Oleh.Prof. Muhsin Shalih
14 Agustus 1935, ketika pangeran Suud bin Abdul Aziz (yang kemudian menjadi raja Saudi) melewati desa Anbata menuju Al-Quds, seorang penyair Palestina Abdul Rahim Mahmud memperdengatkan puisinya yang kurang lebih isinya mengadukan derita yang dialami Al-Aqsha. Dalam puisinya, sang syair Palestina menyampaikan bahwa bisa jadi suatu saat Al-Aqsha dan Al-Quds akan lenyap dan dirinya hanya akan bisa menangisi.
Benar kata sang penyair. Al-Aqsha hilang setelah 32 tahun (1967) dan Abdur Rahim Mahmud gugur dalam pertempuran Syajarah saat perang Palestina tahun 1948.
Sejak proyek penjajahan zionisme di Palestina dimulai, dan sejak penjajahan Inggris 100 tahun lalu, Masjid Al-Aqsha sesungguhnya sudah terancam hilang dan menjadi target yahudisasi. Warga Al-Quds dan Palestina dan yang pro dengan mereka menggagalkan rencana jahat itu dari satu fase ke fase lain, dari konspirasi ke konspirasi sekuat yang mereka bisa, meski sederhana.
Mereka berjaga dan rela menjadi marbotnya, bertahan. Namun Arab dan umat Islam mengabaikannya. 50 tahun program yahudisasi di Al-Quds mengubah wajah Arab Islam di sana serta identitas peradabannnya dirusak Israel. Namun, meski teriakan “bahaya” itu sampai ke ujung langit, umat hanya diam tak bergerak.
Israel sudah keterlaluan. Kesabaran sudah habis. Israel sudah keterlaluan di Al-Quds dan Palestina, dengan tindakan permusuhannya atas Al-Aqsha, pembunuhan terhadap wanita, anak-anak, kakek-kakek. Blokade Jalur Gaza, permukiman yahudi di dan penggusuran tanah, yahudisasi dan tembok rasial. Tapi kenapa Menlu Saudi, Adil Jabir juga menyatakan, Hamas dan IM juga melampaui batas!?
Apapun sikap Jabir Adil terhadap “islam politik” Hamas selama bertahun-tahun dan masih menjadi kekuatan perlawanan pertama dalam menghadapi proyek zionis di Palestina. Ia menjadi barisan pertahanan pertama dalam mempertahankan identitas Al-Quds dan Palestina yang Arab dan Islam.
_
Harus diingat, sejarah Saudi adalah membela Al-Quds dan Al-Aqsha membela nasib bangsa Palestina. Statamen Jabir tak mencerminkan politik klasik Saudi.
Perlu diingatkan, teks sejarah Raja Faishal (1967-1975) berbicara soal kepahitan Al-Quds dan seruannya untuk berjihad membebasnnya, “Apa yang kalian tunggu? Nurani dunia? Dimana nurani dunia? Al-Quds memanggil kalian dan meminta tolong… apa yang membuat kita takut? Apakah kita takut mati? Adakah kematian paling mulian dan terhormat melebihi kematian seseorang menjadi mujahid di jalan Allah?
“Wahai umat Islam, kami ingin kebangkitan Islam, tanpa intervensi kebangsaan, rasisme dan kelompok. Namun seruan dakwah Islam dan seruan jihad di jalan Allah. Saya berharap kepada Allah jika ditakdirkan mati, saya mati dalam keadaan syahid di jalan Allah.” Lanjut Sang Raja Faishal.
Raja Faishal menambahkan, “Masjid Al-Aqsha dirampas (Israel) dari kita, tempat suci dinistakan, dengan hal-hal memalukan, kemaksian, dan amoral. Berdoalah kepada Allah dengan ikhlas, jika tidak ditakdirkan jihad dan membebaskan tempat suci, agar saya tidak dibiarkan sedetikpun untuk hidup.”
Inilah sikap Saudi sejati. Apakah yang dilakukan Hamas dan pejuang perlawanan Palestina berbeda dengan apa yang dibicarakan oleh Raja Faishal? Jika saja sang raja mengucapkannya hari ini, dia pasti akan dituduh teroris dan ekstrimis oleh rezim Arab dan teluk. Minimal dituding “tidak realistis dan tidak bertanggungjawab”.
—
Zionis menjajah Al-Quds barat tahun 1948 dan sudah meyahudikannya secara utuh. Kemudian menjajah Al-Quds Barat (dan wilayah Tepi Barat sisanya, Jalur Gaza, Golan Suriah dan Sinai Mesir) tahun 1967. Sejak 50 tahun lalu, Israel melakukan kerja intens terprogram meyahudikan Al-Quds. Israel mendatangkan lebih dari 200 ribu warga Yahudi ke Al-Quds Timur dari luar negeri dan membangun lebih dari 30 perkampungan dan hunian kolonial yahudi di kota suci ini dan sekitarnya.
Israel mengisolasi Al-Quds dengan “tembok rasis” yang lebih mirip dengan “perbatasan negara” dan membekukan KTP asli (identitas) warga Al-Quds lebih dari 15 ribu orang sehingga mereka tidak bisa tinggal di kota mereka sendiri. Israel mengancam menggusur lebih dari 20 ribu rumah warga yang diklaim dibangun tanpa izin Israel. Israel terus menguasai system pendidikan di sekolah-sekolah Al-Quds dengan terus menciptakan lingkungan merusak, narkoba di kalangan pelajar Al-Quds.
Israel membangun puluhan terowongan bawah tanah Masjid Al-Aqsha sehingga terancam runtuh. Sementara tata pemandangan luar, Israel mengubah pamandangan Al-Quds sehingga terlihat dari jauh tanpak banyak bangunan sinagog Yahudi. 87,5% Wilayah Al-Quds timur berusaha digusur dan memaksa warga Palestina agar menjual tanah mereka di sana dengan berbagai tekanan.
Anggaran Israel untuk pemerintah kota Al-Quds mencapai 7,3 milyar shekel (1,9 juta dolar). Ada lembaga-lembaga Israel khusus yahudisasi Al-Quds seperti Taj Kahana, Elad, dan lainnya yang setiap tahunnya yang mengooperasi dengan dana lebih dari 150 juta dolar Amerika setiap tahunnya di antaranya untuk membagi Al-Aqsha (waktu dan tempat), meski proyek terakhir ini gagal oleh kegigihan warga Al-Quds.
Sementara itu, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) – yang dibentuk usai pembakaran Israel terhadap Al-Aqsha tahun 1967 – yang beranggotakan 56 negara muslim sudah menganggarkan bujet luar biasa (10 juta dolar) untuk mendanai Komite Al-Quds yang lahir dari konferensi tahun itu. Meski anggaran OKI untuk Al-Quds itu lebih kecli dari “membeli stadiun sepak bola” salah satu klub bola dunia.
Kalau saja negara-negara itu menganggarkan dari pemasukan penghasilan minyaknya senilai kadar zakatnya saja (2,5%) untuk mensuport dan membebaskan Al-Quds, maka akan mencapai anggaran tahunannya lebih dari 15 milyar USD setiap tahun. Sementara negara-negara Arab dan Islam itu membeli senjata seperti rudal scud digunakan untuk mengendalikan rakyatnya atau untuk konflik dalam negeri.
Sumber: Pusat Informasi Palestina