, harus dipastikan bahwa semua transaksi yang dilakukan, sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Di antara caranya adalah bekerja sama dengan lembaga keuangan yang menjalankan operasionalnya secara secara syariah, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, koperasi syariah, dsb. Karena setiap lembaga keuangan syariah, wajib memiliki dewan pengawas syariah, sehingga sistem operasionalnya dipantau dan diawasi oleh dewan pengawas syariah agar kesesuaian dengan prinsip syariah lebih terjaga dan dijalankan dengan baik.
Semoga Allah Swt. memberikan kita kecukupan dengan yang halal dan dijauhkan dari yang haram. (FAA)
*Ditulis berdasarkan wawancara dengan konsultan syariah Adara Relief Ust. Rikza Maulana
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini