Tidak sampai 24 jam setelah Hakim Donoghue membacakan putusan Mahkamah Internasional, AS mengumumkan rencana penghentian pendanaan terhadap UNRWA, yang diikuti oleh berbagai negara donor lainnya. Meski tidak mengucapkan penolakan secara langsung terhadap putusan ICJ, langkah yang dilakukan AS beserta sekutunya ini menjadi genderang ‘hukuman mati’ bagi penduduk Palestina di Gaza. Hal tersebut sebab UNRWA pada hari ini menjadi nafas penentu hidup mati bagi lebih dari 2 juta penduduk di Gaza. Mematikan lembaga khusus untuk pengungsi Palestina ini berarti mematikan penduduk Palestina, khususnya mereka yang berada di Gaza.
UNRWA dan Signifikansinya untuk Gaza
UNRWA yang merupakan lembaga PBB ini lahir berdasarkan mandat dari Sidang Umum PBB dengan tujuan untuk melayani pengungsi Palestina. Adapun yang dikategorikan sebagai pengungsi Palestina adalah mereka yang bertempat tinggal di Palestina sejak periode 1 Juni 1946 hingga 15 Mei 1948 dan kehilangan rumah serta penghidupannya sebagai akibat dari penjajahan pada 1948.
UNRWA juga memiliki tugas untuk melayani orang-orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan, dalam keadaan darurat jika diperlukan dan dalam bidang layanan UNRWA secara umum, yakni pendidikan dasar, kesehatan dasar, kesehatan mental, bantuan dan layanan sosial, kredit mikro, bantuan darurat, termasuk ketika terjadi situasi konflik bersenjata dalam lima wilayah operasinya yakni Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat, termasuk Al-Quds (Yerusalem) Timur, dan Gaza.
PBB juga memandatkan agensi ini untuk memberikan pertolongan terhadap orang-orang yang terusir dan membutuhkan bantuan akibat perang 1967 dan berbagai peristiwa lainnya. Namun, orang-orang tersebut tidak dikategorikan sebagai pengungsi Palestina, kecuali PBB mengubah mandatnya terhadap UNRWA, beserta pengertian pengungsi Palestina dan kepada siapa UNRWA harus memberikan layanannya.
Seluruh keluarga, anak-anak, dan keturunannya (pengungsi 1948) juga dianggap sebagai pengungsi, jika berdasarkan hukum internasional dan prinsip persatuan keluarga, hingga terdapat solusi jangka panjang yang ditentukan. Berdasarkan ketentuan tersebut, UNRWA juga memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan terhadap keturunan pengungsi di lima wilayah operasinya.
UNRWA memiliki peran sangat penting terhadap kehidupan pengungsi Palestina. Dalam bidang pendidikan, sejak tahun 1950 hingga saat ini terhitung sebanyak 2,5 juta pengungsi Palestina lulus dari sekolah UNRWA, sementara pada 2021, hampir 545.000 orang terdaftar di sekolah UNRWA.
Selain itu, lembaga ini juga telah meningkatkan kesejahteraan para pengungsi Palestina, dan berperan untuk melakukan pengembangan di tingkat lokal maupun regional dalam 70 tahun terakhir. UNRWA memiliki program keamanan sosial yang menyediakan layanan untuk memberikan bantuan makanan dan uang tunai. Sebanyak 1,7 juta jiwa telah mendapatkan bantuan kemanusiaan pada 2021. Terhitung pula sebanyak 398.044 pengungsi di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Suriah, dan Yordania telah mendapatkan bantuan ini pada tahun yang sama.
Signifikansi UNRWA bagi pengungsi Palestina, khususnya warga Gaza, semakin bertambah setelah peristiwa 7 Oktober. Setidaknya 1 juta penduduk Gaza atau hampir 45 persen dari populasinya, berlindung ke sekolah-sekolah UNRWA, klinik, dan berbagai bangunan publik lainnya dari serangan Israel. Hampir seluruh dari warga Gaza menggantungkan harapannya pada lembaga ini untuk pemenuhan kebutuhan pokok, termasuk makanan, air, dan perlengkapan kebersihan.
UNRWA juga membuka lapangan kerja bagi para penduduk pengungsi Palestina. Sebanyak 30.000 orang pekerja UNRWA berasal dari Gaza, Tepi Barat, dan berbagai wilayah pengungsian Palestina. Menurut ILO (Organisasi Buruh Dunia) dan Biro Statistik Palestina, sebanyak 66 persen lapangan pekerjaan di Gaza hilang akibat terjadinya perang, sebab selama ini UNRWA membantu menyediakan lapangan kerja yang menekan angka pengangguran warga Palestina.
Dalam hal pendanaan, lembaga internasional ini mendapatkan suntikan dana dari pengumpulan dana sukarela, yang sebagian besar berasal dari donatur negara. Amerika Serikat merupakan negara donor terbesar bagi UNRWA dengan jumlah bantuan yang mencapai 388 juta dolar AS, diikuti oleh Jerman yang menyumbang 176 juta dolar AS. Jika digabungkan, dana yang berasal dari Amerika dan Uni Eropa menyumbang 46 persen dari kebutuhan UNRWA.
Dengan demikian, 18 negara pendonor yang saat ini menyatakan akan menghentikan bantuan akibat tuduhan tak berdasar Israel, akan menyebabkan lumpuhnya layanan lembaga UNRWA. Akibatnya, UNRWA diperkirakan hanya akan beroperasi hingga akhir Februari ini. Bagi rakyat Gaza, keadaan itu merupakan hukuman mati bagi mereka. Tak cukup mengalami hukuman mati lewat genosida Israel, tetapi mereka juga menerima hukuman mati dari dunia dengan dilaparkan dan diabaikan.
Padahal Tidak Ada yang Berubah Pasca Putusan ICJ
Apa yang dilakukan negara-negara barat terhadap UNRWA merupakan hukuman kolektif yang harus diterima rakyat Gaza akibat putusan ICJ, yang lebih memihak Palestina dibandingkan Israel. Tapi nyatanya, setelah putusan Mahkamah Internasional hingga hari ini, tidak ada yang berubah sedikitpun di Gaza. Ratusan masyarakat sipil masih dibunuh setiap harinya. Rumah-rumah tetap diledakkan. Rumah sakit masih ikut menjadi sasaran.
Putusan ICJ tidak cukup mampu untuk menghentikan penderitaan rakyat Gaza, karena mahkamah ini tidak memberikan perintah terhadap Israel untuk mengakhiri operasi militernya di Gaza. Dengan putusan yang cenderung ‘mengambang’ ini, ICJ seolah ingin menyatakan (dalam titik terekstrem) bahwa ‘silakan membunuh rakyat Gaza, tapi jangan sampai terjadi genosida. Silakan melaparkan penduduk Gaza, tapi jangan sampai membuat mereka mati, cukup membuat mereka menjadi malnutrisi. Silakan menghancurkan Gaza, tapi jangan sampai tertangkap kamera.
Satu-satunya hal positif yang ada setelah putusan ICJ adalah bentuk dukungan yang semakin menguat dari masyarakat sipil dunia. Keputusan ini memperkuat anggapan bahwa mendukung Palestina tidak berarti mendukung Hamas ataupun kelompok-kelompok lainnya; mendukung Palestina tidak berarti mendukung terorisme; mendukung Palestina berarti mendukung kemanusiaan dan penegakkan hak-hak asasi manusia serta menolak eksistensi apartheid. Israel juga kehilangan air mata buayanya dengan menggunakan holocaust sebagai tameng untuk melepaskan tanggung jawab dari kejahatannya terhadap bangsa Palestina.
Namun, keadaan tersebut tidak serta merta mengubah kondisi Gaza, sebab tidak ada yang berubah terhadap sikap-sikap pemimpin negara Barat setelah putusan ICJ. Tidak ada upaya tekanan terhadap Israel agar menghentikan genosida-nya di Gaza. Pun Israel, tidak ada sedikit pun usaha untuk mengurangi serangan. Hingga saat ini, serangan udara masih dilakukan hingga menewaskan puluhan hingga ratusan warga sipil Gaza setiap harinya.
Penduduk Gaza masih dilaparkan, hingga terpaksa harus memakan biji-bijian untuk pakan hewan. Seorang reporter Gaza bahkan pingsan ketika melakukan reportase langsung akibat kelaparan. Rumah sakit masih tidak berfungsi akibat penghancuran dan sabotase militer. Tidak ada yang berubah pada Gaza, tentang kehancurannya, kelaparannya, dan kondisi penduduknya.
Ketiadaan perubahan ini bukan tanpa sebab. Sebagai Mahkamah Internasional, ICJ memang memiliki kekuatan untuk melakukan putusan yang mengikat. Namun, sebagai lembaga internasional, ICJ tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mengimplementasikan putusannya. Berbeda dengan state atau negara, yang putusan pengadilannya dapat dieksekusi oleh aparat negara, ICJ tidak memiliki ‘aparat’ khusus untuk menindaklanjuti putusannya. Mahkamah Internasional memiliki kuasa untuk memberi putusan, tetapi tidak memiliki instrumen untuk penerapannya. Sehingga Israel dengan leluasa terus menjalankan genosidanya.
Ketidakberdayaan ICJ ini juga dapat dipahami bahwa sebagai sebuah lembaga di bawah PBB, kehadiran maupun pendanaan ICJ ataupun PBB didominasi oleh negara-negara barat. Setiap kali ada upaya PBB mengeluarkan resolusi terkait Israel, seketika itu pula AS ataupun sekutunya melakukan veto. Ketika Mahkamah ini mengeluarkan keputusan yang berbeda dengan keinginan AS dan sekutunya, seketika itu pula AS dengan mudah memotong urat nadi lembaga internasional tersebut dengan mencabut pendanaan.
Keadaan inilah yang terjadi terhadap UNRWA. Alih-alih mendukung putusan ICJ, negara-negara barat justru menolak putusan tersebut melalui sikap mereka yang menyatakan bahwa penghentian sementara terhadap pendanaan UNRWA harus dilakukan karena Israel menuding 4 orang staf UNRWA terlibat dalam serangan 7 Oktober. Padahal, tuduhan Israel terhadap staf UNRWA belum dapat dibuktikan. Namun, negara-negara barat dengan terburu-buru menetapkan hukum kolektif terhadap lembaga internasional tersebut.
Genosida yang Justru Semakin Menggila
Namanya Hind. Ia baru berusia tujuh tahun saat tank Israel menembaki mobil keluarganya dan menewaskan bibi, paman, beserta saudara-saudaranya yang ada di sana. Ia satu-satunya orang yang hidup. Saat ia berkomunikasi dengan ibu dan tim Bulan Sabit Merah dari mobilnya, situasi terasa mencekam, ia terdengar sangat ketakutan, dan meminta siapa pun untuk segera menolongnya. Ketika tembakan terdengar semakin kencang, komunikasi dengannya terputus.
Tak ada yang tahu nasibnya saat itu, apakah ia hidup atau wafat. Tim Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) kemudian memutuskan untuk mencoba menyelamatkan Hind. Namun, PRCS justru kehilangan komunikasi dengan dua petugasnya, Yousef dan Ahmed, yang hendak melakukan evakuasi. Hingga akhirnya, 12 hari sesudahnya, mobil Hind ditemukan, begitu pula mobil ambulans yang dibawa oleh Yousef dan Ahmed yang ditemukan tidak jauh dari sana. Hind dan keluarganya telah menjadi jenazah, sedangkan kondisi ambulans tim PRCS jauh lebih mengenaskan. Israel memilih untuk mengabaikan aturan hukum internasional yang melarang penyerangan terhadap tim dan fasilitas medis dengan meledakkan ambulans tersebut, hingga hangus terbakar.
Foto Hind dan tim Bulan Sabit Merah yang menolongnya (paling kiri), mobil yang ditumpangi Hind (tengah), dan tank tim Bulan Sabit Merah yang diledakkan Israel (paling kanan). (QNN, BBC)
Hind adalah satu dari ribuan kisah orang-orang yang dibunuh Israel pasca dikeluarkannya putusan ICJ. Setiap harinya, Israel masih melakukan pembantaian di berbagai tempat di Gaza yang menyebabkan puluhan hingga ratusan orang terbunuh. Tidak ada yang berubah dengan adanya putusan Mahkamah Internasional di Gaza, yang ada genosida justru semakin menggila.
Konferensi Kembali ke Gaza
Alih-alih menunjukkan sikap untuk menghentikan genosidanya ke Gaza, pada 24 Januari lalu Israel justru menyelenggarakan konferensi kembali ke Gush Katif, bekas permukiman Israel di Gaza. Sebanyak 12 menteri, 15 anggota parlemen Israel (Knesset) dan 3000 orang menghadiri konferensi yang mengajak orang Yahudi untuk kembali menjajah dan mendiami Gaza.
“Bagian dari mengoreksi kesalahan Perjanjian Oslo, yang telah menyebabkan peristiwa 7 Oktober adalah kembali ke pemukiman Gush Katif,” pernyataan Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben Gvir mendapatkan sambutan meriah dari seluruh peserta konferensi. Masih senada dengan Ben Gvir, Smotrich, Menteri Keuangan Israel menyatakan, “Tanpa permukiman, tidak ada keamanan.” Tindakan provokatif ini seolah ingin menunjukkan kepada publik bahwa Israel tidak peduli dengan berbagai imbauan dunia, dan tetap fokus untuk menjalankan eksistensinya terhadap penjajahan atas Palestina.
Melalui konferensi ini kita mengetahui bahwa motif utama dari agresi Israel ke Gaza adalah untuk mengambil alih tanah Gaza. Penghancuran terhadap rumah-rumah penduduk merupakan bagian dari upaya sistematis mengusir orang-orang Palestina dari rumah-rumahnya di Gaza, sehingga dengan terpaksa mereka harus mengungsi. Pengabaian terhadap putusan ICJ, melaparkan Gaza dengan menuduh UNRWA, hingga pembantaian yang masih terus berlangsung, semata-mata adalah upaya Israel untuk melanjutkan penjajahannya.
Demikian pula sebenarnya tujuan dari negara-negara barat, kenapa beramai-ramai ingin mematikan UNRWA yang menjadi sandaran kehidupan jutaan jiwa pengungsi Palestina, tak lain dan tak bukan adalah upaya dukungan untuk Israel agar lebih leluasa melanjutkan genosidanya dan melancarkan upaya okupasinya atas tanah Palestina. Mematikan UNRWA sama saja mematikan Palestina. Sehingga negara-negara yang berkontribusi atas kematian UNRWA sama bersalahnya dengan Israel. Mereka patut untuk diseret ke Mahkamah Internasional.
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini