Pada akhir Mei, Israel melakukan serangan secara masif ke Rafah, kota yang dijamin keselamatannya oleh Israel dan menjadi benteng terakhir bagi lebih dari satu juta pengungsi internal di Gaza. “All Eyes on Rafah” kemudian menjadi sebuah seruan dan gerakan agar masyarakat dan pemimpin dunia mengalihkan perhatiannya ke Rafah. “All Eyes on Rafah” ingin menegaskan kepada Israel, bahwa mata-mata dunia tengah melirik kepadanya; menyaksikan setiap detik kekejamannya. Berharap bahwa perhatian ini akan membuat Israel menghentikan segala bentuk perilaku kejinya.
Namun, hingga detik ini, tak ada tanda-tanda Israel akan mengurangi intensitasnya. Bahkan saat Biden (pada akhirnya) menawarkan opsi gencatan senjata, Netanyahu mengabaikan tawaran sekutu terdekatnya. Membuat kita menyadari akan satu hal, “Are All Eyes on Rafah?”
(Are) All Eyes on Rafah: Ketika Anak-anak Terus Menjadi Korban
“Aku telah mengangkat banyak orang yang syahid dan terluka, tetapi ketika aku melihat anak ini dengan tubuhnya yang tercabik dan terpisah-pisah, aku kehilangan seluruh kekuatanku. Aku merasa tidak mampu menggendongnya, aku sesak, lelah, dan hatiku sakit.
Saat aku menggendongnya, aku merasa seperti seluruh dunia hancur di tanganku.
Aku tidak mengerti bagaimana dunia sanggup untuk terus melihat anak-anak yang terpenggal ini.
Berapa lama kami akan menanggungnya? Aku bersumpah demi Tuhan, aku tidak sanggup lagi menanggungnya.”
Ini adalah ungkapan seorang petugas medis yang tengah mencari para korban serangan Israel yang membabi buta ke Rafah beberapa saat lalu. Alih-alih menemukan korban selamat, ia justru mendapati anak-anak yang tidak saja dalam keadaan tidak bernyawa, tetapi juga jasadnya berserakan. Selama delapan bulan Gaza berada di bawah serangan Israel, yang semakin hari kejahatan perang yang dilakoninya semakin melewati batas.
Saat Israel memulai serangannya ke tenda-tenda pengungsian di Rafah pada 28 Mei 2024 malam, seorang laki-laki memegang jenazah seorang anak Gaza tanpa kepala. Ini bukanlah kali pertama atau kedua, sebab serangan Israel ke Gaza yang menyasar anak-anak Palestina merupakan serangan sistematis dan terstruktur. Tidak ada anak di Gaza yang wafat tanpa disengaja. Setiap serangan yang datang ke Gaza adalah serangan yang presisi.
IDF, melalui lamannya di X, mengatakan bahwa serangan malam itu merupakan serangan yang presisi untuk menargetkan kantong Hamas. Sementara itu, Netanyahu kemudian dengan mudahnya merevisi pernyataan militer Israel dengan mengatakan bahwa itu adalah ‘kesalahan yang tragis’. Kesalahan yang mengakibatkan 45 orang terbunuh, termasuk 23 anak-anak dan perempuan sementara 249 orang lainnya terluka.
Tentunya tidak ada yang percaya dengan kelakar Israel ini. Tanpa melihat bahwa Israel memiliki sejumlah alat canggih dan kecakapan intelijen, secara kasat mata saja akan dengan mudah membedakan tenda pengungsian dengan bangunan yang diklaim sebagai markas pejuang Palestina.
(Are) All Eyes on Rafah: Kelaparan untuk Membunuh Anak-anak Gaza
Tidak hanya dengan menggunakan senjata, anak-anak Palestina di Rafah ataupun di wilayah Gaza lainnya juga dibunuh dengan menggunakan senjata pemusnah massal bernama “kelaparan.”
Ini adalah ironi yang mengenaskan karena terjadi berulang kali di wilayah yang menjadi pintu gerbang utama masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza dan dijamin ‘keamanannya’.
Lebih dari dua bulan, penjajah Israel juga melarang masuknya kebutuhan dasar makanan ke wilayah utara termasuk sayuran, telur, buah-buahan, tepung, daging, garam dan gula. Bahkan sejak awal Mei, ketika Israel menguasai perbatasan Rafah, bantuan kemanusiaan yang masuk semakin dibatasi bahkan ditutup. Menurut WHO, anak-anak kelaparan, sementara truk bantuan berbaris di luar Rafah. Penduduk Palestina terpaksa mengonsumsi makanan hewan, rumput, hingga air limbah.
Bayi bernama Fayez Abu Atataya pada 30 Mei lalu mengembuskan napas untuk terakhir kalinya di RS Syuhada Al-Aqsa di wilayah Deir al-Balah, Gaza tengah, akibat kelaparan dan malnutrisi. Pada hari berikutnya, seorang anak bernama Abdul Rahman Al-Surhi juga harus meninggal karena alasan yang sama. Jika kondisi ini dibiarkan lebih lama, maka akan ada ratusan hingga ribuan anak akan mengalami hal serupa. Berdasarkan laporan dari OCHA, sejak Januari lebih dari 93.000 anak-anak di Palestina mengalami malnutrisi. Sementara itu 7.280 anak berada dalam kategori malnutrisi akut, termasuk 1.676 anak dengan indikasi malnutrisi akut parah. Nyawa mereka benar-benar berpacu dengan waktu, semakin lama Israel dibiarkan menyerang Gaza dan menahan bantuan kemanusiaan, maka harapan hidup anak-anak tersebut semakin menipis.
(Are) All Eyes on Rafah: Anak-anak Gaza yang Dimatikan karena Tak dapat Berobat
Penutupan perbatasan memiliki implikasi yang tak kalah serius terhadap penduduk Gaza, terlebih anak-anak, yaitu terabaikannya pengobatan untuk mereka. Siraj Yassin (10 tahun), adalah satu dari banyaknya anak-anak Gaza yang menderita leukimia dan harus menjalani kemoterapi di luar Gaza, namun ia tak dapat berobat akibat ditutupnya Rafah.
Sudah dua pekan ia tidak dapat berjalan akibat mengganasnya kanker yang dialaminya. Kesehatannya juga turun secara drastis. Tapi tak ada yang bisa diperbuat oleh para dokter di Gaza. Kasus Siraj adalah satu dari ratusan anak-anak Gaza yang menderita penyakit ganas seperti kanker, meningitis, ataupun penyakit parah lainnya yang memerlukan pengobatan di luar negeri. Menurut data WHO, terdapat 11.000 pasien, termasuk anak-anak, yang memerlukan evakuasi medis segera dari Jalur Gaza.
Why Should All Eyes Remain on Rafah, Gaza, Khan Younis, Deir Balah, and Palestine
Teriakan-teriakan dan perkemahan-perkemahan yang digelar para mahasiswa di negara-negara barat dan negara lainnya tampaknya tidak mampu membuat Israel menghentikan agresinya ke Gaza. Pun dengan protes-protes di jalanan-jalanan, gedung-gedung pemerintahan, dan di berbagai sudut-sudut kota-kota di seluruh dunia. Tak ada yang berubah dengan serangan Israel, malah intensitasnya semakin bertambah. Tak ada yang berubah dari sikap pemimpin dunia, selain mereka hanya menambah ‘anjuran-anjuran’ untuk melakukan gencatan senjata, yang karena terlalu normatif, tak digubris Israel.
Apa yang terjadi pada hari-hari ini dan yang lalu di Gaza menunjukkan kepada kita, bahwa ternyata seluruh mata dunia belum melihat ke Rafah. Kekejaman Israel masih dirasakan rakyat Palestina hingga kini. Penangkapan-penangkapan terhadap aktivis dan mahasiswa yang berdemonstrasi masih terjadi. Blacklist masih diberikan kepada mereka yang bersuara, terlebih di negara-negara barat. Ini jelas mengindikasikan bahwa mata para pemimpin dunia, terlebih sekutunya belum tertuju kepada Rafah ataupun Palestina.
Sebab jika benar seluruh mata dunia tertuju kepada Rafah, maka dapat dipastikan Israel akan dikucilkan dari dunia. Tidak akan ada event dunia yang dapat dimasuki Israel maupun warga negaranya. Tidak akan ada lagi kedutaan-kedutaan Israel di berbagai belahan dunia, karena pengucilan untuk Israel dimulai dari pemutusan hubungan diplomatik. Demikian pula dengan pesawat, kapal dagang, dan truk-truk komoditas, seharusnya tak ada lagi melintas, masuk ataupun keluar dari “negara” tersebut, karena sesungguhnya konsekuensi All Eyes on Rafah adalah juga pemutusan hubungan ekonomi.
Semua mata belum tertuju pada Rafah, karena masih kita temukan bom-bom rudal berasal dari Amerika, Jerman atau negara sekutu Israel lainnya, termasuk dengan tentara-tentaranya. Demikian pula masih kita dapati penuh sesaknya outlet McD, KFC, Pizza Hut, Starbuck ataupun berbagai brand penyokong genosida Israel ke Gaza di berbagai kota-kota dunia.
Namun biar demikian, All Eyes Should Remain on Rafah, Gaza, Khan Younis, Deir Balah, and Palestine. Biarkan saja para pemimpin dunia itu abai. Biarkan saja masyarakat-masyarakat yang masih asik dengan makanan minuman penyokong genosida. Biar saja mereka abai. Asalkan tidak demikian dengan kita.
Kita harus pastikan, bahwa kita berada pada sisi yang benar dalam sejarah hari ini. Kita berada pada sisi hati nurani dan kemanusiaan. Biarkan mereka abai. Namun pastikan kita tidak pernah lelah untuk selalu bersuara dan mendukung Palestina. Sebab sebelum Palestina merdeka, All Eyes (should) on Rafah, Gaza, Khan Younis, Deir Balah and definitely: Palestine.
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini