“Ini kamar saya. Di dalamnya ada mainan yang biasa saya mainkan dan buku-buku yang biasa saya pelajari. Tidak ada lagi yang tersisa.” Kalimat tersebut diucapkan dengan lirih oleh Ritaj Abu Abeid, seorang anak Gaza yang usianya baru 12 tahun. Ia mengucapkan kalimat tersebut sembari berdiri menatap ruangan yang dulunya adalah kamar tidurnya. Kini, tidak ada yang tersisa di sana selain puing-puing. Rumahnya hancur akibat agresi Israel di Jalur Gaza pada awal Mei lalu.
Setelah lima hari agresi yang berlangsung dari tanggal 9 hingga 13 Mei 2023, pihak Palestina dan Israel menyepakati gencatan senjata yang dimediasi oleh Mesir pada 14 Mei 2023. Setelah gencatan senjata resmi diumumkan, penyeberangan perbatasan kembali dibuka, toko, pasar, serta kantor-kantor mulai aktif kembali, dan penduduk mulai memberanikan diri untuk kembali beraktivitas di jalanan yang masih sepi. Tapi semuanya tak lagi sama, sebab sakit hati penduduk Gaza sejatinya tak pernah sirna, meskipun terpaksa mereka tutupi sedemikian rupa agar kuat menghadapi realita.
Dosa Apa yang Kami Lakukan di Gaza?
Dikelilingi oleh keluarganya, Najwa Abu Aisha (48) terbaring tak berdaya di rumah sakit. Ia telah berada di sana sejak 11 Mei lalu, setelah Israel menjatuhkan bom di tanah pertanian kosong di Jalur Gaza. Najwa saat itu sedang berada di atap rumahnya untuk memeriksa tangki air bersama putranya yang berusia 14 tahun. Saat itulah bom Israel jatuh di lahan pertanian dekat rumahnya, meruntuhkan atap rumahnya seketika. Najwa terlempar dari atap dan mendarat dengan posisi telentang dalam kondisi tidak sadarkan diri. Setelah menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Al-Shifa, Najwa diketahui mengalami cedera pada sumsum tulang belakangnya, juga menderita patah tulang parah di panggul dan tulang rusuknya, membuatnya lumpuh saat itu juga.
Najwa adalah salah satu dari ratusan penduduk Gaza yang menjadi korban agresi Israel pada awal Mei lalu. Selama lima hari agresi, sebanyak 34 penduduk Gaza tewas, di antaranya terdapat 6 anak-anak dan 4 perempuan. Sedangkan korban cedera, seperti Najwa, berjumlah 190 orang, termasuk 64 anak-anak, 38 perempuan, dan 13 lansia.
Najwa adalah seorang ibu dari lima orang anak, yang sulung berusia 28 tahun sementara yang bungsu baru berusia tujuh tahun. Meskipun ia seorang perempuan, Najwa harus menanggung nafkah untuk keluarganya dengan bekerja sebagai cleaning service di sebuah taman kanak-kanak. Tanggung jawab besar tersebut diembannya karena suaminya adalah penderita disabilitas yang harus bergantung pada tongkat untuk menggerakkan badannya. Tapi, sejak rudal Israel merenggut hampir seluruh fungsi tubuhnya, Najwa tidak bisa lagi menjalankan tanggung jawabnya.
Najwa hanyalah salah satu dari sekian banyak keluarga Palestina di Gaza yang mengalami kesulitan ekonomi pasca agresi. Pihak berwenang setempat memperkirakan kerugian terkait penghentian kegiatan ekonomi akibat agresi Gaza berjumlah sebesar $40 juta, ditambah kerugian infrastruktur sekitar $1 juta, dan kerusakan unit rumah diperkirakan mencapai $9 juta.
Sejak awal tahun, rata-rata 80 truk bantuan bahan makanan telah memasuki Gaza setiap harinya. Namun, penutupan penyeberangan saat agresi telah mencegah pengiriman pasokan makanan oleh Program Pangan Dunia (WFP) ke Gaza. Para petani Gaza juga tidak dapat mengakses lahan pertanian dengan aman di dekat pagar pembatas untuk irigasi, panen, memberi makan ternak dan kegiatan penting lainnya, yang secara kritis merusak mata pencaharian mereka. Selama penutupan, pasokan pakan ternak juga mencapai tingkat yang sangat rendah, menyebabkan kelangkaan daging segar, sayuran dan komoditas makanan lainnya di pasar lokal.
Kerugian sektor pertanian diperkirakan mencapai $3 juta, termasuk hancurnya 200 sumur, 10.000 meter saluran irigasi, 600 dunum tanaman (sayuran dan buah-buahan), dan 150 dunum rumah kaca. Tewasnya hewan-hewan ternak, termasuk unggas, sapi, dan domba, membuat peternak menderita kerugian sebesar $225.000, selain kerugian yang terjadi karena ketidakmampuan untuk mentransfer dan mengekspor lebih dari 1.100 ton sayuran dan ikan. Nasib nelayan pun tidak lebih baik, sebab akses ke laut untuk memancing dihentikan selama lima hari berturut-turut, memengaruhi lebih dari 4.400 nelayan dan keluarganya, yang mengandalkan penangkapan ikan sebagai sumber pendapatan utama mereka[1].
“Saya tidak mengeluh tentang apa yang terjadi pada saya, tetapi saya sangat kesakitan,” katanya Najwa. Meski kesakitan, ia menjelaskan bahwa sebagai seorang muslimah, dia harus bersyukur dan menerima nasibnya. Tapi, dia kemudian berkata, “Tidak ada yang bisa merasakan sejauh mana rasa sakit psikologis dan fisik di dalam diri saya.” “Sebuah rudal Israel sudah cukup untuk mengubah hidup saya dari seorang perempuan yang aktif dan berintegritas menjadi cacat dan tak berdaya,” tambahnya sambil menangis.
Amidst Israel’s recent brutal aggression targeting the besieged Gaza Strip, Najwa Abu Eshaa, a 48-year-old Palestinian mother and the sole caregiver for her family of seven, tragically became paralyzed. pic.twitter.com/69pZ9WUmL2
— Quds News Network (@QudsNen) May 25, 2023
Saudara perempuan Najwa Umm Issa (47), adalah keluarga terdekat Najwa yang setia merawatnya di rumah sakit. Dia tidak beranjak dari sisi Najwa setelah mendapat kabar mengejutkan tentang saudaranya itu. “Kami biasa makan bersama, minum bersama, dan pergi bersama,” katanya. “Berita itu datang seperti petir bagi kami semua. Ini tidak terbayangkan.” “Saudaraku Najwa biasa bergerak seperti lebah di antara kami. Dia bekerja keras untuk menghidupi keluarganya dalam kondisi kehidupan yang sulit. Tapi terlepas dari itu, dia suka merawat dirinya sendiri, menyukai pakaian, serta senang terlihat baik.” Umm Issa kemudian memalingkan muka sejenak, lalu berkata, “Saya tidak bisa berhenti memikirkan anak-anaknya.”
Kelima anak Najwa yang menemani ibu mereka di rumah sakit juga memendam trauma. Di hadapan ibu mereka, anak-anak ini berusaha terlihat tegar dan bersikap normal, bahkan berbicara dengan berbisik-bisik agar ibu mereka tidak merasa semakin tertekan. Tetapi di dalam hati, anak mana yang tega melihat ibu mereka yang aktif dan ceria tiba-tiba menjadi terbaring kesakitan dan tak berdaya? Ramzi Abu Aisha (28), putra sulung Najwa mengatakan, “Kami tidak pernah mengira ibu akan terluka. Dia naik ke atap beberapa saat sebelumnya.” Putra Najwa yang ikut dengannya ke atap kondisinya lebih buruk lagi. Setelah menyaksikan ibunya terlempar dari atap rumah, ia menderita trauma, tidak bisa duduk atau berbicara dengan siapa pun.
Psikiater lokal mengatakan bahwa gejala trauma menjadi hal yang umum terjadi pada banyak anak-anak yang tinggal di daerah yang diblokade. Anak-anak Gaza mengalami kurang tidur, kecemasan, mengompol, serta kecenderungan untuk tetap menempel pada orang tua mereka dan menghindari keluar rumah. Jumlah anak-anak yang membutuhkan bantuan kesehatan mental berjumlah hampir seperempat dari 2,3 juta populasi Gaza yang hidup di bawah blokade yang melumpuhkan, mengontrol, dan membatasi perbatasan Jalur Gaza. Data-data sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa setengah dari anak-anak di Gaza – sekitar 500.000 anak – membutuhkan dukungan psikologis setelah 11 hari agresi Israel pada tahun 2021[2].
Suami Najwa, Mazen Abu Aisha (50), sering datang ke rumah sakit untuk menjenguk istrinya. Ia juga merasa sangat terpukul ketika mengetahui istrinya cedera sedemikian parahnya. Bersandar pada tongkatnya dengan air mata mengalir di wajah, ia berkata, “Saya merasa seperti berada dalam mimpi buruk. Hati saya sangat sakit melihatnya. Dia menanggung beban terlalu banyak selama hidup bersama saya, juga menanggung beban keluarga dan anak-anak, tetapi tidak pernah mengeluh. Saya merasa sangat tidak berdaya,” katanya. “Dosa apa yang kami lakukan di Gaza sehingga semua ini terjadi pada kami?”
Suami dan keluarga Najwa sangat berharap Najwa bisa sembuh dan kembali normal seperti sedia kala. Namun, mereka menyadari, Najwa harus mendapat perawatan di luar Jalur Gaza jika ingin mendapatkan tindakan medis yang terbaik, sebab sektor kesehatan di Jalur Gaza terus memburuk akibat larangan masuk untuk kebutuhan medis. Dengan kondisi Jalur Gaza yang hingga saat ini masih berada di bawah blokade Israel selama lebih dari 15 tahun, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk Najwa di Gaza.
Sebelum agresi, Jalur Gaza sudah menderita kekurangan 50 persen obat-obatan dan peralatan medis. Sektor kesehatan Gaza yang masih belum pulih dari dampak agresi tiga hari oleh Israel pada tahun 2022 dan agresi 11 hari pada tahun 2021, semakin diperparah dengan agresi lima hari di tahun ini. Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Gaza tengah, yang memberikan bantuan kepada sekitar 350.000 orang, mengalami kerusakan parah dalam eskalasi terbaru ini. Iyad Abu-Zaher, direktur rumah sakit, mengatakan serangan itu menyebabkan kerusakan sebagian di beberapa departemen, termasuk unit perawatan intensif.
Rumah Sakit Indonesia yang terletak di Beit Lahia, Gaza utara, juga mengalami kerusakan akibat ledakan yang menyebabkan kabel listrik, sistem pendingin udara, dan langit-langit di beberapa kamar rumah sakit ambruk. Matinya pembangkit Listrik Gaza, yang bergantung pada pengiriman bahan bakar reguler melalui penyeberangan Kerem Shalom, juga menjadi kendala serius. Ini mengurangi penyediaan listrik menjadi hanya sekitar 12 jam per hari, mengganggu penyediaan layanan dasar, termasuk air, sanitasi, dan tindakan medis.
Seperti Najwa, pasien yang dirujuk dari Gaza untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di luar Gaza secara otomatis terjebak. Selama agresi, Israel menutup penyeberangan Erez dan Kerem Shalom, mencegah pergerakan orang dan barang dari Tepi Barat atau Israel dan sebaliknya. Penutupan itu memengaruhi akses kemanusiaan, layanan penting, dan masuknya barang-barang vital seperti bahan bakar. Menurut Pusat Hak Asasi Manusia Al Mezan yang berbasis di Gaza, 427 orang dicegah meninggalkan Gaza antara 9–11 Mei tahun ini, sebagian besar adalah pasien kanker, termasuk 27 kasus yang membutuhkan tindakan segera untuk menyelamatkan nyawa pasien[3].
“Para dokter mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak dapat melakukan apa pun untuk saya di sini,” kata Najwa. “Yang saya harapkan saat ini adalah mendapatkan perawatan di luar negeri untuk merehabilitasi tubuh saya, sehingga saya bisa berjalan dan kembali melayani anak-anak dan keluarga saya.”
Kami Tidak Punya Tempat untuk Pergi
Para pria baru saja bersiap-siap untuk salat Asar di kamp pengungsi Jabalia ketika Kamal Nabhan tiba-tiba berteriak. Sebuah nomor anonim menghubungi ponselnya, yang segera ia berikan kepada sepupunya, Ataf. “Saya mengambil telepon darinya (Kamal) dan berbicara dengan orang di telepon,” kata Ataf. “Dia berkata bahwa dia dari intelijen Israel, dan mengatakan ‘Anda punya waktu lima menit untuk mengevakuasi rumah.’” Ataf kemudian menjelaskan bahwa ia bergegas memberitahu penelepon Israel tersebut bahwa dia pasti salah karena gedung itu “penuh dengan orang cacat.” Tetapi petugas intelijen itu menjawab dengan singkat: “Tidak, segera evakuasi rumah,” kata Ataf. Tak lama setelah menerima telepon tersebut, sebuah rudal jatuh di lingkungan rumah mereka.
Bangunan-bangunan di Jabalia runtuh saat itu juga. Satu-satunya tempat berteduh bagi para penghuni bangunan tersebut adalah sisa-sisa atap rumah mereka. Hampir 50 orang dari delapan keluarga berhasil dievakuasi, namun mereka tak lagi memiliki tempat bernaung. Lebih menyedihkan lagi, lima orang yang tinggal di gedung tersebut adalah difabel, tiga di antaranya menggunakan kursi roda dan kelimanya menderita cacat fisik, distrofi otot, dan kejang. Dengan kata lain, penderitaan mereka semakin bertambah karena seluruh obat-obatan dan perlengkapan mereka terkubur di bawah puing-puing.
“Rumah meledak saat kami dipindahkan. Kursi roda, obat-obatan, dan pakaian kami ada di dalam. Tidak ada yang tersisa,” kata Hanin (16), yang menderita cacat di kedua kakinya. Hanin dan saudara-saudaranya yang berusia 3, 18, 29, dan 38 tahun semuanya adalah difabel. Hancurnya rumah mereka juga menghancurkan hati mereka semua. Mereka menjadi sangat gugup, selalu berteriak, dan terkadang menangis.
Keluarga itu sekarang terpaksa tinggal bersama kerabat yang dekat dengan tempat tinggal lama mereka. Setiap pagi sanak saudara mereka berduyun-duyun ke lokasi, menunjukkan simpati atas pengalaman mengerikan mereka, serta membawa bantuan apa pun yang mereka bisa. Sang ibu, Najah (57), mengatakan mereka sama sekali tidak sempat mengambil apa pun dari rumah itu. “Di sana ada toilet difabel, kursi roda, dan tempat tidur khusus. Barang-barang yang tadinya sulit didapat, sekarang hancur,” kata Najah. “Bagaimana saya akan menggendong mereka setelah kursi rodanya hilang, kasur mereka juga hilang,” tambahnya.
Kerabat Kamal, Rahma Nabhan dan suaminya Yasser, juga terlihat duduk di bawah lempengan atap yang retak setelah rumah mereka dihancurkan. Mereka bergantian menggendong bayi perempuan mereka Jori untuk menenangkan tangisannya. “Ipar saya cacat – mereka bahkan tidak bisa menutupi kepala mereka ketika evakuasi, kursi roda mereka terkubur di bawah rumah,” kata Rahma.
“Semua orang melihat orang-orang cacat dievakuasi. Mereka bertanya: ‘Mengapa rumah itu harus dihancurkan? Apakah orang cacat ini menembakkan roket?’ Kami tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi,” katanya. “Kami tidak ke mana-mana, kami akan tinggal di bawah sinar matahari, tidur di bawah sinar matahari, kami tidak pergi dari rumah,” kata Rahma. “Kami meminta organisasi internasional dan pemerintah untuk berdiri bersama kami dan membangun kembali rumah ini karena kami tidak punya tempat untuk pergi,” katanya.
Selain keluarga Nabhan, sebanyak 1.244 warga Palestina lainnya di Gaza terpaksa mengungsi akibat agresi, baik karena rumah mereka sudah rusak terlalu parah, ataupun karena mereka memilih untuk pergi ke daerah yang lebih aman untuk ditinggali. Berdasarkan laporan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Gaza, sebanyak 2.943 unit rumah mengalami kerusakan dengan berbagai tingkatan, termasuk 103 hancur total, 140 rusak berat dan 2.700 lainnya mengalami kerusakan[4].
Laporan juga menunjukkan bahwa 20 sekolah yang dikelola oleh Otoritas Palestina dan enam sekolah yang dikelola oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) rusak dalam berbagai tingkatan. Pihak berwenang di Gaza juga sedang berusaha memperbaiki saluran listrik serta jaringan air dan air limbah, juga membersihkan jalan dan membuang puing-puing dari bangunan yang rusak pasca agresi. Tim penjinak persenjataan eksplosif setempat juga telah mulai memindahkan persenjataan yang tidak meledak agar fasilitas umum dapat dibuka kembali dalam keadaan aman, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa sewaktu-waktu serangan bisa saja terulang kembali.
Mimpi Buruk yang Entah Sampai Kapan
“Mimpi saya telah berubah, sebelumnya lebih baik,” kata Bissan Al-Mansi, gadis kecil Gaza berusia 10 tahun yang rutin menemui psikiater sejak agresi berakhir. “Saya sangat takut. Saya tidak bisa tidur lagi pada malam hari,” katanya. Rumah gadis kecil itu yang terletak di Deir Al-Balah di Gaza tengah, termasuk di antara sekian banyak rumah yang rusak atau hancur ketika Israel mengebom lingkungan mereka setelah memberikan waktu sekitar 30 menit kepada warga untuk mengungsi.
Al-Mansi, salah satu dari lima bersaudara, mengatakan dia sekarang terlalu takut untuk keluar rumah, bahkan untuk bermain dengan teman-temannya. Sebelum terjadi agresi, dia selalu bangun pagi dengan ceria, bersemangat untuk pergi ke sekolah. Ia bercerita bahwa mata pelajaran favoritnya adalah bahasa Arab dan sejarah, tetapi sejak agresi berakhir dia belum kembali menjadi dirinya yang dulu. “Jika seseorang membanting pintu, saya membayangkan itu adalah serangan udara,” katanya, menggambarkan trauma yang juga dialami oleh anak-anak seusianya di Gaza.
Setelah gencatan senjata, para aktivis sosial, petugas medis dengan Bulan Sabit Merah Palestina, dan psikiater mengunjungi daerah yang terkena dampak untuk memberikan panduan pemulihan bagi anak-anak dan keluarga mereka. Seperti Al-Mansi, anak-anak yang belum sepenuhnya memahami apa yang tengah terjadi sangat membutuhkan dukungan psikologis untuk membantu mereka melewati masa-masa sulit. “Saya datang ke sini untuk mengalihkan diri dari tekanan,” kata Joudy Harb (11), saat relawan dengan kostum kartun melukis wajah anak-anak, bermain dan menari dengan mereka. “Mereka (Israel) mengatakan ingin mengebom dua rumah, sebaliknya, mereka justru mengebom seluruh alun-alun.”
Kisah Al-Mansi, Joudy, dan kisah-kisah lain yang telah diungkapkan sebelumnya barulah segelintir dari sekian banyak suara penduduk Gaza yang sampai hari ini masih belum bisa melupakan mimpi buruk agresi. Di Gaza yang mendapat julukan “Penjara terbesar di dunia”, seluruh permasalahan terkumpul menjadi satu. Mulai dari masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan, politik, bahkan psikologis semuanya datang bertubi-tubi tanpa seorang pun bisa berlari darinya. Baru sekejap mata agresi sebelumnya berlalu, agresi selanjutnya sudah datang lagi, dan entah akan berulang sampai ke berapa kali. Kehidupan di Gaza sudah cukup menderita, dan agresi hanya memperpanjang mimpi buruk yang seakan tak ada ujungnya.
Jika suasananya berbeda, hari ini seharusnya penduduk Gaza tengah bersuka cita mempersiapkan diri menyambut hari raya Iduladha yang akan datang sebulan lagi. Tapi, trauma akan agresi menutupi semua itu, membuat mimpi buruk di wilayah yang terblokade terasa semakin mencekam. Jangankan membayangkan untuk menyantap daging hewan kurban bersama orang-orang tercinta, untuk bisa bertahan hidup sehari saja tak jarang mereka terpaksa hanya menelan pahitnya air mata. Kedua belah pihak telah menyepakati gencatan senjata dan agresi telah usai, tetapi Gaza masih membutuhkan bantuan kita, agar dapat ‘bangun’ selamanya dari mimpi buruknya yang panjang.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://www.middleeasteye.net/news/gaza-israel-palestine-depleted-hospitals-count-losses-offensive
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-65608282
https://www.middleeastmonitor.com/20230524-as-guns-go-silent-gazan-children-still-have-nightmares/
https://www.aljazeera.com/news/2022/8/7/the-gaza-strip-explained-in-maps
https://www.aljazeera.com/news/2021/5/21/mapping-gaza-hospitals-schools-refugee-camps-palestine
- https://reliefweb.int/report/occupied-palestinian-territory/humanitarian-situation-gaza-flash-update-5-1700-15-may-2023 ↑
- https://www.middleeastmonitor.com/20230524-as-guns-go-silent-gazan-children-still-have-nightmares/ ↑
- https://www.middleeasteye.net/news/gaza-israel-palestine-depleted-hospitals-count-losses-offensive ↑
- https://reliefweb.int/report/occupied-palestinian-territory/humanitarian-situation-gaza-flash-update-5-1700-15-may-2023 ↑
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini