Sudah sepekan ini rezim militer Myanmar melakukan pembersihan etnis terhadap warga Rohingya. Sebanyak 96 warga Rohingya dibunuh secara keji dan 20 ribu warga lainnya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh (sebagai destinasi terdekat) agar dapat menyambung nyawa.
Melalui berbagai media kita bisa saksikan penderitaan yang dialami warga Rohingya yang begitu menyayat hati. Manusia dibantai secara keji di pinggir-pinggir jalan layaknya hewan.
Dibunuh bahkan disembelih. Dibiarkan terkapar dimana-mana. Seolah-olah hanya seeonggok daging tanpa nama.
Bahkan perempuan dan anak-anak tak luput dari target sasaran. Tak ada lagi nurani. Semua dibantai secara keji.
Dunia harusnya terluka. Bukan hanya sebab musabab terjadinya pembantaian atas anak manusia. Tetapi pembantaian terjadi di tempat di mana bumi Aung San Suu Kyi -sang pembawa nobel perdamaian- berpijak.
Ia yang dahulunya dipuja-puja sebagai pembawa perdamaian, hingga dunia menganugerahinya nobel perdamaian. Kini menjadi durjana penebar angkara.
Dimanakah rasa dan cinta. Dimanakah damai yang senantiasa ia bawa.
Kedamaian macam apa yang dibawa oleh perempuan yang kini memimpin Myanmar, yang tega membiarkan anak buahnya menghabisi warga Rohingya.
Kemana perginya nurani dan perasaannya. Kemana perginya label ‘perdamaian’ yang selalu digaungkannya.
Sungguh dunia tidak boleh berdiam diri atas tragedi kemanusiaan ini. Dunia meski segera bertindak, kalau perlu berteriak. Ini tak boleh terus menerus dibiarkan. Tidak boleh ada lagi darah warga Rohingya yang terjatuh.
Kita harus bertindak dengan cepat, agar kesadisan tidak terus menerus menimpa mereka. Agar militer Myanmar berhenti dan tidak kembali mengulangi hal ini. Agar Aung San Suu Kyi tak berdiam diri.
Ummat Islam yang ada di berbagai dunia harus bersatu padu menyelamatkan muslim Rohingya dengan berbagai cara.
Rohingnya tak hanya butuh bantuan materi, namun juga bantuan politik.
Mereka tak hanya butuh makan minum, tetapi juga butuh perlindungan. Butuh keamanan. Sebab jiwa mereka senantiasa terancam.
Melalui jalur politik, kita harus mampu menekan pemerintah Myanmar untuk menghentikan dan tidak mengulangi pembersihan etnis terhadap warga Rohingya. Meski demikian, doa yang tiada terhenti dan terputus juga dibutuhkan oleh mereka.
Sejatinya, telah cukup lama Rohingya menderita. Jika saat ini penderitaan mereka kembali terpublikasikan, maka sesungguhnya itu adalah cara Allah untuk mengingatkan umat yang masih tertidur lelap dan membiarkan warga Rohingya menjaga keimanan sendirian.
Padahal ada 1,7 miliar saudaranya di belahan dunia.
Menyelamatkan satu nyawa warga Rohingya sejatinya sama dengan menyelamatkan nyawa seluruh manusia. Demikian pula ketika kita mengabaikan atau tidak peduli terhadap urusan Rohingya dan membiarkan satu nyawa Rohingya hilang, sama seperti membunuh seluruh manusia.
Hal ini termaktub dalam firman Allah, ”
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah: 32).
Ibnu Katsir berkata, “Siapa yang memelihara kehidupan seseorang, yaitu tidak membunuh suatu jiwa yang Allah haramkan, maka ia telah memelihara kehidupan seluruh manusia. Mujahid berkata bahwa yang dimaksud adalah siapa saja yang menahan diri dari membunuh satu jiwa.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 380).
Al ‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata mengenai firman Allah bahwa ia telah membunuh manusia seluruhnya, maksudnya adalah,
من قتل نفسًا واحدة حرمها الله، فهو مثل من قتل الناس جميعًا
“Barangsiapa yang membunuh satu jiwa yang Allah haramkan, maka semisal dengan orang yang membunuh seluruh manusia.”
Kita mesti bergegas untuk bertindak. Berbuat. Atau bahkan jika perlu berteriak. Agar tak ada lagi darah yang tertumpah. Agar tak lagi ada manusia berlabel pembawa kedamaian namun sesungguhnya sang penebas darah.