“Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa bahwa kita telah kehilangan Al-Aqsa. Apa yang terjadi terhadap Al-Aqsa saat ini, berbeda dibanding dengan hari-hari sebelumnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ketika akan memasuki Al-Aqsa saat fajar, aku tidak ditanya tentang identitas pribadi ataupun dokumen lainnya, atau tentang asal daerah, apakah aku berasal dari Palestina ataukah Tepi Barat.
Kami dilarang untuk mengunjungi Al-Aqsa, hanya karena usia yang kurang dari 50 tahun. Kami tidak diperbolehkan masuk ke Al-Aqsa, bahkan untuk menunaikan salat Fajar di Masjid Al-Aqsa. Al-Aqsa semakin sulit untuk kami masuki.
Ini adalah kenyataan yang pahit: Kita telah kehilangan Al-Aqsa.”
Seorang perempuan penjaga Masjid Al-Aqsa (murabitah) mengungkapkan perasaannya dengan hati teriris ketika dilarang memasuki Masjid Al-Aqsa. Pada hari-hari sebelumnya, ia biasa mengakses Masjid Al-Aqsa dan tidak dilarang untuk memasukinya. Namun, pada hari itu, ia dilarang memasuki Al-Aqsa untuk menunaikan salat Subuh, dan diperintahkan untuk kembali pada pagi hari.
Ia tahu, bahwa ia tidak mungkin masuk ke Al-Aqsa pada pagi hari, sebab itu merupakan waktu bagi para pemukim Zionis untuk mengunjungi Al-Aqsa dengan pengawalan ketat dari polisi Israel.
Sesungguhnya, larangan bagi penduduk Palestina untuk memasuki area Masjid Al-Aqsa bukanlah hal baru, melainkan bagian dari strategi sistematis Zionis dalam melakukan Yahudinisasi terhadap Masjid Al-Aqsa secara khusus, dan Palestina secara umum. Larangan tersebut juga merupakan bentuk politik apartheid yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Ironis, ketika muslim dari seluruh dunia mendapat izin dari Israel untuk berziarah ke Masjid Al-Aqsa, tetapi pada saat yang sama, Israel melakukan pembatasan hingga pelarangan terhadap penduduk Palestina untuk memasuki masjid suci.
Yahudinisasi Masjid Al-Aqsa adalah pembahasan lama dari literatur gerakan Zionis modern, sebagaimana dapat dibuktikan dengan perkataan pendirinya, Theodor Herzl pada konferensi Zionis pertama di Bassel (1897), “Jika suatu hari kita menguasai Yerusalem, dan saya masih hidup serta mampu melakukan apa saja, saya akan melepas semua yang tidak suci bagi orang Yahudi, dan saya akan membakar peninggalan berabad-abad yang lalu.”
David ben Gurion, Perdana Menteri pertama Israel mengklaim bahwa “Palestina tidak masuk akal tanpa Yerusalem, dan Yerusalem tidak masuk akal tanpa Haikal (Al-Aqsa -red).” Rabi Shlomo Gorin juga mengatakan, “Zionisme dan tujuannya akan selalu kritis selama Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu tetap berdiri di depan mata dan hati umat Islam. Dengan demikian, keduanya harus dihilangkan dari muka bumi.”
Zionis mengklaim bahwa lokasi Masjid Al-Aqsa pada saat ini merupakan lokasi berdirinya Haikal Sulaiman ribuan tahun yang lalu. Sehingga, mereka berkeinginan untuk ‘menggusur’ Al-Aqsa dan mendirikan kembali Haikal Sulaiman. Namun demikian, klaim tersebut tidak memiliki dasar historis dan antropologis.
Jika yahudinisasi Al-Aqsa tidak dihentikan, bukan saja Al-Aqsa yang akan benar-benar hilang, melainkan juga toleransi antarumat beragama. Masjid Al-Aqsa memiliki akar sejarah yang tidak hanya melekat dengan penduduk Palestina, tetapi juga dengan umat Islam di seluruh dunia karena statusnya sebagai kiblat pertama umat Islam dan masjid kedua yang dibangun di muka bumi. Maka, upaya-upaya untuk mengubah Al-Aqsa menjadi situs keagamaan Yahudi akan mendorong toleransi antarumat beragama berada di titik nadir.
Mencari jejak hilangnya Al-Aqsa
Al-Aqsa telah hilang jauh sebelum adanya larangan terhadap jamaah Palestina untuk memasukinya, berdasarkan kategori usia, lokasi tempat tinggal, dan waktu, sebagaimana yang terjadi pada saat ini. Usaha untuk menguasai Al-Aqsa telah dilakukan sejak 1948 ketika Israel menolak untuk menjadikan Al-Quds (Yerusalem) sebagai kota internasional, termasuk Masjid Al-Aqsa di dalamnya.
Namun secara de facto, Israel menguasai Al-Aqsa ketika melakukan invasi pada 1967. Israel menyerang Palestina dan menjajah seluruh wilayahnya, termasuk wilayah Al-Quds (Yerusalem) Timur, tempat Al-Aqsa berada, yang seharusnya menjadi wilayah internasional berdasarkan Resolusi 181 PBB tahun 1948.
Setelah menguasai Al-Aqsa, pada tahun yang sama Israel memulai penggalian di bawah masjid untuk menemukan bukti-bukti arkeologi tentang adanya Haikal Sulaiman yang mereka yakini dahulunya ada di bawah Masjid Al-Aqsa. Meski hingga kini, sejumlah ilmuwan dan arkeolog terkemuka, menyatakan tidak ada satu pun bukti valid yang ditemukan Israel tentang lokasi Haikal Sulaiman (Temple Mount). Akan tetapi, Israel tetap melakukan penggalian dan mendirikan sejumlah sinagoge tepat di bawah Masjid Al-Aqsa.
Berbagai aktivitas penolakan terhadap upaya Zionis untuk mengganti Al-Aqsa menjadi Haikal Sulaiman dilakukan oleh penduduk Palestina. Pada 1990, Israel melakukan penembakan terhadap para demonstran yang menolak yahudinisasi Masjid Al-Aqsa sehingga menyebabkan 21 orang Palestina terbunuh. Pada 1996, protes terhadap penolakan dibukanya terowongan yang mencapai Tembok Buraq telah menyebabkan terbunuhnya 63 orang Palestina.
Tidak berhenti sampai di situ, pada tahun 2000, Ariel Sharon beserta sejumlah besar massa dengan pengawalan ratusan polisi, secara paksa menerobos ke dalam Al-Aqsa, hingga memicu intifada kedua. Tiga tahun setelahnya, penerobosan tersebut berlanjut secara sepihak. Pada 2003, Zionis memperbolehkan pemukim Yahudi untuk mengunjungi Al-Aqsa, meskipun Badan Wakaf Islam yang memiliki mandat untuk mengurus Al-Aqsa, menolak keras hal tersebut. Izin yang dikeluarkan oleh Zionis menyebabkan jumlah pemukim Yahudi yang mengunjungi Masjid Al-Aqsa semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Demikian pula tingkat pemukim Yahudi yang tinggal di dekat Al-Aqsa. Berdasarkan data, sejak 2009–2016, jumlah pemukim yang tinggal di dekat Al-Aqsa mencapai 68.000, dan pada tiga tahun terakhir jumlah tersebut mencapai lebih dari 35.000 pemukim.
Pada 2014, untuk pertama kalinya Israel menutup Al-Aqsa sejak 1967. Selanjutnya, pada 2015, Israel juga menerbitkan aturan yang melarang ‘Murabitah – Murabitun’, atau orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk menjaga Al-Aqsa, untuk mendekati masjid suci. Pada tahun yang sama, Syekh Najeh Bakirat yang saat itu menjabat sebagai Kepada Departemen Manuskrip Al-Aqsa (saat ini menjadi Wakil Direktur Jenderal Wakaf Islam) menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga rencana Israel terhadap Al-Aqsa. Pertama, mendirikan pos-pos pemeriksaan keamanan dan menyita properti di sekitarnya. Kedua, membagi komplek masjid secara temporal (berdasarkan waktu) dan spasial antara Muslim dan Yahudi. Terakhir, menggemakan ketakutan di tengah masyarakat Palestina untuk merealisasikan tujuan akhir: membangun kembali Haikal Sulaiman di atas Masjid Al-Aqsa.
Baca juga “Yahudisasi Palestina: Upaya Zionis untuk Menghilangkan Tanah, Etnis, Wilayah dan Situs Suci di Palestina.“
Sumber Gambar: Anadolu Agencies
Di bawah perlindungan pemerintahan sayap kanan Israel, berbagai aturan diberlakukan untuk memberikan kelonggaran bagi pemukim Yahudi untuk mengunjungi Masjid Al-Aqsa, sehingga mengakibatkan peningkatan penyerbuan pemukim yang signifikan. Selain itu, eskalasi kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jamaah Masjid Al-Aqsa juga meningkat, seiring dengan meningkatnya upaya pengusiran paksa terhadap jamaah, hingga penutupan Al-Aqsa yang dilakukan oleh Israel.
Pada 2020, Trump menggagas Deal of Century yang menginginkan terciptanya normalisasi hubungan terhadap Israel dengan negara-negara Timur Tengah. Salah satu isi perjanjian yang kontroversial adalah mengenai status dan penyebutan Al-Aqsa yang didahului dengan Temple Mount. Disebutkan bahwa “Status quo terhadap Temple Mount/Haram al-Sharif harus dilanjutkan” setelah kalimat tersebut terdapat pernyataan bahwa “Seluruh orang dengan berbagai kepercayaan harus diizinkan untuk beribadah di Temple Mount/Haram al-Sharif.”
Meski akhirnya Deal of Century dibatalkan, tetapi usaha Zionis dalam melaksanakan yahudinisasi tidak pernah berhenti. Pada 2021, Zionis masuk ke Al-Aqsa secara paksa pada bulan suci Ramadan, hingga memicu agresi Israel ke Gaza yang menyebabkan 261 orang terbunuh, termasuk 67 anak dan 41 perempuan. Serangan ini juga melukai 2.200 orang, termasuk 685 anak dan 480 perempuan.
Pada tahun ini (2022), jumlah pemukim Zionis yang menerobos ke Al-Aqsa kembali meningkat secara signifikan. Berdasarkan data yang dihimpun MEMO (Middle East Monitor), sejak September 2021 hingga September 2022, tercatat 47,988 pemukim Zionis telah menerobos ke Al-Aqsa. Jika dibandingkan tahun 2021, jumlah ini meningkat hingga 65 persen.
Baca juga “Ramadan di Palestina dan Jalan Panjang Upaya Yahudisasi Al-Aqsa“
Pada tahun ini pula, Zionis sempat mengeluarkan aturan yang memperbolehkan pemukim Yahudi untuk “mengunjungi” Al-Aqsa dan melakukan peribadatan. Meski aturan tersebut pada akhirnya dibatalkan, tetapi pada kenyataannya para pemukim tetap melakukan ritual-ritual keagamaan Yahudi di dalam Masjid Al-Aqsa, yang tidak hanya dilarang oleh hukum internasional, tetapi juga dilarang oleh undang-undang Israel sendiri.
Bentuk-bentuk yahudinisasi Al-Aqsa
Ada beberapa bentuk yahudinisasi Al-Aqsa yang dilakukan oleh Israel. Pertama, mengontrol bagian-bagian Masjid Al-Aqsa. Sejak mengokupasi Al-Aqsa pada 1967, Zionis mengontrol bagian luar Tembok Buraq Masjid Al-Aqsa, dan menghancurkan wilayah Maghribi (Magharibah) untuk menampung kaum Yahudi yang beribadah di Tembok Buraq. Mereka juga memegang kunci Gerbang Al-Magharibah, dan menggunakan akses pintu tersebut sebagai pintu masuk bagi para ekstremis Yahudi. Area “The Jumblatt” yang terletak dekat Masjid Kubah Batu, juga diubah menjadi pos polisi untuk mengawasi para murabitah dan murabitun Al-Aqsa.
Selain itu, penjagaan diberlakukan oleh polisi Zionis di setiap pintu masuk Masjid Al-Aqsa, sehingga tidak semua orang dapat memasukinya. Bahkan, pada 2017 Israel mencoba untuk mendirikan pintu elektronik di setiap pintu masuk Al-Aqsa. Namun, usaha tersebut dihentikan karena protes dari berbagai pihak. Selain itu, sejak 1967 hingga saat ini, Israel melakukan penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa. Hal tersebut menyebabkan sejumlah kerusakan di dinding dan pondasi Al-Aqsa.
Kedua, penerobosan ke Masjid Al-Aqsa oleh para pemukim ekstremis Yahudi, yang dikawal oleh polisi Israel, serta melakukan ritual ibadah Yahudi. Ketiga, menghalangi umat Islam untuk masuk ke Masjid Al-Aqsa. Hal ini dilakukan dengan memberikan pembatasan berdasarkan usia, khususnya bagi jamaah laki-laki yang berusia di bawah 50 tahun, tidak diperbolehkan masuk ke masjid suci. Larangan ini diberlakukan untuk seluruh penduduk Palestina, baik yang berada di Tepi Barat, Gaza, maupun yang telah berdiaspora keluar Palestina. Sementara, penduduk Gaza tidak boleh memasuki Al-Aqsa sejak 2006, sebagai bagian dari blokade yang dijalankan oleh Israel.
Keempat, mengubah nama-nama dan fitur-fitur Masjid Al-Aqsa dengan merujuk pada istilah Alkitab. Di antara perubahan yang paling terkenal adalah mengubah Masjid Al-Aqsa menjadi Haikal Sulaiman (Temple Mount). Zionis juga mengubah nama-nama pintu Al-Aqsa, seperti pintu di sebelah selatan tembok Al-Quds, yakni “Triple Gate” atau al-Bab al-Tsulatsi, yang diubah menjadi “Huldah Gate”. Yahudinisasi dilakukan melalui pemasangan nama-nama tersebut di penanda tempat, pengumuman secara kelembagaan, dan buku petunjuk pariwisata.
Triple Gate atau al-Bab al-Tsulatsi (Sumber: Madainproject)
Kelima, melakukan pembakaran dan pengeboman terhadap Al-Aqsa. Pada 1969, seorang ekstremis Yahudi melakukan pembakaran terhadap Masjid Kubah As-Sakhrah yang menyebabkan terbakarnya mimbar Salahuddin. Setelah itu, berbagai usaha untuk pengeboman terhadap Al-Aqsa mulai dilakukan oleh ekstremis Yahudi. Pada 1982, seorang ekstremis Yahudi ditangkap karena rencananya untuk mengebom Al-Aqsa. Usaha yang sama juga dilakukan pada 2010, ketika seorang pemukim Yahudi menyiapkan bahan peledak untuk meledakkan Masjid al-Qibly. Sementara itu pada 2014, militer Israel menyerang jamaah Al-Aqsa dengan menggunakan bom suara dan peluru karet. Keenam, larangan untuk melakukan restorasi dan perbaikan terhadap Al-Aqsa. Sejumlah kerusakan yang terjadi terhadap Masjid Al-Aqsa akibat dari penggalian terowongan yang Israel lakukan tidak dapat diperbaiki akibat adanya larangan dari Israel.
Ketujuh, membangun sinagoge di sekeliling Al-Aqsa, termasuk di bawah Masjid Al-Aqsa. Setidaknya terdapat 102 sinagoge di sekitar wilayah Masjid Al-Aqsa dan kota Al-Quds. Kedelapan, membagi waktu bagi umat Islam dan Yahudi untuk memasuki wilayah Al-Aqsa.
Rencana denah Haikal Sulaiman yang rencananya akan didirikan di atas Masjid Al-Aqsa.
(Sumber gambar: www.jw.com, www.prnewswire.com)
Yahudinisasi Al-Aqsa dan ancaman toleransi beragama
Upaya yahudinisasi terhadap Al-Aqsa tidak hanya dikecam oleh seluruh umat Islam, tetapi juga mendapat penolakan dari umat Kristen dan penganut Yahudi anti-Zionis. Salah satu Imam Katolik Palestina, Pastor Manuel Musallam menyatakan, “Keberhasilan rencana pemukim untuk menghancurkan Masjid Al-Aqsa berarti juga penghancuran keberadaan Kristen dan Islam di Al-Quds.” Ia menyeru jemaatnya agar berdiri bersama dengan umat Islam untuk membela Al-Aqsa. Menurutnya, melindungi Masjid Al-Aqsa berarti juga melindungi Gereja Makam Suci dan Gereja Kelahiran, serta eksistensi agama Islam dan Kristen di Palestina.
Pastor Manuel Musallam. (Sumber Gambar: MEMO)
Terkait yahudinisasi yang tengah dilakukan Zionis ini, salah seorang Rabi Yahudi menyatakan, “Orang-orang Yahudi dari seluruh dunia menentang rezim Zionis karena (orang Yahudi) percaya bahwa pembentukan pemerintahan Yahudi di Palestina bertentangan dengan agama Yahudi dan Kehendak Allah.”
Dengan demikian, permasalahan yang terjadi di Palestina bukanlah konflik antarumat beragama–antara umat Islam dengan Yahudi, ataupun Kristiani dengan Yahudi. Sebab, jika merujuk pada sejarah, beratus-ratus tahun lamanya, ketiga umat beragama ini dapat hidup rukun. Al-Quds telah lama menjadi kota suci bagi Islam, Kristen, maupun Yahudi, dengan Masjid Al-Aqsa di dalamnya sebagai tempat suci bagi umat Islam.
Namun, yang terjadi di Palestina dan Al-Aqsa saat ini adalah penjajahan. Yahudinisasi yang terjadi hari ini di Al-Aqsa merupakan bagian untuk memperkuat eksistensi penjajahan tersebut, yang kemudian merusak harmonisasi antarumat beragama yang telah lama terjalin. Ini juga diperparah dengan dilakukannya yahudinisasi di berbagai tempat ibadah suci lainnya, seperti masjid dan gereja, hingga pemakaman. Jika keadaan ini tidak dicegah dan dihentikan, maka tragedi kemanusiaan di Palestina akan semakin memburuk .
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Resource Development and Mobilization Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
Sumber :
https://www.aljazeera.com/news/2020/9/14/israel-normalisation-may-partition-al-aqsa-analysts
https://adararelief.com/adara-report-edisi-02-desember-2021-tanah-palestina/
https://adararelief.com/ramadan-di-palestina-dan-jalan-panjang-upaya-yahudisasi-al-aqsa/
https://gulfnews.com/opinion/op-eds/judaisation-of-jerusalem-continues-1.96452
https://adararelief.com/upaya-pelegalan-ibadah-dan-yahudisasi-di-masjid-al-aqsa/
https://www.#/20220829-for-the-first-time-ever-israeli-settlers-raid-al-aqsa-mosque-via-lions-gate/
https://www.aa.com.tr/en/world/palestinians-warn-of-israeli-plan-to-partition-al-aqsa/470869
https://www.aa.com.tr/en/world/palestinians-warn-of-israeli-plan-to-partition-al-aqsa/470869#
https://www.aljazeera.com/news/2015/9/21/analysis-why-israel-wants-a-religious-war-over-al-aqsa
https://www.#/20220926-50000-right-wing-jews-desecrate-al-aqsa-mosque/
https://www.aa.com.tr/en/middle-east/israels-aggressiveness-towards-al-aqsa-since-1967/867339
https://www.aljazeera.com/news/2020/9/14/israel-normalisation-may-partition-al-aqsa-analysts
https://www.aqsapedia.net/2828
https://www.#/20170801-israeli-attacks-on-al-aqsa-mosque/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini